Senin, 24 November 2008

Momentum Runtuhnya Politik Ras

Momentum
Runtuhnya Politik Ras
(Analisis Wacana terhadap Pidato Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat )

Oleh :
Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstract
Barack Obama win in president election at USA. He become ke-44 president USA, and open new sheet history alongside history election USA president. He represent first president Afro-Amerika. Barack Obama victory oration sesomnate in all the world. Oration which inspiratif for all world, full of political suavity. wise Words network.
As a main medium for political struggle, oration contains a well designed for conveying set of messages. The use of discourse analysis for searching meaning which wish to be sent by Barack Obama to whole world.

Kata-kata Kunci : Pidato Kemenangan Barack Obama; Analisis Wacana


Pendahuluan
Senator Barack Obama terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat. Ia adalah warga Amerika Serikat kulit hitam pertama yang terpilih menjadi presiden. Mayoritas Presiden AS menghuni Gedung Putih adalah sosok yang berumur dan berpengalaman. Hanya sedikit orang muda yang suskses menggapai Gedung Putih. Orang-orang muda yang sukses menjadi presiden AS adalah Theodore Roosevelt (42), John Fitzgerald Kennedy (43), Bill Clinton (46), Ulysses S Grant (46) serta Barack Obama (47).[3] Kemenangan Obama Menggema di seluruh dunia, kemenangannya dianggap sebagai perubahan sosial di Amerika Serikat. Orasi kemenangan Obama menggema di seluruh dunia, bahasa terangkai penuh makna.
Bahasa sebagai medium dalam pengertian kita tidak saja berbuat sesuatu dengan bahasa (with language), melainkan kita beraktivitas di dalam bahasa (within language).[4] Pidato Kemenangan Barack Obama terangkai oleh bahasa yang inspiratif , sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam dengan pendekatan diskursus. Untuk menganalisis Pidato kemenangan Obama menggunakan Analisis Wacana sebagai media untuk interpretasi rangkaian bahasa yang digunakan Obama. Dialog merupakan syarat utama diskursus, pidato merupakan salah satu model dialog- monolog yang bersifat social. Setiap situasi ditopang oleh adat istiadat, yang menuntun kelompok masyarakat tertentu.[5] Pidato seseorang menentukan situasi posisi mereka yang berbicara, dan pada siapa pembicara disampaikan.
Tindakan dan ucapan ( Hannah Arendt ) individu memperlihatkan diri sebagai individu khusus dan memperlihatkan pada dunia bahwa personalitas mereka itu khas. Dalam tindakan dan ucapan, seseorang menunjukkan siapa dirinya, menunjukkan identitas personal khas mereka secara aktif dan memperlihatkan diri mereka di dunia manusia, penyikapan “siapa” sebagai upaya untuk membedakan diri seseorang adalah implicit dalam setiap ucapan dan perbuatan seseorang.[6]

Barack Obama Agen Perubahan Politik Amerika Serikat
Mitos politik ras telah runtuh, mitos mayoritas versus minoritas etnis dan ras di Amerika Serikat dalam politik, kini tinggal kenangan masa silam. Mitos pemisah antara kulit hitam dan kulit putih telah diruntuhkan oleh kemenangan Obama. Tak mengherankan jika Obama menegaskan dalam pidato kemenangannya, perubahan fundamental kini benar-benar terjadi di Amerika.

“Jika ada seseorang di luar sana yang masih ragu bahwa Amerika adalah sebuah tempat di mana segala sesuatu bisa terjadi, yang masih bertanya-tanya apakah mimpi para pendiri bangsa ini masih bisa menjadi nyata di masa sekarang, yang masih mempertanyakan kekuataan demokrasi, malam ini pertanyaan anda terjawab.”[7]
(Barack Obama)

Prolog pidato kemenangan Barack Obama ini menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam mengkonstruk suatu posisi social individu atau seseorang dan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis. Proses ini yang dinamakan Interpelasi yang dipakai dalam pendekatan Marxist Struktural Althusser (1971) dalam melihat hubungan antara subjek dan ideology.[8] Obama ingin menampilkan bahwa “Semua itu serba mungkin”, kemungkinan-kemungkinan yang pernah diragukan oleh beberapa pihak terhadap majunya Obama menjadi calon presiden Amerika Serikat. Sebelumnya Obama dihantam oleh isu rasisme serta dipertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli. Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada tuhan dan senjata.[9]
Pada abad ke-21, orang hitam Amerika telah berjuang ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui perang saudara pada abad ke-19 dan gerakan hak sipil, perjuangan hak asasi, akhir abad ke-20. Pencalonan Obama adalah langkah lanjut dari perjuangan yang belum selesai. [10] Sebelumnya, Amerika menghidap disorientasi, kekeliruan orientasi. Orang Amerika lebih peduli pada soal keamanan ketimbang kebebasan.[11] Obama ingin menampilkan niali-nilai (ideology) yang dibawa adalah kebebasan, mendobrak mitos rasisme, dan obama adalah subjek pendobraknya.
Menurut Foucault, memproduksi wacana bisa dimaknai dengan pengendali kekuasaan. Menurutnya, apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuat bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga social secara keseluruhan.[12] Wacana sebagai media untuk mentransformasikan sebuah ideology ke dalam wilayah public.
Opini akan muncul di mana pun manusia berkomunikasi secara bebas dengan orang lain dan memiliki hak untuk mempublikasikan pandangan mereka, namun pelbagai pandangan yang berbeda tersebut tampaknya juga membutuhkan purifikasi dan representasi. Bahkan meskipun pelbagai opini dibentuk oleh individu dan tetap menjadi milik mereka, akan tetapi tidak ada satu individu yang akan sama untuk mengangkat opini, dan melakukan penyaringan yang memisahkan antara arbitrasi dan indiosinkratik, dan memurnikan menjadi pandangan public.[13]
Memenangkan wacana public adalah seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau, bagaimana membuat mereka berpikir dengan cara yang kita inginkan, bagaimana membuat mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada mereka.[14]Obama ingin mentransformasikan ideology kepada public bahwa Politik Ras sudah runtuh. Kemenangannya adalah satu bukti nyata Amerika mengedepankan demokrasi seutuhnya. Obama ingin memperlihatkan bahwa Amerika terbuka untuk siapa pun untuk maju menjadi presiden.

Budaya Politik Santun Barack Obama
“ Beberapa waktu lalu, saya menerima telepon ucapan selamat yang luar biasa dari senator (john) McCain. Senator McCain sudah melewati perjuangan yang panjang dan sulit selama kampanye. Dan, dia bahkan sudah berjuang lebih lama dan lebih sulit demi bangsa yang dia cintai. Dia sudah lama berkorban bagi Amerika.”
“Saya mengucapkan selamat kepadanya (McCain); juga kepada Gubernur (Sarah) Palin atas seluruh pencapaian mereka. Dan, saya berharap bisa bekerja sama dengan mereka dalam beberapa bulan ke depan untuk bersama-sama memperbarui janji bangsa ini.”
(Pidato Barack Obama)
Politik merupakan satu-satunya seni yang subyeknya adalah manusia dalam hubungan dengan yang lainnya. Politik sebagai seni mengandung keagungan dan kesatunan. Keagungan dan kesantunan politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabdikan diri. Politik memungkinkan pengakuan timbale balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Kesantunan itu terwujud dalam etika politik. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Disatu pihak, etika politik sekaligus adalah etika individual dan etika sosial: etika individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku; etika social karena merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial karena merefleksikan masalah hukum dan tatanan sosial.[15]
Obama ingin menunjukkan kedewasan berpolitik, fatsun politik yang ingin ditunjukkan obama dalam kemenangannya. Obama menggambarkan etika politiknya dengan mengumumkan bahwa lawan politiknya di arena pemilihan presiden USA McCain memberikan selamat kepadanya atas kemenangannya. Konstruksi yang ingin dibangun oleh Obama adalah McCain mengakui kekalahannya atau lapang dada menerima kekalahannya. Nilai – nilai yang dibangun Obama adalah siap menang dan siap untuk kalah tanpa harus saling mencaci maki dan siap saling mendukung apabila salah satunya menang ataupun kalah.
Obama pun membangun opini public untuk membangun fatsun politk dengan mengajak dan merangkul McCain dan Sarah Palin untuk bersama-sama membangun Amerika Serikat. Kemenangan dan kekalahan dalam pandangan saat ini adalah pekerjaan yang telah selesai, saat ini adalah bekerjasama untuk membangun Amerika Serikat untuk melakukan perubahan.



Daftar Pustaka
Anis Matta, Muhammad. Menikmati Demokrasi, Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002
Arendt, Hannah. Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan, Yogyakarta: Qalam, 2003
Fatah, Eep Saefulloh. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi Jakarta: Republika, 2004
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Jorgensen,W. Marianne. Analisis Wacana: Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Macdonell, Diane. Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, Jakarta: Teraju, 2005

Surat Kabar

Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008

[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (NIM: 07.234.424)
[3] Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 4.
[5] Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. Xvii.
[6] Hannah Arendt, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan. (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 122.
[7] Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
[8] Marianne W Jorgensen, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 29.
[9] Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
[10] Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
[11] Eep Saefulloh Fatah,. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi, (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 328.
[12] Marianne W Jorgensen, hlm. 24.
[13] Hannah Arendt, hlm. 268.
[14] Muhammad Anis Matta, Menikmati Demokrasi (Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002), hlm. 38.
[15] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), hlm. 25.

Rabu, 19 November 2008

Kekuasaan Politik Otentik

“Kekuasaan Politik Otentik”
Oleh R. Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)

Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]

Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
4
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)

Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7] Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah” yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya. Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah : 30

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan. Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka, falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan).[10] Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11] Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.



Daftar Pustaka

Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung

[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102