Selasa, 21 April 2009

Akuntabilitas Sosial

Apakah Akuntabilitas Sosial ?

Kontrak sosial, bersuara, memilih dan menentukan jalan ke luar
Akuntabilitas sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan kontrak sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas dari praktek pemerintahan. Pada titik ini, partisipasi setiap warga negara dan segenap elemen civil society sangatlah signifikan. Sebab, inti dari kontrak sosial adalah adanya partisipasi warga negara dan elemen civil society untuk memastikan implementasi prinsip akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.
Berkaitan dengan kontrak sosial, sebuah proses akuntabilitas sosial idealnya bisa memberi ruang bagi masyarakat untuk: pertama, bersuara. Artinya, masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan dari hak sipil dan politik yang dimilikinya. Melalui kesempatan bersuara, masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi aktif dan menghilangkan berbagai sumbatan dalam proses komunikasi politik di setiap proses kebijakan publik. Kedua, memilih. Artinya, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih saluran kepentingan yang sesuai dengan preferensinya masing-masing. Pada titik ini, masyarakat didorong untuk dapat memaksimalkan kepentingannya melalui saluran yang mereka pilih dalam setiap proses kebijakan publik. Ketiga, menentukan jalan ke luar. Artinya, masyarakat memilki cukup ruang untuk menentukan jalan ke luar bagi setiap persoalan yang muncul dalam proses kebijakan publik.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Akuntabilitas Sosial?

Mekanisme hubungan negara-masyarakat, kapasitas masyarakat, kepekaan politisi dan birokrat dan lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang kondusif.

Guna mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat sejumlah faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan akuntabilitas sosial. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
1. Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara Negara dan Masyarakat
Usaha untuk mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan, banyak bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab, pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut. Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di tingkatan operasional, dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan cara-cara baru, kesempatan-kesempatan baru serta program-program baru bagi interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu, keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui serta mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan dianggap usang. Contoh kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat adalah keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi, namun sebaliknya, justru untuk meniadakan informasi yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2. Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor-aktor Civil Society yang Kuat untuk Secara Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor-aktor Civil Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis, faktor ini acap kali berbenturan dengan sejumlah persoalan seperti: fakta lemahnya elemen Civil Society dan adanya pemikiran bahwa warga negara kurang berdaya.
3. Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi perwujudan akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang bersifat timbal balik antara aktor-aktor baik yang berasal dari negara maupun masyarakat.
4. Lingkungan yang Memungkinkan
Maksudnya adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh keberadaan rejim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal-formal dari hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga di ranah ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan menjadi sia-sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di kedua ranah tersebut.

Sumber : Diskusi kelas SPPI PASCASARJANA UIN dengan bapak Miftah Adhi Ikhsanto.

Rabu, 15 April 2009

Definisi Akuntabilitas

PENGERTIAN DASAR

1. Apa itu Akuntabilitas?

Right of authority, Answerability/pertanggungjawaban, Enforcement,
proses aktif

Akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban para pemegang kekuasaan (pejabat publik) untuk mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya yang mengatasnamakan publik. Pejabat publik tsb adalah mereka yang atas nama publik diberi kewenangan politik, keuangan, atau bentuk lain dari kekuasaan. Berdasarkan pengertian tsb, ada 3 elemen penting dalam akuntabilitas yang bersifat melekat, yaitu:
Elemen “right of authority”; bahwa akuntabilitas merupakan respon terhadap otoritas yang diberikan. Sehingga pihak yang berkewajiban melakukan akuntabilitas adalah mereka yang memang diberi otoritas.
Elemen ”answerability”/pertanggungjawaban; bahwa karena adanya pemberian otoritas, maka sudah menjadi kewajiban penerima otoritas untuk menginformasikan & menjelaskan apa yang mereka lakukan kepada instansi terkait dan publik.
Elemen ”enforcement”; bahwa dalam akuntabilitas ada kapasitas untuk menjatuhkan sanksi dan memberikan ganjaran kepada para pemegang otoritas. Dengan demikian ada unsur pihak eksternal dalam elemen ini yang oditempatkan sebagai penilai.
Dalam pengertian tersebut, maka akuntabilitas merupakan sebuah proses yang aktif, dimana lembaga-lembaga publik berkewajiban menginformasikan segala sesuatunya untuk melakukan justifikasi terhadap segala bentuk perencanaan, implementasi dan out put yang dihasilkan.

2. Apa saja jenis & bidang akuntabilitas ?

Akuntabilitas Horisontal, Akuntabilitas Vertikal, Akuntabilitas Diagonal, Akuntabilitas Financial, Akuntabilitas Politis, Akuntabilitas Administratif

Kata kunci dalam akuntabilitas adalah kepada siapa akuntabilitas ditujukan dan dalam bidang apa saja. Berdasarkan hal tersebut, secara umum, jenis akuntabilitas dapat dibedakan menjadi 3 macam. Jenis akuntabilitas yang dimaksud disini adalah untuk menjawab kepada siapa akuntabilitas ditujukan.
Akuntabilitas Horizontal; yaitu jenis akuntabilitas yang merupakan bagian dari fungsi check and balances yang berada di dalam pemerintahan. Wujud dari akuntabilitas ini adalah hadirnya lembaga-lembaga yang melakukan penilaian & pengawasan terhadap kinerja pemerintah, seperti BPKP, BPK, Bawasda.
Akuntabilitas Vertikal; yaitu merupakan pertanggunganjawaban pemerintah atas segala aktivitasnya kepada publik. Wujud dari akuntabilitas vertikal ini adalah akuntabilitas sosial (social accountability), yakni merupakan bentuk akuntabilitas yang bertumpu pada pelibatan masyarakat.
Akuntabilitas Diagonal (Kombinasi); yaitu merupakan pelibatan partisipasi vertical aktor dalam mekanisme akuntabilitas horisontal.

Sedangkan terkait dengan bidang akuntabilitas, secara konseptual, akuntabilitas dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
Akuntabilitas Financial; yaitu akuntabilitas dalam bidang keuangan. Wujud dari akuntabilitas ini adalah adanya APBD, AKIP, LAKIP, social auditing dan sebagainya.
Akuntabilitas Politis (Accountability Decision Making). Wujud dari akuntabilitas ini adalah adanya LAKIP, AKIP, Perda Akuntabilitas (jika ada), proses Pemilu, dan akuntabilitas sosial (social auditing, citizen charters).
Akuntabilitas Administratif; yaitu akuntabilitas yang semata-mata hanya untuk memenuhi persoalan prosedur legal-administratif belaka. Wujud akuntabilitas ini adalah adanya dokumen-dokumen publik seperti AKIP, LAKIP, APBD, LPJ dan sejenisnya.

Sumber : Diskusi kelas SPPI PASCASARJANA UIN dengan bapak Miftah Adhi Ikhsanto.

Nasionalisme Perspektif Gerakan Ikhwanul Muslimin


Nasionalisme Perspektif Gerakan Ikhwanul Muslimin

Oleh : Pamela Maher Wijaya
(mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstraksi

Ikhwanul Muslimin menerima nasionalisme Mesir dengan prinsip pemikiran bahwa ia memiliki muatan yang Islami. Ia merupakan mata rantai kebangkitan yang mereka cita-citakan, sebagaimana akan menjadi semakin jelas nanti. Mereka menolak nasionalisme yang berarti menghidupkan Firaunisme dan mewarnai bangsa dengan paham itu atau jika nasionalisme itu terbatas pada batas-batas geografis Mesir.

Key word: Nasionalisme, Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Pendahuluan.
Cinta tanah air atau Negara (wathan) mulai dipropagandakan oleh beberapa penulis Mesir dan turki sebagai sebuah kebajikan. Tahtawi (1801-1873) berpendapat bahwa seseorang dari tanah air yang sama mempunyai kewajiban yang sama satu sama yang lain, layaknya hubungan satu dengan orang lain dalam satu agama yang sama. Lutfi al-Sayyid (1872-1963), juga seorang mesir, mengaitkan “universalisme” (pemikiran bahwa tanah Islam adalah tanah air seluruh muslim) dengan imprealisme Islam (yakni: Utsmani/turki). Menurutnya, gagasan itu sudah usang dan harus digantikan dengan satu kepercayaan yang sesuai dengan ambisi setiap Negara timur yang mempunyai tanah air yaitu rasa nasionalisme (wathaniyyah). Persoalan tentang Negara-bangsa merupakan soal yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab. Gerakan yang peduli terhadap kemerdekaan dan ingin membebaskan dari penjajahan di Mesir adalah Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kepedulian itu terwujud dalam program organisasi Ikhwanul Muslimin itu mengacu pada tingkat dunia Arab dengan tujuan besar, yaitu membebaskan seluruh negara dari kekuasaan asing dan memperkokoh persatuan Arab. Tujuan tersebut termaktub dalam Anggaran Dasar organisasi Ikhwanul Muslimin yang berbunyi:” Memerdekakan dunia Arab dan memperkokoh persatuan Arab (Liga Arab) dengan sempurna. Pendiri gerakan ini Hasan Al-Banna menegaskan bahwa Islam sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai pemersatu, serta mendepak elit-elit mesir ter-barat-kan yang menerapkan model-model pengembangan ekonomi, sosial, dan politik barat.
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir, tepatnya di wilayah Ismailiyyah pada tahun 1928. Gerakan Ikhwanul Muslimin dideklarasikan oleh Hasan Al-Banna berserta empat orang ikhwan, mereka adalah pengemudi, tukang cukur, penjahit dan tukang kayu, yaitu: ’Abdurrahman Hasbullah, Ahmad Al-khudri, Zakki Al-Magribi, dan Hafidz ’Abdul Hamid. Imam Syahid Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna lahir pada tahun 1906 di kota Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariyah. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum, Kairo beliau menggeluti profesi sebagai guru sekolah dasar.
Pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al-Banna syahid ditembak mati oleh antek-antek raja Faruq (Mesir) di salah satu jalan di kota Kairo. Ia meninggalkan karya gemilang, Majmu’ al-Rasail (Kumpulan-Kumpulan Surat), Mudzakkiratu al-Da’wati wa al- Dai’yyati, dan Risalah al-Ta’lim. Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai ideologi umat Islam. Sejak Zaman Anwar Sadat terjadi perbedaan prinsipil antara Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan mesir lainnya seperti Jihad Islam, Jama’ah Islamiyah, Tafkir Wa al-Hijra, dan Al Najun Min Al-Nar. Ikhwan memilih jalur pendidikan dan dakwah, sedangkan kaum oposisi lain memilih jalur yang lebih keras.
Persoalan tentang nasionalisme, negara-bangsa merupakan masalah yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab. Persoalan itu, karena disana tidak pernah ada prospek praktis untuk mewujudkan negara Pan-Arab. Meski demikian, banyak modernis yang melihat nasionalisme berpotensi memecah belah dan tidak cocok dengan universalisme Islam. Kaum fundamentalis melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah produk jahiliyyah, ” Setan rasis dan fanatisme nasional”. Sedangkan Allal al-Fasi (w. 1972) membutuhkan nasionalisme bukan khilafah. Namun demikian, Allal tidak sependapat dengan nasionalisme murni Attarturk karena Allal mengusulkan agar syari’ah dijadikan ”the source of all modern legislation in all Muslim states”.

Makna Nasionalisme bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap batas nasionalisme adalah akidah, beberapa pihak yang menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis. Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap bahwa setiap jengkal tanah yang dihuni muslim yang mengucapkan ”Laa ilaaha illallah”, adalah tanah air kami yang berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya. Ikhwanul Muslimin tidak sepakat jka yang dimaksud dengan nasionalisme itu adalah saling bermusuhan dan berseteru satu sama lain, mengikuti sistem-sistem nilai buatan manusia yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi pribadi.
Untuk mendeskripsikan pemikiran Ikhwanul Muslimin tentang nasionalisme digambarkan dalam 3 aspek sikap Ikhwanul Muslimin; pertama, sikap Ikhwan terhadap Patriotisme Mesir. Kedua, sikap Ikhwan terhadap Arabisme dan konfederasi Arab. Dan yang ketiga, sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.
Sikap Ikhwanul Muslimin terhadap Patriotisme Mesir.
Ikhwanul Muslimin mendasi perhatiannya terhadap patriotisme-sebagai afiliasi politik-dengan perasaan bangsa-bangsa Timur, yang mendapatkan perlakuan buruk barat yang telah merobek-robek kehormatan dan merampas kemerdekaan. Ikhwan melihat bahwa patriotisme pada umumnya di Mesir dan negara-negara terjajah umumnya- adalah senjata untuk melawan serangan barat, dan keterbelakangan yang terjadi kala itu.
Kondisi pemerintahan kala itu terlalu tunduk kepada intervensi Asing, tingginya rasa takut, adanya aktivitas tertentu dan militer Ikhwanul Muslimin, maka telah berkali-kali terjadi bentrokan antara Ikhwanul Muslimin dengan rezim-rezim tersebut yang menolak keras adanya sebuah kekuatan politik yang didukung publik. Diantara bentrokan tersebut adalah pembunuhan pendiri Ikhwanul Muslimin, As-Syahid Hasan al-Banna pada bulan februari 1948 serta digantungkannya Ustad Sayid Qutb dan dua tokoh lainnya pada bulan Agustus 1966. Kondisi ini menggambarkan betapa kuatnya intervensi asing dalam persoalan pemerintahan di dalam negeri Mesir.
Dengan demikian, Ikhwan melihat bahwa patriotisme dengan arti cinta tanah air dan merindukannya, berusaha untuk membebaskan dan memperkuatnya, serta memperkuat jalinan antar individu yang ada di dalamnya demi kepentingan bersama mereka, adalah satu gagasan yang baik dan diakui oleh Islam. Pemahaman ini dapat mengembangkan rasa afiliasi yang benar, rasa tanggung jawab terhadap negerinya, serta keinginan kuat dalam berjuang untuk membebaskannya dari penjajah.
Persepsi Ikhwan yang khas tentang patriotisme adalah, mereka menghubungkan antra patriotisme dengan aqidah, dan batasan negara, berdasar hubungan tersebut. Dasar patriotisme kaum muslimin adalah Aqidah Islam. Islam menjadikan fondasi kebangsaan adalah aqidah, bukan fanatisme kesukuan. Hal ini digambarkan di dalam risalah Da’watuna fi thaur jadid , Ustadz Hasan al-Banna menyebutkan bahwa nasionalisme Mesir memiliki tempat dan hak tersendiri dalam perjuangan dakwah mereka.
” Sesungguhya kita adalahorang-orang yang berkebangsaan Mesir, karena kita lahir dan dibesarkan di negeri yang penuh berkah ini. Mesir adalah negeri orang beriman yang telah mnerima Islam denganpenuh kehormatan.......Ia adalah bagian dari tanah Arab secara global. Ketika kita bekerja untuk mesir, berarti kita juga berjuang untuk Arabisme, Timur, dan Islam.”
(risalah Da’watuna fi thaur jadid)

Nasionalisme perspektif Ikhwanul Muslimin juga mendeskripsikan persoalan kesatuan nasionalisme (minoritas). Ikhwanul Muslimin memandang bahwa nasionalisme berangkat dari aqidah islamiyyah dan memiliki kandungan spirit Islam. Hal ini terkadang mengundang tanda tanya menyangkut sikap terhadap non-muslim di negeri Mesir. Persoalan ini digambarkan oleh Imam Hasan al-Banna tentang minoritas, khususnya minoritas suku Qibti. Beliau mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
” Allah tidak menghalangi kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengsuir kalian dari kampung halaman kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka, sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”
(Surat Al-Mumtahanah: 8)

Pemahaman tentang minoritas ditegaskan kembali oleh Ikhwanul Muslimin di dalam Nahwa An-Nur, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa islam melindungi kaum minoritas melalui prinsip: Islam menganggap sakral kesatuan humanisme universal dan kesatuan agama universal. Hasan Al-Banna juga menegaskan visi serupa dalam rislah yang bertajuk Ila Asy-Syabab., Bahwa Islam sangat memeprhatikan penghormatan kepada jalinan kemanusiaan universal di antara anak manusia, mewajibkan berbuat baik kepada sesama warga negara meskipun berbeda ideologi dan agama.

Sikap Ikhwan terhadap Arabisme dan konfederasi Arab.
Liga Arab yang sudah berdiri sejak tahun 1945 juga tidak mampu menyatukan negara-negara Arab ataupun mencegah serta menyelesaikan konflik yang muncul diantara anggotanya meskipun dalam programnya disebutkan bahwa tujuan liga Arab ialah mewujudkan persatuan diantara anggotanya dan mencegah konflik. Menyatukan negara-negara Arab tidak terlepas pada seruan nasionalisme Arab.
Ikhwanul Muslimin nelakukan konfrontasi dengan pemerintah. Ketika nasionalisme liberal diserang karena kekalahan Negara dalam perang Palestina, akibat pembangunan Negara Israil oleh Amerika dan Inggris, rakyat Mesir tidak dapat memaksa Inggris untuk keluar, penganguran banyak, kemiskinan, korupsi, Ikhwanul Muslimin yang digerakkan oleh al-Banna secara kuat menaikkan kepercayaan mereka sebagai anak-anak patriotik Mesir dan nasionalisme Arab pada partisipasi signifikan mereka di tahun 1948 dalam perang Palestina dan krisis Suez di tahun 1951.
Hasan Al-Asymawi memandang bahwa nasionalisme Arab, sebagai sebuah ikatan yang lahir dari kesatuan perasaan, problematika, cita-cita dan kepentingan, di tengah penduduk negara-negara ini, yang berbahasa dengan bahasa yang satu bdan beriman dengan iman yang satu dan beriman dengan iman yang satu, dan bahkan wajar saja bila nasionalisme Arab menyeru kepada kesatuan Arab, bukanlah tujuan, melainkan bingkai pemikiran dan tradisi. Ia menolak nasionalisme Arab, jika tidak memiliki muatan keislaman.

Gerakan Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa Islam dan Arabisme adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan, tidak akan ada kekekalan bagi Islam kecuali dengan Arabisme. Hasan Al-Banna menyebut bahwa Arabisme mempunyai tempat yang menonjol dalam dakwah Ikhwan. Demikian itu, karena Arab adalah umat Islam pertama. Jika bangsa Arab terhina, terhina pula Islam, yang terlahir dengan berkebangsaan Arab. Kitab sucinya datang dengan bahasa Arab yang fasih. Bangsa-bangsa lain bersatu karena Islam atas dasar bahasa Arab ini. Paradigma ini mendeskripsikan bahwa ketika kedaulatan politik Arab berbalik dan berpindah ke tangan bangsa non-Arab, islam pun terhina.
Hasan Al-Banna menganggap bahwa di antara sebab-sebab keruntuhan kedaulatan Islam adalah berpindahnya kekuasaan dan kepemimpinan ke tangan non-Arab. Atas dasar itu, Ikhwan menuntut adanya sikap politik, yakni keharusan berusaha menghidupkan konfederasi (kesatuan) Arab lalu berjuang untuk membelanya. Dengan demikian, Ikhwan menerima proyek konfederasi Arab, meskipun itu merupakan produk Inggris. Itu karena melihat bahwa padanya terdapat sarana yang dapat memudahkan proses komunikasi dengan berbagai bangsa yang tergabung dalam konfederasi itu, bahkan akan mendatangkan kebaikan bagi negara-negara Arab dan negara-negara Islam seluruhnya.

Sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.
Pendiri Gerakan Ikhwnul Muslimin, Hasan Al-Banna mengistilahkan Konfederasi Islam dengan idiom jami’ah islamiyah (konfederasi Islam) dan ukhuwwah islamiyah (persudaraan Islam). Sedangkan Qutub menggunakan istilah kutlah islamiyah (blok Islam) dan terkadang kutlah tsalitsah (blok III). Untuk makna ini juga, ia mengungkapkannya dengan idiom al-ittihad al-islami (ikatan Islam) dan al-wahdah al-islamiyah (kesatuan Islam).
Konfederasi islam digambarkan dengan ukhuwah, ukhuwah adalah ikatan iman yang menubuhkan perasaan sipati, emosi yang tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antar orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan manhaj Islam yang abadi. Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap tolong menolong, saling mengutanakan orang lain (itsar), saling mengasihi, saling memaafkan, toleransi dan saling menanggung (takaful).
Sayid Qutub mendeskripsikan latar belakang konfederasi Islam dengan mengatakan bahwa dunia terbagi menjadi dua blok besar; Barat dan Timur. Blok Barat tegak di atas prinsip imperlialisme. Ini terdiri dari amerika, Inggris, dan Prancis, yang bertujuan untuk memperbudak dan menghinakan kita. Sedangkan Blok Timur, tegak di atas landasan komunis. Rusia (Uni Soviet) dan bloknya menggabungkan diri ke negara-negara koloni Barat setiap kali terjadi persoalan yang menyangkut wilayah Islam. Rusia dan Bloknya mencuri tanah Islam di Turkistan, Qram, dan Yugoslavia. Posisinya persis sebagaimana halnya Blok Barat di Afrika Utara dan Lembah Nil.
Pandangan Sayid Qutub tersebut menggambarkan bahwa persekutuan kekuataan imprealisme untuk melawan kita, menuntut kita untuk bersekutu di bawah panji Independent. ”Imprelaisme melakukan persekutuan, padahal mereka berada pada posisi yang kuat. Bagaimana mengkin kita tidak saling bersekutu, setidaknya, untuk menciptakan kekuataan serupa.”
Ia mempunyai pandangan bahwa satu-satunya jaln yang sesuai dengan kejendak bangsa yang menolak ikatan apa pun dengan imprealis adalah membangun Blok Islam, yang menjamin pembebasan dari imprealisme dan menjamin kuatnya perlawanan mengahdapi arus komunisme yang marak. Artinya, jalan itu adalah Blok Ketiga yang mandiri.
Sayid Qutub dan Asymawi memandang Blok Islam bertujuan, pertama, mengusir penjajahan dari wilayah Islam. Kedua, mewujudkan keadilan sosial secara islami, dalam naungan konstitusi Islam. Selain tujuan itu juga mepunyai sasaran yaitu, Sasaran pertama, merealisasikan kemerdekaan seluruh bangsa yang terjajah dan menumpas imprealisme di muka bumi. Sasaran kedua, menghindarkan umat manusia dari bencana perang ketiga. Blok Islam sebagai counter bagi blok barat yang ingin mengucilkan dunia Islam.

Makna Kebangsaan Bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan Ikhwanul Muslimin memandang kebangsaan sebagai definisi kebangsaan Kejayaan dan kebangsaan Umat. Kebangsaan kejayaan yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin, kebangsaan itu adalah bahwa generasi penerus harus mengikuti para pendahulunya dalam meniti tangga kejayaan dan kebesaran, serta kecermerlangan dan obsesi. Sedangkan Kebangsaan Umat dimaknai sebagai kebangsaan yaitu bahwa keluarga besar seseorang atau umatnya itu lebih utama mendapat kebaikan dan baktinya, serta lebih berhak dengan kebajikan dan jihadnya Pandangan gerakan ini memberikan pemahaman bagi generasi penerus untuk merefleksikan diri sebagai pejuang patriotik dengan melihat dari generasi pendahulunya serta menghormati atas jasa-jasa pendahulunya.
Gerakan Ikhwanul Muslimin menggambarkan ketidaksetujuan terhadap makna kebangsaan jika makna kebangsaan adalah menghidupakan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, membangkitkan kenangan-kenangan usang yang sudah terlupakan, menghapus peradaban baru yang bermanfaat dan telah mapan, melepaskan ikatan Islam dengan alasan demi kebangsaan dan kebanggaan dengan etnik, sebagaimana yang dilakukan beberapa negara yang dengan berlebihan memusnahkan simbol-simbol Islam dan Arab. Makna kebangsaan ini diistilahkan oleh Ikhwanul Muslimin dengan Kebangsaan Jahiliyah.
Ikhwanul Muslimin juga mengungkapkan ketidaksepakatan apabila kebangsaan dimaknai untuk membanggakan ras, hingga melecehkan ras lain memusuhinya, dan mengorbankannya demi eksistensi serta kejayaan suatu bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Arrafie, Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ dan Ikhwanul Al-Muslimin , Analytica Islmaica, Vol. 10. No.2., hlm. 455.

Abdullah, Muhammad Al Khathib Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, terj. Khozin Abu Faqih , Bandung : Asy Syamil, 2001.

Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, terj. Khalifurrahman Fath , Solo: Media Insani Press, 2003.

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terj. Anis Matta, Solo: Era Intermedia, 1998.

_____________, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, terj. Khozin Abu Faqih , Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2005.

Hudaiby, Muhammad Ma’mun, Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin, terj. Engkos Kosasih , Bandung: Syamil, 2003.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, terj. Masykur Hakim , Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Ruslan , Utsman Abdul Mu’iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” Untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari tahun 1928 hingga 1954, terj. Safuddin Abu Sayyid , Solo: Era Intermedia, 2000.

Setiawati, Siti Muti’ah.et.al, Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (rakyat) Indonesia, Yogyakarta: FISIP UGM, 2004.

Tempo edisi 30 September 2001

Triantini, Zusiana Elly, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin, Al-A’raf Vol.III, No.2 Januari-Juni 2007.

Wahyudi, Kyai Yudian,Ph.D, Back To The Qur’an and The Sunna as The Ideal Solution To The Decline Of Islam In The Moder Age 1774-1974 , Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007.

______________________, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga . Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press, 2007.
.