Review Article
Otoritas dan Kebebasan[1]
Oleh : Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I[2]
Problem Akademik (Sense Of Academic Crisis).
Noel James Coulson[3] menggambarkan adanya ukuran kebebasan seorang hakim atau faqih dalam menentukan hukum, dan sekaligus membandingkannya dengan sikap dan pandangan yang secara umum berlaku sejak awal abad pertengahan sampai abad sekarang dengan pola pandang baru seperti yang muncul di Negara-negara Islam kontemporer.
Inti permasalahan yang diungkapkan Coulson, mempertanyakan otoritas apa sehingga doktrin yang dihasilkan mampu menguasai praktek baik bagi ahli hukum yang tugasnya menjelaskan hukum secara rinci maupun bagi hakim yang tugasnya mengaplikasikan hukum. Dalam interpretasi teks wahyu Tuhan yang telah diterima umum atau dalam peraturan menyangkut kasus baru, apakah seorang hakim atau ahli hukum memiliki kebebasan personal untuk memutuskan, atau diwajibkan mengikuti otoritas yang diakui? Karena pada dasarnya sifat hukum syari’ah itu sementara dan spekulatif dan karena keterkaitan di dalamnya hati nurani keagamaan yang total, konflik antara ide-ide kebebasan individu dan otoritas yang mengikat dalam konteks ini sangat akut.
Hasil Penelitian Terdahulu (Prior Research On Topic).
· M. Abduh (mesir), Iqbal (India)
Para ulama ini melihat tradisi hukum 10 abad yang lalu, secara terang-terangan menolak doktrin taklid, hanya dalam dua decade yang baru lalu implementasi praktis telah dicurahkan untuk membuktikan dalil bahwa para hakim dan ahli hukum syari’ah dengan interpretasi independent tentang teks wahyu Tuhan.
Theoretical Framework
Coulson menggambarkan pada awal abad ke-10 nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas. Karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya, berarti pintu ijtihad, telah tertutup. Generasi ahli hukum masa berikutnya tidak lagi mempunyai hak penyelidikan yang independent dan bahkan diikat oleh prinsip taklid kepada doktrin para pendahulunya.
Hakim atau ahli hukum tidak lagi merasa bebas mempertimbangkan teks al-Qur’an atau as-Sunnah, tidak dapat lagi menjelaskan dengan analogi atau menggunakan istihsan. Seperti telah ditunjukkan keputusan Umar dalam masalah himariyah atau perumusan fiqh Malik yang terkenal.
Berbagai teori telah diberikan untuk menjelaskan fenomena tertutupnya pintu ijtihad dan doktrin taklid ini. Menurut Coulson teori-teori seperti itu adalah khayal dan tidak ada gunanya. Baginya tujuan esensial hukum adalah untuk memantapkan aturan social. Sistem-sistem hukum lainnya, seperti hukum Romawi atau hukum Inggris, juga mengenai periodisasi terutama tentang kapan hukum itu tetap statis namun norma-normanya yang dirancang untuk mengkontrol sejalan dengan watak masyarakat. Tetapi ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan berubah, maka hukum yang sudah tetap itu mulai dipertanyakan dan otoritasnya dipertanyakan dan otoritasnya menjadi hancur. Hukum Islam ternyata tidak lebih immune dari proses umum ini dari pada system hukum yang lain. Boleh jadi hukum islam tetap mantap dan stabil untuk suatu periode yang sangat berlarut-larut.Tetapi ini adalah karena pada dasarnya masyarakat Islam itu sendiri secara relative tetap statis sepanjang waktu ini.
Sebenarnya tidak ada dorongan social yang riil untuk menentang otoritas kitab-kitab hukum masa pertengahan sampai beberapa decade yang lalu dari abad sekarang ini. Tetapi sekarang, tatkala masyarakat Islam datang menerima nilai-nilai dan ukuran-ukuran tingkah laku yang berbeda, doktrin tradisional semakin dipertanyakn dan prinsip taklid pun juga semakin dipersoalkan.
Coulson mepertimbangkan hasil pendekatan baru ini muncul di dua wilayah timur tengah dan Pakistan dan untuk memperlihatkan bagaimana pendekatan baru ini telah menimbulkan perubahan-perubahan penting tertentu dalam hukum syari’ah tradisional tentang perceraian.
Perceraian menurut hukum islam tradisional dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara-cara prinsip. Pertama, dengan persetujuan bersama suami istri, permufakatan sederhana dicapai untuk membubarkan perkawinan dengan tidak perlu menempuh proses pengadilan. Kedua, putusan perceraian dari pengadilan mengabulkan permohonan istri yang menetapkan bahwa suami menderita penyakit ingatan atau penyakit jasmani, atau bersalah karena pelanggaran perkawinan, seperti penganiayaan, meninggalkan keluarga atau gagal memberi nafkah, yang membuat kehidupan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Ketiga, pemutusan perkawinan secara sepihak oleh suami yang menggunakan kekuasaannya yang dikenal dengan talaq, suatu proses yang membedakaannya dari bentuk-bentuk perceraian yang lain, disebut dengan “repudisi” (penolakan) istri oleh suami. Menurut consensus fuqaha tradisional, kekuasaan penolakan yang dimiliki suami adalah sewenang-wenangan.
Coulson melukiskan dalam pembahasan tentang otoritas dan kebebasan, dengan memilih hukum keluarga Negara Syiria yang diundangkan pada tahun 1953. Mukaddimah hukum tersebut yang membahas masalah perceraian adalah cukup fair. Tujuan yang benar dari peristiwa-peristiwa perceraian di dalam islam, yang telah dirumuskan telah disalahmengerti dan dirusak oleh para ahli hukum masa lalu, karena itu doktrin yang dirumuskan tidak memberikan perlindungan yang cukup dalam kehidupan perkawinan dalam Islam dan mengadopsi ketetapan dari luar empat mazhab yang dapat mewujudkan “kesejahteraan masyarakat.” Tetapi setelah ajakan yang keras dari mukaddimah ini, dua penyimpangan utama dari hukum talaq tradisional muncul, mungkin sebagai sesuatu anti klimaks. Coulson dalam menggambarkan problem ini selain studi kasus di Syiria tetapi di daerah-daerah yang lain.
Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa pemikiran independent masih lebih merupakan pengecualian dari pada aturan pada umumnya, dan walaupun penghormatan yang tinggi terhadap otoritas tradisional, mengandung arti, seperti dictum dari salah satu kasus di Pakistan. Bahwa mereka “tidak mudah diganggu gugat.” Namun ada kecenderungan yang nyata sekarang ini tentang kebebasan penyelidikan independent yang lebih besar untuk mengetahui dengan pasti istilah-istilah hukum agama. Tentu saja penyelidikan seperti itu hanya dapat berjalan skup yang sangat terbatas. Usulan apa saja yang beranjak dari hukum otoritas klasik harus selalu didasarkan atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an atau as-Sunnah. Tentu saja ini merupakan proses pemikiran hukum yang jauh dari ide keleluasaan yang tak terbatas dan tingkah qadi yang sewenang-wenang, yang duduk di bawah pohon palm, tanpa prinsip bagaimana berbuat, dan “tanpa aturan hukum yang menuntunnya.”
[1] Artikel ini dikutip dalam buku Noel James Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Terj.Drs. H. Fuad, M.A (Yogyakarta: Navila, 2001) terutama pada Bab III hal 49-70.
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Noel James Coulson (1928-1986), Sarjana kenamaan dalam kajian hukum Islam di Perguruan Tinggi Barat. Menekuni pemikiran Hukum Islam abad klasik dan tengah.
Otoritas dan Kebebasan[1]
Oleh : Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I[2]
Problem Akademik (Sense Of Academic Crisis).
Noel James Coulson[3] menggambarkan adanya ukuran kebebasan seorang hakim atau faqih dalam menentukan hukum, dan sekaligus membandingkannya dengan sikap dan pandangan yang secara umum berlaku sejak awal abad pertengahan sampai abad sekarang dengan pola pandang baru seperti yang muncul di Negara-negara Islam kontemporer.
Inti permasalahan yang diungkapkan Coulson, mempertanyakan otoritas apa sehingga doktrin yang dihasilkan mampu menguasai praktek baik bagi ahli hukum yang tugasnya menjelaskan hukum secara rinci maupun bagi hakim yang tugasnya mengaplikasikan hukum. Dalam interpretasi teks wahyu Tuhan yang telah diterima umum atau dalam peraturan menyangkut kasus baru, apakah seorang hakim atau ahli hukum memiliki kebebasan personal untuk memutuskan, atau diwajibkan mengikuti otoritas yang diakui? Karena pada dasarnya sifat hukum syari’ah itu sementara dan spekulatif dan karena keterkaitan di dalamnya hati nurani keagamaan yang total, konflik antara ide-ide kebebasan individu dan otoritas yang mengikat dalam konteks ini sangat akut.
Hasil Penelitian Terdahulu (Prior Research On Topic).
· M. Abduh (mesir), Iqbal (India)
Para ulama ini melihat tradisi hukum 10 abad yang lalu, secara terang-terangan menolak doktrin taklid, hanya dalam dua decade yang baru lalu implementasi praktis telah dicurahkan untuk membuktikan dalil bahwa para hakim dan ahli hukum syari’ah dengan interpretasi independent tentang teks wahyu Tuhan.
Theoretical Framework
Coulson menggambarkan pada awal abad ke-10 nampak bahwa hasil-hasil awal ahli hukum telah dianggap matang dan tuntas. Karenanya ijtihad setelah itu boleh jadi tidak ada manfaatnya, berarti pintu ijtihad, telah tertutup. Generasi ahli hukum masa berikutnya tidak lagi mempunyai hak penyelidikan yang independent dan bahkan diikat oleh prinsip taklid kepada doktrin para pendahulunya.
Hakim atau ahli hukum tidak lagi merasa bebas mempertimbangkan teks al-Qur’an atau as-Sunnah, tidak dapat lagi menjelaskan dengan analogi atau menggunakan istihsan. Seperti telah ditunjukkan keputusan Umar dalam masalah himariyah atau perumusan fiqh Malik yang terkenal.
Berbagai teori telah diberikan untuk menjelaskan fenomena tertutupnya pintu ijtihad dan doktrin taklid ini. Menurut Coulson teori-teori seperti itu adalah khayal dan tidak ada gunanya. Baginya tujuan esensial hukum adalah untuk memantapkan aturan social. Sistem-sistem hukum lainnya, seperti hukum Romawi atau hukum Inggris, juga mengenai periodisasi terutama tentang kapan hukum itu tetap statis namun norma-normanya yang dirancang untuk mengkontrol sejalan dengan watak masyarakat. Tetapi ketika keadaan masyarakat telah berkembang dan berubah, maka hukum yang sudah tetap itu mulai dipertanyakan dan otoritasnya dipertanyakan dan otoritasnya menjadi hancur. Hukum Islam ternyata tidak lebih immune dari proses umum ini dari pada system hukum yang lain. Boleh jadi hukum islam tetap mantap dan stabil untuk suatu periode yang sangat berlarut-larut.Tetapi ini adalah karena pada dasarnya masyarakat Islam itu sendiri secara relative tetap statis sepanjang waktu ini.
Sebenarnya tidak ada dorongan social yang riil untuk menentang otoritas kitab-kitab hukum masa pertengahan sampai beberapa decade yang lalu dari abad sekarang ini. Tetapi sekarang, tatkala masyarakat Islam datang menerima nilai-nilai dan ukuran-ukuran tingkah laku yang berbeda, doktrin tradisional semakin dipertanyakn dan prinsip taklid pun juga semakin dipersoalkan.
Coulson mepertimbangkan hasil pendekatan baru ini muncul di dua wilayah timur tengah dan Pakistan dan untuk memperlihatkan bagaimana pendekatan baru ini telah menimbulkan perubahan-perubahan penting tertentu dalam hukum syari’ah tradisional tentang perceraian.
Perceraian menurut hukum islam tradisional dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara-cara prinsip. Pertama, dengan persetujuan bersama suami istri, permufakatan sederhana dicapai untuk membubarkan perkawinan dengan tidak perlu menempuh proses pengadilan. Kedua, putusan perceraian dari pengadilan mengabulkan permohonan istri yang menetapkan bahwa suami menderita penyakit ingatan atau penyakit jasmani, atau bersalah karena pelanggaran perkawinan, seperti penganiayaan, meninggalkan keluarga atau gagal memberi nafkah, yang membuat kehidupan perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi. Ketiga, pemutusan perkawinan secara sepihak oleh suami yang menggunakan kekuasaannya yang dikenal dengan talaq, suatu proses yang membedakaannya dari bentuk-bentuk perceraian yang lain, disebut dengan “repudisi” (penolakan) istri oleh suami. Menurut consensus fuqaha tradisional, kekuasaan penolakan yang dimiliki suami adalah sewenang-wenangan.
Coulson melukiskan dalam pembahasan tentang otoritas dan kebebasan, dengan memilih hukum keluarga Negara Syiria yang diundangkan pada tahun 1953. Mukaddimah hukum tersebut yang membahas masalah perceraian adalah cukup fair. Tujuan yang benar dari peristiwa-peristiwa perceraian di dalam islam, yang telah dirumuskan telah disalahmengerti dan dirusak oleh para ahli hukum masa lalu, karena itu doktrin yang dirumuskan tidak memberikan perlindungan yang cukup dalam kehidupan perkawinan dalam Islam dan mengadopsi ketetapan dari luar empat mazhab yang dapat mewujudkan “kesejahteraan masyarakat.” Tetapi setelah ajakan yang keras dari mukaddimah ini, dua penyimpangan utama dari hukum talaq tradisional muncul, mungkin sebagai sesuatu anti klimaks. Coulson dalam menggambarkan problem ini selain studi kasus di Syiria tetapi di daerah-daerah yang lain.
Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa pemikiran independent masih lebih merupakan pengecualian dari pada aturan pada umumnya, dan walaupun penghormatan yang tinggi terhadap otoritas tradisional, mengandung arti, seperti dictum dari salah satu kasus di Pakistan. Bahwa mereka “tidak mudah diganggu gugat.” Namun ada kecenderungan yang nyata sekarang ini tentang kebebasan penyelidikan independent yang lebih besar untuk mengetahui dengan pasti istilah-istilah hukum agama. Tentu saja penyelidikan seperti itu hanya dapat berjalan skup yang sangat terbatas. Usulan apa saja yang beranjak dari hukum otoritas klasik harus selalu didasarkan atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an atau as-Sunnah. Tentu saja ini merupakan proses pemikiran hukum yang jauh dari ide keleluasaan yang tak terbatas dan tingkah qadi yang sewenang-wenang, yang duduk di bawah pohon palm, tanpa prinsip bagaimana berbuat, dan “tanpa aturan hukum yang menuntunnya.”
[1] Artikel ini dikutip dalam buku Noel James Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Terj.Drs. H. Fuad, M.A (Yogyakarta: Navila, 2001) terutama pada Bab III hal 49-70.
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Noel James Coulson (1928-1986), Sarjana kenamaan dalam kajian hukum Islam di Perguruan Tinggi Barat. Menekuni pemikiran Hukum Islam abad klasik dan tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar