Rabu, 21 Januari 2009

Dinamika Kompilasi Hukum Islam

Dinamika Kompilasi Hukum Islam:
Dalam Bingkai Hukum Negara Modern
(Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan)

Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi politik dan pemerintahan dalam Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstraksi
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan. Untuk mendeskripsikan Dinamika Kompilasi Hukum Islam Dalam Bingkai Hukum Negara Modern serta penerapannya di Indonesia memerlukan kajian dalam perspektif Etika dan Pemerintahan. Yaitu dilihat dari 3 aspek; Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi) dan Aspek Penegakan Hukum (Law enforcement).

Key word : Kompilasi Hukum Islam, Hukum Modern, Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan.

A. Pendahuluan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.[3] Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamiy , atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom islamic law.[4] T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[5] Kalau kita lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus diperjuangkan.[6]
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.[7] Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.[8]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. [9]
Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.[10] Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.


Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).[11] Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.[12] Di sisi lain ada kalangan yang menginginkan untuk menolak apa pun yang bernuansa syari’at dari institusi negara.[13]

Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan pemerintahan dilihat dari 3 aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).

B. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas.[14] Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi.[15] Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.


1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983. [16]
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).[17] Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.

2. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[18]

3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[19]

C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering”[20] Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
Peradilan dan Hakim-Hakim Agama.
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara.[21]Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin)
Peran ulama dalam dinamika bangsa Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di indonesia.[22] Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23]

Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam.
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan dapat membingungkan umat.[24]

Lembaga Pendidikan Tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.[25]

Lembaga- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah.
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.[26]
Media Massa.
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [27]

D. Penegakan Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan.

Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.


Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.[28]
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Akademika Pressindo,1992.

Ali , Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

____________ , Sosiologi Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Amrullah, Ahmad,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Arif, Abd Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut ,Yogyakarta: LESFI, 2003.

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya , Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Bisri , Cik Hasan, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia , jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hasan , Muhammad Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural , Jakarta: Lantabora Press, 2004.

Huda, Ni’matul, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan , Yogyakarta: FH UII Press, 2007.

Husin, Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial Jakarta; Penamadani, 2004.

Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Syaukani,Imam, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional , jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Sumaryono, E, Etika dan Hukum , Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Majalah

Gatra, 13 desember 2007.

[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 77.
[4] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta; Penamadani, 2004), hlm. 7.
[5] Ni’matul Huda, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 305.
[6] Ahmad Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press,1999), hal 141
[7] Dalam perwujudannya, hukum kodrat memiliki dua bentuk; pertama, kebijaksanaan atau kearifan yang perlu untuk menjalani hidup dengan yang oleh Aquins sebut “akal praktis”, kedua, aeqitas (equity, epiekeia), yaitu kewenangan pemerintah untuk meninggalkan ketentuan hukum jika penerapan harfiahnya justru menghilangkan semangat kalimat-nya.
[8] E Sumaryono, Etika dan Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18.
[9] Abd Salam Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI,2003), hlm. 15.
[10] Ibid.
[11] Cik Hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia (jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 5.
[12] Minimal berlaku terbatas bagi warga muslim.
[13] Gatra, 13 desember 2007.
[14] Asumsi ini dikumandangkan oleh kelompok yang tidak setuju terhadap akomodasi hukum islam dalam bentuk formalisasi dan positivisasi sebagai bagian hukum negara.
[15] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 249-250
[16] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm. 98
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 100.
[19] Ibid.
[20] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[21] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 77.
[22] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2004), hlm. 232.
[23] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[24] Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), hlm 7
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm.100.

Kekuasaan Politik Sri Sultan Hamengku Buwono X


KEKUASAAN POLITIK
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
(Analisis wacana terhadap Pro dan Kontra Rancangan Undang Undang Keistemewaan DIY)

Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
abstraksi
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain. Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media

A. Pendahuluan.
Sepanjang sejarah, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, masa orde baru, dan era reformasi dewasa ini, kedudukan dan peranan kepala daerah dengan beragam penyebutan seperti Gubernur, Bupati, Walikota, telah menunjukkan eksistensinya, baik sebagai pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun dalam memimpin organisasi administrasi pemerintahan.[3] Implikasi dari UU No. 32 Tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.
Proses pemilihan kepala daerah menjadi inti permasalahan dalam perdebatan draft RUU keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, tidak semua rakyat Yogyakarta memiliki aspirasi politik yang sama. Ada lapisan sosial yang mendukung berlakunya sistem pemerintahan feodal melalui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur otomatis pada Hamengku Buwono dan Paku Alam. Namun, ada juga rakyat Yogyakarta yang menghendaki pemilihan kepala daerah melalui pemilihan dalam bingkai demokrasi modern.
Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[4] menggambarkan dinamika politik lokal Yogyakarta dalam merespon pro dan kontra RUUK Yogyakarta. Gerakan masyarakat Yogyakarta tersebut mengkonstruksikan pemikirannya melalui simbol sebagai identitas budaya jawa. Bentuk identitas budaya jawa itu diwujudkan dalam tradisi Pisowanan Agung, Laku Budaya Bisu Mubeng Beteng, Sidang Rakyat, Aksi Tapa Bisu Mubeng Beteng, dan Tapa Brata Ngulandara.

B. Peneguhan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengukuhan keistimewaan Yogyakarta, tidak terlepas dari integrasinya antara daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya. Integrasi daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya merupakan warisan dari leluhur Sinuwun Kaping I sampai dengan VIII. Warisan itu terkandung pula nilai-nilai spiritual, nilai-nilai adat jawa, dan nilai-nilai kekuasaan negara.[5] Keistimewaan Yogyakarta sebagai proses sejarah yang panjang sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta hingga adanya modernisasi.
Kasultanan Yogyakarta berdiri sebagai Konsekuensi Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 februari 1755 . Perjanjian Giyanti berdasarkan perundingan antara Pangeran Mangkubumi, kumpeni , dan surat persetujuan dari Sri Paku Buwono III tanggal 4 November 1754.[6] Konsekuensi Perjanjian itu adalah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Implikasi Perjanjian Giyanti itu , Pangeran Mangkubumi digelari sultan untuk setengah dari wilayah Mataram. Penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan dilaksanakan pada tanggal 13 februari 1755, dengan sebuah Qur’an di atas kepalanya, Mangkubumi bersumpah ,
bahwa Allah dan Nabi Muhammad akan mengutuk dirinya dan keturunannya jika mereka melanggar kesepakatan.[7]
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah kasultanan Yogyakarta dipersempit oleh pemerintah Inggris melalui politik kontrak dibawah Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles dan diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, adik HB II yang berkedudukan tidak di bawah sultan (Pangeran Merdiko) dan bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Paku Alam memerintah di Puro Paku Alaman dan sekitarnya (onderdistrik Paku Alaman) dan Kabupaten Adikarto (Karang Kemuning, sekarang Kulonprogo) yang meliputi empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko, dan Tawangkarto. Dengan demikian muncul kerajaan baru disamping Kasultanan Yogyakarta, yakni Kadipaten Paku Alaman.[8]
Setelah perang Diponegoro, tepatnya pada tanggal 27 September 1830, Belanda mempertegas wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan perjanjian Klaten. Isi perjanjian tersebut menegaskan bahwa wilayah Yogyakarta meliputi Mataram dan Gunung Kidul, sedang Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati. Pada jaman penjajahan Belanda status Kasultanan Yogyakarta tidak diatur dengan Ordonantie (undang-undang), melainkan diatur dalam perjanjian antara Gubernur Jendral Belanda dan Sri Sultan. Perjanjian itu kemudian dinamakan Politiek-contract. Politiek-contract yang terakhir merupakan kesepakatan antara Sri Sultan Hamengku buwono IX dengan Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 18 Maret 1940 (Staatsblad tahun 1941 No. 47).[9]
Perjanjian tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Hindia Belanda yang menurut pasal 1 merupakan Gronwet Belanda (bagian dari kerajaan Belanda). Pengakuan atas kekuasaan sultan ini tidak hanya berasal dari pemerintah kolonial Belanda saja. Pemerintah Jepang yang berkuasa atas Indonesia sebelum kemerdekaan juga menghormati eksistensi Kraton Yogyakarta yang telah memiliki kewenangan mengelola urusan sendiri.[10] Kekuasaan ini menggambarkan bahwa Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sebuah negara yang berdaulat semenjak perjanjian giyanti (1755) walaupun masih ada intervensi dari penjajah.
Konsepsi jawa tentang kekuasaan berbeda secara radikal dengan konsep yang telah berkembang di barat sejak abad pertengahan, dan dari perbedaan ini sacara logis mengakibatkan perbedaan mencolok pada pandangan cara kerja politik dan sejarah.[11] Kekuasaan itu tergambar ketika Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi tahun 1755. Kekuasaan kraton yang dirancang dengan landasan budaya jawa dan hindu dengan pembaruan yang mendasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.[12] Kekuasaan Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta , dalam Babad Mangkubumi diibaratkan seperti pahlawan yang ada dalam al-Qur’an, yaitu yusuf. Surat yusuf, yang secara agak bebas diadaptasi dari kisah yusuf di Mesir seperti tersebut dalam al-Qur’an surat ke-12.[13]
Kekuasaan atau power dalam paham jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan dirinya alam, kekuasaan adalah ungkapan energi illahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos.[14] Sehingga keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab “dherek ngarsa dalem” (terserah kepada kehendak raja). Kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan “Wenang wiseso ing sanagari” (kewenangan tertinggi di seluruh negeri). Kemauan raja adalah kemauan Tuhan, perkataan raja adalah kebenaran, atau yang dikenal dengan Sabda Pandita Ratu.[15] Inti tata pemerintahan tradisonal selalu adalah sang penguasa sebagai personifikasi kemanunggalan masyarakat. Kemanunggalan itu sendiri adalah simbol penting kuasa.[16] Sehingga gelar kekuasaan raja kemudian bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah.
Konsep kekuasaan jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk kesejahteraan rakyatnya.[17] Kekuasaan raja di masa Kerajaan Mataram digambarkan dalam dunia pewayangan dengan konsep keagungbinatharaan. Konsep keagungbinatharaan itu bahwa raja itu agung binathara, bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambang adil paramarta (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).[18] Sehingga kekuasaan raja terintegrasi dengan warisan politik tradisional-religius. Sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Yogyakarta bersama rakyat tumbuh menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa- Islam. Posisi keistimewaan terbentuk sebuah ekspresi budaya Jawa-Islam. Ekspresi karya yang khas yaitu dari sistem pemerintahan kerajaan, kekerabatan, kemasyarakatan, dan sastra.
Sejarah yang khas Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan itu menyangkut bukan saja kontribusi DIY dalam mendirikan dan menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi juga secara simbolik dan aktual dalam mengisi visi ke-Indonesia-an secara lebih kongkret. Penelaahan atas sejarah Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku buwono IX dan Paku Alam VIII, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional.[19]
Ketika Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, pemerintah Yogyakarta benar-benar mandiri. Kemudian pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambut berdirinya pemerintah Republik Indonesia serta memberikan pernyataan bahwa mereka berdiri di belakang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.[20] Tidak hanya saat proklamasi, saat menjelang kemerdekaan pun Kasultanan Yogyakarta berperan aktif untuk mendukung adanya NKRI, terbukti adanya partisipasi B.P.H. Puruboyo dan B.P.H. Bintoro di BPUPKI sebagai delegasi resmi Kasultanan Yogyakarta.[21]
Setelah pernyataan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII untuk berdiri di belakang RI, Presiden RI segera mengutus Menteri Negara Mr. RM Sartono dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis ke Yogyakarta untuk menyampaikan piagam mengenai kedudukan Yogyakarta. Sampai akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bersama tertanggal 30 Oktober 1945 yang didahului dengan amanat yang dibuat tanggal 5 September 1945 secara terpisah tetapi bunyi sama, yaitu menyatakan bahwa Yogyakarta yang berbentuk kerajaan, merupakan Daerah Istimewa bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[22]
Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam tersebut dapat dideskripsikan sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta, dalam ranah yuridis formal, telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau daerah Swapraja menjadi daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.[23] Dasar hukum yang melengkapi lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta[24] terutama adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18.[25]
Pada tingkat yang lebih operasioanal, keistimewaan Yogyakarta diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara jelas dan menyeluruh substansi dan ragam urusan yang secara spesifik merefleksikan keistimewaan Yogyakarta. Tiga belas urusan yang ditetapkan melalui UU No. 3 Tahun 1950 setara dengan urusan yang dimiliki daerah lain sesuai dengan pasal 23 dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Berbagai produk hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia pasca UU No. 22/1948, yaitu: UU No. 1 Tahun 1957, Perpes No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), Perpes No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan), UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1975, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.[26] Keistimewaan Yogyakarta juga mengatur kedudukan kekuasaan di pemerintahan daerah yaitu kedudukan kepala daerah.

C. Diskursus Pro dan Kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Perdebatan mengenai RUU Keistimewaan DIY mengemuka di ruang publik sudah cukup lama dan melelahkan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 1998, di DIY terjadi tiga kali ”Sidang Rakyat” untuk menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Peristiwa politik hanya terjadi di DIY ini secara berulang berlangsung mulai 1998, kemudian 2003, dan 2008.[27] Perdebatan itu menggambarkan beragamnya sikap masyarakat dalam menanggapi keistimewaan Yogyakarta.
Polarisasi respon masyarakat mengenai RUU Keistimewaan DIY bisa dideskripsikan melalui wacana yang berkembang di media massa lokal maupun nasional. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda-beda dan menetapkan pedoman-pedoman lain bagi tindakan sosial. Di dalam teori diskursus dalam merespon perdebatan yang terjadi melalui intervensi hegomonis. Intervensi hegomonis merupakan artikulasi dengan menggunakan alat kekuasaan yang menyusun kembali ketidatasaan.[28]
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain.[29]
Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media. Perdebatan yang berlangsung di media dapat dikategorikan dalam tiga hal. Pertama, mekanisme pembuatan, sosialisasi, dan pembahasan RUU. Kedua, dari segi substansi atau format RUU, dan ketiga, tawaran atau saran dari masyarakat. Prihal mekanisme, anggaran pembuatan RUUK DIY sebesar 6 milyar; 5 milyar untuk pusat dan 1 milyar untuk daerah. Mekanisme anggaran ini menjadi pemicu perdebatan panjang. Perdebatan kemudian berlanjut pada masalah sosialisasi draft RUU, kurang dilibatkannya DPRD sebagai representasi masyarakat, dan perdebatan seputar substansi mengarah pada kritik teradap pasal RUU, terutama pada proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam. [30]
Perdebatan tentang proses pemilihan gubernur ini mengundang banyak opini masyarakat. Ada yang menolak dengan alasan menggali lubang demokrasi, tidak sesuai lagi dengan arus globalisasi atau alasan melupakan nilai-nilai keterbukaan dari pihak kasultanan sendiri. Pihak ini menginginkan gubernur atau wakil gubernur dipilih sesuai UU 22/1999. Disamping itu pula yang menyetujuinya dengan alasan historis sebagai bentuk penghormatan atas keputusan pendiri Yogyakarta atau alasan kultural bahkan alasan untuk menghindari konflik dalam pemilihan gubernur atau wakil gubernur.[31]
Jejak pendapat yang terekam di media massa tentang respon masyarakat RUUK DIY yang diselenggarakan DPD KNPI DIY yang dimuat di bernas, 8 Agustus 1998, berhasil mengumpulkan 2.458 responden, kepada mereka ditanyakan soal calon yang dianggap pantas menduduki posisi Gubernur. Responden memilih Sri Sultan Hamengkubuwono X sebanyak 97,32 %, Alfian Darmawan (1,14%), Amin Rais (0,08%), Paku Alam VIII (0,08%), GBPH H. Joyokusumo (0,08%), 8 nama lain (0,32%), dan abstain (0,98%). Gerakan itu diwujudkan dengan Tradisi Pisowanan Kawulo Mataram dan Sidang Rakyat pada tanggal 11 Agustus 1998.[32] Adapula gerakan yang menginginkan adanya pemilihan yang demokratis, diwujudkan dengan perdebatan di tingkat DPRD DIY.[33] Jejak pendapat ini sebagai alat ukur wacana yang berkembang di tahun 1998.[34]
Jejak pendapat dilanjutkan dengan hasil polling Pilgub DIY 2008 Balai Litbang DPD PAN Kota Yogyakarta yang dilaksanakan 1-7 Februari 2008 lalu pada 715 responden menyatakan 89,15 persen setuju mempertahankan keistimewaan, tergantung 7,25 persen dan tidak tahu 3,6 persen. Terkait keistimewaan, 71,33 persen menyatakan keistimewaan terletak pada Gubernur dari Kerabat Kraton, memiliki aturan hukum adat sendiri 19,24 persen dan memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia 9,43 persen. Sebesar 69,19 persen responden tak setuju jika Sultan tak bersedia dicalonkan sebagai gubernur, setuju 27,49 persen dan tidak tahu 3,32 persen. Meski demikian, ketika ditanyakan kesediaan memberikan suara dalam pemilihan gubernur, 67,93 persen responden bersedia, tak bersedia 25,17 persen dan tidak tahu 8,9 persen. Sebesar 58,22 persen menyatakan gubernur dan wagub harus dari pihak kraton dengan tidak harus 37,66 persen dan tidak tahu 4,12 persen. Calon gubernur terkuat yang diinginkan responden ternyata masih dipegang Sri Sultan HB X dengan 37,17 persen disusul beberapa nama seperti Joyo Kusumo, Prabu Kusumo, Yudaningrat, Gusti Pembayun, Paku Alam, Herry Zudianto dan lainnya. [35]
Wacana perdebatan seputar RUU Keistimewaan terutama berkaitan dengan proses rekrutmen pimpinan daerah, yang kemudian dapat dikelompokkan dalam tiga arus pendapat. Pertama adalah yang mempertahankan proses yang sudah dijalankan, yaitu gubernur adalah Sri Sultan dan wakilnya adalah Paku Alam. Kedua adalah yang menginginkan proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur seperti laiknya proses pemilihan di provinsi lain. Siapapun dari partai apapun berhak untuk menjadi kandidat gubernur dan wakil gubernur berdasarkan suara terbanyak. Sementara itu, diantara kedua arus yang sama-sama memiliki banyak pendukung tersebut, terdapat arus pendapat ketiga yang menawarkan konsep kompromis dari kedua pendapat sebelumnya. Berdasarkan pada argumen untuk mempertahankan tradisi dan mengakui eksistensi kraton yang tidak kurang lebih dan tidak lebih penting untuk menjalankan demokratisasi, diusung konsep mengenai pendelegasian kekuasaan dan kewenangan.[36]
Kategirisasi tersebut menggambarkan bahwa, pada tingkat masyarakat Yogyakarta kini memasuki sebuah fase yang bisa disebutkan sebagai masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu sisi terdapat masyarakat yang tersusun secara hierarkis mengikuti pola hubungan patron-client di masa lalu dan di sisi yang lain telah hadir masyarakat yang memiliki corak horizontal yang kuat. Perkembangan corak modernisasi ini telah membawa perubahan-perubahan yang sangat mendasar, tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kasultanan dan Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi masyarakat warga Yogyakarta.[37] Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[38] yang mengungkapkan tetap kuatnya posisi Kasultanan dan Pakualaman sebagai simbol bagi masyarakat Yogyakarta. Serangkaian forum panel ahli yang digelar JIP UGM untuk mendapatkan input yang luas dalam proses penyusunan naskah akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta mempertegas simbol kekuasaan kasultanan dan pakualaman.[39]
Penerimaan dan sekaligus penghargaan masyarakat terhadap Kasultanan dan Pakualaman sebagai “dwi tunggal” yang diidentikkan dengan keistimewaan Yogyakarta terlihat dari hadirnya perkumpulan atau paguyuban Lurah se-DIY yang dikenal dengan Ismaya (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta).[40] Selain paguyuban lurah yang sudah cukup lama aktif dalam dinamika politik lokal, belakangan juga muncul dukungan yang sangat kuat dari Asosiasi Pemerintah Desa se-Indonesia (Apdesi) baik di tingkat Provinsi maupun di masing-masing kabupaten di wilayah DIY. Gerakan ini merupakan cerminan dari masih kuatnya keinginan mayoritas masyarakat untuk melestarikan kehidupan yang didasarkan pada warisan nilai-nilai sosial budaya Yogyakarta.
Keinginan kuat mayoritas warga untuk tetap mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta juga terekam melalui respon masyarkat terhadap pengisian jabatan Gubernur pada tahun 1998. Sebagian masyarakat mengekspresikan aspirasinya secara demonstratif melalui berbagai kelompok yang berujung pada keluarnya Maklumat Rakyat Yogyakarta, 26 Agustus 1998 serta tradisi Pisowanan Ageng.[41]
Pisowanan Ageng kembali dilaksanakan pada 18 April 2007[42] menyusul kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendengarkan secara langsung penjelasasan Sri Sultan Hamengku Buwono X atas keputusan beliau tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY untuk periode mendatang. Forum ini, tetap fungsional sebagai forum pengukuhan dukungan terhadap Kasultanan dan Pakualaman. Inilah modalitas dasar yang akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan RUU tentang keistimewaan Yogyakarta.


[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] J.Kaloh, Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 3.
[4] Gerakan-gerakan itu seperti; Gerakan Kawulo Mataram Manunggal (GKMM), Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY), Paguyuban Lurah Se-DIY yang dikenal ISMAYA (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta), Asosiasi Pemerintahan Desa Se-Indonesia (Apdesi), Paguyuban Dukuh Se-Kab. Sleman Cokro Pamungkas, Kawulo Ngayogyakarta, Paguyuban Dua Satu, Akademisi, NGO-NGO lokal mapun Nasional, Elemen Gerakan Mahasiswa dan Partai Politik di Yogyakarta.
[5] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat (Jakarta: Grasindo,1999), hlm. 55.
[6] Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 4.
[7] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: MATABANGSA, 2002), hlm. 115.
[8] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta Dalam Bingkai Keistemewaan (Yogyakarta: Parwi Foundation, 2002), hlm. 11.
[9] Ibid., hlm. 12.
[10] Ibid., hlm. 13.
[11] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia, terj. Revianto Budi Santoso (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hlm. 42.
[12] Drajat Suhardjo, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 2.
[13] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, hlm. 126.
[14] Jandra, Model Kehidupan Bermasyarakat Dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), hlm. 44.
[15] Ibid., hlm. 45.
[16] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata, hlm. 77.
[17] G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman : Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen 1755-1992 (Yogyakarta: Kanisius,1994), hlm. 27.
[18] G. Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 102-103.
[19] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta: Naskah Akademik dan Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta”, Monograf on Politic & Government Jurnal jurusan ilmu pemerintahan Fisipol UGM dan Program S2 politik local dan otonomi daerah, Vol. 2, No. 1, 2008, hlm. 12.
[20] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52.
[21] P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 160.
[22] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52-53
[23] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 16.
[24] yang semangatnya dirumuskan dengan kalimat : Hamamayu hayuning Bawono, sepi ing pamrih rame ing gawe.
[25] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 54
[26] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 17-18
[27] Bambang Purwoko, Sidang Rakyat, Kedaulatan Rakyat 7 Oktober 2008.
[28] Marianne W. Jorgensen,et.al., Analisis Wacana Teori dan Metode ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 90-91.
[29] Ibid.
[30] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 5.
[31] Ibid., hlm. 6.
[32] Sidang rakyat yang terdiri berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, pengemudi becak, pedagang, tokoh pemuda, ormas dan pelajar.
[33] Ada dua kubu di DPRD DIY, kubu pertama yang menghendaki pengukuhan Sultan Hamengku buwono X, yaitu FKP, FPDI, dan FABRI. Sedangkan kubu kedua menghendaki agar penetapan itu dilakukan melalui pemilihan yang demokratis yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Kubu ini selanjutnya didukung oleh Sekjen Depdagri Faisal Tamim.
[34] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 60.
[35] Kedaulatan Rakyat, 11 Februari 2008
[36] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 40.

[37] Sebagian besar masyarakat tetap memandang dan mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai pusat budaya jawa dan simbol pengayom.
[38] Gerakan yang timbul terutama ketika momentum pergantian Gubernur.
[39] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 21.
[40] Penggunaan nama ini menyiratkan keinginan kuat masyarakat, melalui paguyuban Lurah, untuk melestarikan kondisi sosial budaya. Dipandang dari sisi sosiologis, hadirnya paguyuban Lurah merupakan cerminan keinginan masyarakat untuk tetap diperlakukan istimewa sesuai dengan latar belakang sosio-kultular masyarakat Yogyakarta. Kehadiran paguyuban Lurah menyebar hingga ke Kabupaten di lingkungan Provensi DIY.
[41] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 22.
[42] Jumlah kehadiran warga masyarakat, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang menghandiri “Pisowanan Ageng” pada tahun 1998 yang lalu. Demikian pula, berbeda dengan Pisowanan tahun 1998, adanya unsur mobilisasi terekam dalam proses yang ada.