Rabu, 17 September 2008

Sekularisasi Masyarakat dan Politik Islam



Review Article

Judul Buku :Dialektika Islam :Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia.
Judul Asli :On Secularisation and Islamisation in Indonesia : A Sociological Interpretation (Tesis Master at Southeast Asia Centre The Australian National University)
Penulis : Dr.Yudi Latif
Penerbit : Jalasutra
Cetakan I : Juli 2007
Tebal Buku : xxviii, 112 hlm, 15 x 21 cm


Sekularisasi Masyarakat dan Politik Indonesia

R.Pamela Maher Wijaya[1]
(mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia merupakan terjemahan tesis master Yudi Latif di Australian National University (1999). Dr. Yudi Latif menamatkan studi S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (1990), S2 bidang Sosiologi Politik dari Australian National University (1999) kemudian melanjutkan S3 bidang Sosiologi dan Komunikasi di ANU Australia.
Penulis mempunyai aktivitas di LIPI 1993, juga terlibat di Center for Information and Development Studies (CIDES), serta menjadi Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID) Universitas Paramadina (2002-2003). Diluar bidang akademik, Yudi latif juga seorang penulis yang cukup produktif. Diantara karya Yudi latif, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde baru(1996), Masa lalu yang Membunuh Masa Depan: Krisis Agama, Pengetahuan dan kekuasaan dalam kebudayaan Teknokratis (1999), Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk Perubahan Indonesia (2004), dan Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (2005).


Mensekulerkan Masyarakat dan Politik Indonesia
Di dalam buku ini penulis mencoba untuk menggambarkan perkembangan social budaya di Indonesia. Dalam konteks ini penulis ingin mengungkapkan adanya pertarungan antara Sekularisasi dan Islamisasi di sepanjang sejarah Indonesia dengan pendekatan sosiologi politik. Yudi Latif mengawali dengan menjelaskan latar teoritis sekularisasi dan perkembangan agama di BAB I, kemudian penulis mencoba menggambarkan kondisi Indonesia di BAB II. Sebagai tandingan wacana atas sekularisasi, penulis mencoba melukiskan Islamisasi masyarakat dan politik Indonesia di BAB III.
Secara bahasa sekularisme (secularisme), berasal dari bahasa Latin saeculum yang mempunyai dua konotasi, yaitu waktu dan tempat, pengertian waktu sekarang (now) dan masa kini (present), konotasi yang kedua tempat yaitu dunia (world) atau duniawi (worldly).[2] Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai, “ A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.” ( Sebuah system doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan peribadatan).[3] Dalam buku ini mempunyai pandangan bahwa modernisasi melemahkan ajaran agama, karena ia menyebabkan proses perkembangan sekularisasi dan menguatnya pandangan dunia secular. Aspek krusial modernitas adalah diferensiasi kelembagaan , yaitu pemisahan antara rumah tangga dan ekonomi, moralitas dan hukum.[4] Kalau istilah modernitas dikaitkan dengan agama, maka modernisme adalah “religion the tendency of religious belief to harmonize with modern ideas” (kecenderungan beragama yang muncul dari adanya keyakinan beragama untuk memadukan gagasan-gagasan modern).[5]
Penulis mengistilahkan sekularisasi sebagai suatu proses yang digunakan untuk mengalihkan sector-sektor masyarakat dan budaya dari dominasi lembaga-lembaga serta symbol-simbol religius. Sekularisme atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah Eropa.
Penulis meninjau dari perspektif religio-politik untuk melihat sejarah Indonesia modern bisa dilukiskan sebagai sejarah ketegangan abadi antara proyek sekularisasi dan islamisasi Negara dan masyarakat. Konflik antara kedua arus ini berjalan sedemikian akut, karena proyek sekularisasi di negeri ini pada mulanya bukan merupakan evolusi social kaum pribumi yang tumbuh secara alamiah, melainkan hasil rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuataan terpenting Bumiputera.
Dalam buku ini penulis memakai pisau analisis Tipologi Donald E. Smith untuk memeriksa proses sekularisasi secara umum, karena cakupannya yang komperhensif tentang keragaman proses tersebut serta kemampuan untuk melihat seberapa jauh proses sekularisasi yang telah berjalan di Indonesia. Tipologi tersebut adalah pertama, Polity-Separation Secularization; yakni pemisahan jagad politik (polity) dari Ideologi dan struktur organisasi keagamaan (ecclesiastical structures). Kedua, polity-expansion secularization; yakni perluasan otoritas politik untuk melanjutkan fungsi pengaturan dalam wilayah social ekonomi yang sebelumnya yang berada dalam yurisdiksi agama. Ketiga, polity-transvalution secularization; yakni demistifikasi budaya politik untuk menekankan tujuan-tujuan temporal nontransendetal serta cara-cara yang rasional dan pragmatis, yaitu nilai-nilai politik secular. Keempat, polity-dominance secularization, yakni dominasi polity atas keyakinan, praktik serta organisasi keagamaan.
Penulis menggambarkan transformasi umat secara gradual dan proyek Belanda untuk memisahkan Islam dari dunia politik menandai awal dari proses “polity-separation secularization” di Indonesia. Suatu proses sekularisasi yang membawa pemisahan polity dari agama; system politik tidak memperoleh legitimasinya dari agama, lantas symbol dan struktur yang menghubungkan keduanya dirobohkan. Rasionalisasi dan akhirnya sekularisasi pemikiran Islam tampaknya hanya mendorong pemudaran lembaga-lembaga keagamaan.[6] Proses memisahkan jagad politik dengan ideology atau struktur keagamaan ini juga berlangsung pasca-kolonial, selama masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) dalam menentukan apakah Negara Indonesia harus berlandaskan Pancasila atau prinsip-prinsip Islam. Deideologisasi, sebagai salah satu konsep politik islam Orde Baru, dilaksanakan bersamaan dengan depolitisasi yang mencapai puncaknya dengan diundangkan UU No.5 dan 8 tahun 1985 sehingga seluruh kekuatan social dan politik harus menyesuaikan diri dengan menempatkan Pancasila sebagi satu-saunya asas.[7] Gagasan Nurcholis Madjid yang amat terkenal “Islam, Yes ; Partai Islam, No”, serta pernyataan Abdurahman Wahid bahwa “ Islam bukanlah ideology politik”, merupakan kulminasi dari proyek “polity-Separation Secularization” di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa jika sebelum decade 1970-an proses sekularisasi ini diarahkan oleh Negara, setelah decade tersebut prose situ telah menemukan resonansinya pada hati-sanubari angkatan baru Cendekiwan Muslim.
Proses sekularisasi mengandung perluasan otoritas agama dalam bidang-bidang kehidupan social utama (hukum, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya). Bidang-bidang ini lepas dari regulasi agama ke tangan yurisdiksi Negara. Situasi inilah yang menandai terjadinya proses “polity-expansion secularization”. Selanjutnya, untuk menggambarkan keadaan itu dengan melihat empat bidang kehidupan utama (hukum, pendidikan, struktur social, dan ekonomi) kearah mana polity merentangkan pengaruhnya dalam proses sekularisasi di Indonesia.
Sekularisasi hukum merupakan jantung sekularisasi di dunia Muslim. Pada awal abad ke-7, kerajaan-kerajaan Islam utama di Nusantara telah mengembangkan lembaga-lembaga reguler untuk penerapan hukum Islam. Namun, penaklukan belanda terhadap wilayah-wilayah di kemudian hari membuat yurisdiksi syariat secara perlahan surut. Sejak itu, hukum kriminal dan dagang hampir sepenuhnya berhasil disekularisasikan, sedangkan hukum keluarga masih relatif di bawah kendali syari’at.
Sejarah intervensi negara dalam mensekulerkan hukum Islam berakar pada kepentingan konservatif politik kolonial. Fakta bahwa rantai silsilah keberadaan pengadilan agama di Indonesia saat ini bermula dari Keputusan Kerajaan Belanda pada 1982, menunjukkan bahwa proyek sekularisasi ini bersumber dari ketegangan dalam interaksi antara negara dan komnitas Islam dalam rentang sejarah yang panjang.
Pendidikan merupakan agen yang paling kuat dalam mensosialisasikan doktrin dan ideal-ideal Islam, mendorong pemerintahan kolonial untuk memberi perhatian yang lebih serius terhadap bidang ini. Minat Belanda terhadap hal ini mulai berkembang pada era rezim Liberalisme pada paruh kedua abad ke-19, dan mencapai puncaknya pada era rezim ”politik Etis” sejak awal abad ke-20. Sekularisasi pendidikan tampil dengan gagasan ”politik asosiasi”. Politik ini bertujuan utuk menciptakan suatu negara Belanda, caranya adalah dengan melakukan ”pembaratan” kepemimpinan Bumiputera. Kunci pembaratan ini adalah mempromosikan sistem pendidikan baru dalam skala luas yang berbasis kenetralan terhadap agama, yang bertujuan untuk memutus kaitan antara kaum terpelajar dengan pengetahuan dan komunitas keagamaan.
Dalam upayanya mempromosikan pendidikan Barat di Nusantara, sekolah-sekolah misi kristen yang telah terlebih dahulu berkembang coba diinkorporasikan ke dalam sistem pendidikan umum yang disponsori dan diberi subsidi oleh pemerintah. Tidak demikian halnya dengan sekolah-sekolah tradisional Islam (pesantren, surau, dan sebagainya). Gabungan antara rasa khawatir dan memandang rendah terhadap sekolah-sekolah Islam mendorong pemerintah kolonial untuk mengucilkan sistim pendidikan Islam. Kalau kita melihat modernisasi pendidikan dan rekayasa politik era orde baru bukan saja telah mengubah kerangka sosial masyarakat teologi dan ideologi santri mengubah kultur priyayi.[8]
Polity-expansion secularization dalam struktur sosial bermula ketika bagian-bagian dari elite kuasa pribumi atau elite kuasa asing menolak dasar keagamaan mengenai ketidaksetaraan dan berusaha mengadirkan perubahan sosial menuju kesetaraan melalui intervensi negara.
Sekularisasi Ekonomi terjadi ketika kolonialisme dan kepentingan para pemimpin nasionalis sekular dalam reformasi ekonomi, yurisdiksi polity telah meluas hingga mencakup relasi-relasi ekonomi yang sebelumnya dianggap sebagai wilayah suci dan tak bisa disentuh. Jika hukum dagang telah sepenuhnya tersekularisasikan, lenyapnya yurisdiksi Islam atas soal warisan pada tahun 1937 (diklaim kembali pada tahun 1989), yang dimana pun dianggap sebagai inti konsern keagamaan bagi muslim, menunjukkan contoh yang jelas tentang polity-expansion secularization dalam bidang ekonomi.
Di dalam Buku ini digambarkan tentang polity-transvalution secularization menyertakan perubahan-perubahan kualitatif di dalam polity sendiri yang mengarah pada sekularisasi budaya politik. Penulis menggambarkan tipology ini dengan melihat sikap dan nilai yang berkaitan dengan legitimasi dan identitas kelompok. Sekularisasi basis legitimasi bermula ketika agama tak lagi menjadi sumber yang kuat bagi legitimasi pemerintah, politisi, atau gerakan politik. Proses ini, dalam konteks Indonesia, mulai berlangsung sejak abad ke-19 ketika pemerintahan kolonial belanda mencoba memisahkan polity dan otoritas Islam. Berbeda dengan tradisi kesultanan yang selalu berusaha mencari legitimasi keagamaan yang biasanya berasal dari seseorang yang otoritatif di kota Suci Mekkah, gubernur jendral Belanda tidak perlu mengirim utusannya ke Mekkah untuk mencari legitimasi bagi posisinya.
Aspek Fundamental dari sekularisasi budaya politik adalah perkembangan identitas nasional sekular. Di Indonesia, konflik antara agama dan bangsa sebagai identitas politik utama pada suatu momen tertentu bisa dinetralisasi oleh gerakan-gerakan nasional anti penjajah saat kekuatan-kekuataan keagamaan turut serta, bahkan menjadi inti gerakan-gerakan awal perlawanan nasional. Namun, dengan tercapainya kemerdekaan, dasar-dasar konflik antara agama dan bangsa menjadi lebih nyata. Gambaran mengenai komunitas nasional yang dibayangkan (national imagined community) selalu retak ketimbang menyatu, terpecah antara ”bayangan komunitas nasional keagamaan” dengan ”bayangan komunitas nasional sekular”.
Di dalam buku ini melukiskan tipologi sekularisasi yang terakhir yaitu polity-Dominance Secularizaion didefinisikan sebagai suatu bentuk sekularisasi yang menekankan dominasi polity atas keyakinan, praktek, dan struktur keagamaan melalui pemaksaan oleh negara, sebagai upaya untuk menghancurkan basis-basis politik keagamaan. Tipologi ini sudah pasti bukan kasus Indonesia. Bahkan di seluruh dunia, fenomena sekularisasi seperti hanya terjadi di sedikit negara, terutama Prancis, Mexico, Rusia, China dan Turki.

Mengislamkan Masyarakat dan Politik Indonesia
Penulis ingin membawa pembaca untuk menelaah islamisasi yang berada di Indonesia. Gambaran vitalitas politik Islam setelah selama dua abad komunitas Islam Indonesia mengalami gempuran proses sekularisasi, dilihat dari perspektif sejarah dari atas yang dominan, kepercayaan tentang tidak adanya pemisahan antara agama dan negara dalam Islam. Seperti gagasan Sayyid Qutb memandang bahwa Islam telah menyajikan bagi manusia contoh sistem politik.[9] Hal ini mengandung konsekuensi logis bahwa dengan menyaksikan begitu jelasnya kehancuran ekspresi politik islam dalam wujud kenegaraan serta sekularisme yang begitu mencolok dari para penguasa autokratik nasionalis Indonesia, berarti bahwa islam dengan sendirinya telah kehilangan vitalitas politiknya.
Di dalam buku ini menganalisa stuktur Islam, amat berguna untuk memperhatikan empat elemen dasar suatu agama. Sebuah agama bisa dianalisis menurut fungsinya dalam menyediakan sistem ” regulasi kemsyarakatan” (societal regulation), ”Organisasi kependetaan” (ecclestical organization), ” sistem keyakinan” (belief system), dan ”identitas kelompok” (group identity).
Agama sebagai ”regulasi kemasyarakatan” merujuk pada keberadaan institusi-institusi klerikal, kelompok-kelompok spesialis yang konsern secara profesional terhadap persoalan ritual dan pengajaran agama. Agama sebagai ”sistem keyakinan” merujuk pada keberadaan ideologi-ideologi keagamaan, sedikit banyak merupakan doktrin-doktrin keagamaan, kelompok-kelompok yang terdiri dari ragam individu yang terkait bersama oleh kesamaan simbol-simbol keagamaan.
Politisasi agama telah berlangsung lama di Indonesia, antara lain disebabkan oleh konflik-konflik yang melibatkan komunitas-komunitas agama, struktur-struktur sosial-keagamaan, dan institusi-institusi keulamaan serta ideologi-ideologi keagamaan. Asumsi seperti itu absah, mengingat bahwa untuk berjuta-juta penduduk indonesia nilai-nilai kegamaan masih dimuliakan secara mendalam, dan isu-isu menyangkut komunitas keagamaan, struktur sosial-keagamaan, institusi keulamaan, ideologi keagamaan merupakan hal nyata dan masalah yang fundamental.
Masyarakat-masyarakat transisional seperti Indonesia-fakta bahwa agama merupakan fenomena massal, sedangkan politik masih merupakan sesuatu yang elitis-agama dapat digunakan untuk menutup kenyataan bahwa di balik pelbagai konflik keagamaan, juga terdapat kepentingan-kepentingan politik yang secara esensial bersifat keduniaan.
Buku ini sangat menarik untuk dibaca, penulis melukiskan sekularisasi masyarakat dan politik konteks indonesia cukup objektif. Penulis menganalisis dua kutub yaitu sekulerisasi dan Islamisasi. Pisau analisis yang dipakai oleh penulis membawa pembaca mempunyai gambaran luas tentang historis-indonesia. Pendekatan sosiologi politik membawa kita untuk terus kritis terhadap fenomena yang ada di sekitar kita.





Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur Malaysia: ISTAC Art Printing Works Sdn.Bhd, 1931)
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006)
Deka Kurniawan, Melengserkan Agama dari Urusan Publik, (Surabaya :Hidayatullah Press,2005)
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, (Magelang: IndonesiaTera, 2001)
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress,1994)
Passerin ,Maurizio, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Safwan, Yogyakarta : Qalam, 2003)




















[1] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur Malaysia: ISTAC Art Printing Works Sdn.Bhd, 1931), hal 16
[3] Deka Kurniawan, Melengserkan Agama dari Urusan Publik, ( Surabaya :Hidayatullah Press,2005), hal 20
[4] Passerin ,Maurizio, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Safwan, ( Yogyakarta : Qalam, 2003), hal 38.
[5] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, (Magelang: IndonesiaTera, 2001), hal 14
[6] Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress,1994), hal.16
[7] Ibid., hal 12
[8] Ibid., hal 7
[9] Black, Antony, Pemikiran Politik Islam, terj. Abdullah Ali (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,2006), hal 578

Tidak ada komentar: