Senin, 24 November 2008

Momentum Runtuhnya Politik Ras

Momentum
Runtuhnya Politik Ras
(Analisis Wacana terhadap Pidato Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat )

Oleh :
Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstract
Barack Obama win in president election at USA. He become ke-44 president USA, and open new sheet history alongside history election USA president. He represent first president Afro-Amerika. Barack Obama victory oration sesomnate in all the world. Oration which inspiratif for all world, full of political suavity. wise Words network.
As a main medium for political struggle, oration contains a well designed for conveying set of messages. The use of discourse analysis for searching meaning which wish to be sent by Barack Obama to whole world.

Kata-kata Kunci : Pidato Kemenangan Barack Obama; Analisis Wacana


Pendahuluan
Senator Barack Obama terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat. Ia adalah warga Amerika Serikat kulit hitam pertama yang terpilih menjadi presiden. Mayoritas Presiden AS menghuni Gedung Putih adalah sosok yang berumur dan berpengalaman. Hanya sedikit orang muda yang suskses menggapai Gedung Putih. Orang-orang muda yang sukses menjadi presiden AS adalah Theodore Roosevelt (42), John Fitzgerald Kennedy (43), Bill Clinton (46), Ulysses S Grant (46) serta Barack Obama (47).[3] Kemenangan Obama Menggema di seluruh dunia, kemenangannya dianggap sebagai perubahan sosial di Amerika Serikat. Orasi kemenangan Obama menggema di seluruh dunia, bahasa terangkai penuh makna.
Bahasa sebagai medium dalam pengertian kita tidak saja berbuat sesuatu dengan bahasa (with language), melainkan kita beraktivitas di dalam bahasa (within language).[4] Pidato Kemenangan Barack Obama terangkai oleh bahasa yang inspiratif , sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam dengan pendekatan diskursus. Untuk menganalisis Pidato kemenangan Obama menggunakan Analisis Wacana sebagai media untuk interpretasi rangkaian bahasa yang digunakan Obama. Dialog merupakan syarat utama diskursus, pidato merupakan salah satu model dialog- monolog yang bersifat social. Setiap situasi ditopang oleh adat istiadat, yang menuntun kelompok masyarakat tertentu.[5] Pidato seseorang menentukan situasi posisi mereka yang berbicara, dan pada siapa pembicara disampaikan.
Tindakan dan ucapan ( Hannah Arendt ) individu memperlihatkan diri sebagai individu khusus dan memperlihatkan pada dunia bahwa personalitas mereka itu khas. Dalam tindakan dan ucapan, seseorang menunjukkan siapa dirinya, menunjukkan identitas personal khas mereka secara aktif dan memperlihatkan diri mereka di dunia manusia, penyikapan “siapa” sebagai upaya untuk membedakan diri seseorang adalah implicit dalam setiap ucapan dan perbuatan seseorang.[6]

Barack Obama Agen Perubahan Politik Amerika Serikat
Mitos politik ras telah runtuh, mitos mayoritas versus minoritas etnis dan ras di Amerika Serikat dalam politik, kini tinggal kenangan masa silam. Mitos pemisah antara kulit hitam dan kulit putih telah diruntuhkan oleh kemenangan Obama. Tak mengherankan jika Obama menegaskan dalam pidato kemenangannya, perubahan fundamental kini benar-benar terjadi di Amerika.

“Jika ada seseorang di luar sana yang masih ragu bahwa Amerika adalah sebuah tempat di mana segala sesuatu bisa terjadi, yang masih bertanya-tanya apakah mimpi para pendiri bangsa ini masih bisa menjadi nyata di masa sekarang, yang masih mempertanyakan kekuataan demokrasi, malam ini pertanyaan anda terjawab.”[7]
(Barack Obama)

Prolog pidato kemenangan Barack Obama ini menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam mengkonstruk suatu posisi social individu atau seseorang dan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis. Proses ini yang dinamakan Interpelasi yang dipakai dalam pendekatan Marxist Struktural Althusser (1971) dalam melihat hubungan antara subjek dan ideology.[8] Obama ingin menampilkan bahwa “Semua itu serba mungkin”, kemungkinan-kemungkinan yang pernah diragukan oleh beberapa pihak terhadap majunya Obama menjadi calon presiden Amerika Serikat. Sebelumnya Obama dihantam oleh isu rasisme serta dipertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli. Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada tuhan dan senjata.[9]
Pada abad ke-21, orang hitam Amerika telah berjuang ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui perang saudara pada abad ke-19 dan gerakan hak sipil, perjuangan hak asasi, akhir abad ke-20. Pencalonan Obama adalah langkah lanjut dari perjuangan yang belum selesai. [10] Sebelumnya, Amerika menghidap disorientasi, kekeliruan orientasi. Orang Amerika lebih peduli pada soal keamanan ketimbang kebebasan.[11] Obama ingin menampilkan niali-nilai (ideology) yang dibawa adalah kebebasan, mendobrak mitos rasisme, dan obama adalah subjek pendobraknya.
Menurut Foucault, memproduksi wacana bisa dimaknai dengan pengendali kekuasaan. Menurutnya, apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuat bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga social secara keseluruhan.[12] Wacana sebagai media untuk mentransformasikan sebuah ideology ke dalam wilayah public.
Opini akan muncul di mana pun manusia berkomunikasi secara bebas dengan orang lain dan memiliki hak untuk mempublikasikan pandangan mereka, namun pelbagai pandangan yang berbeda tersebut tampaknya juga membutuhkan purifikasi dan representasi. Bahkan meskipun pelbagai opini dibentuk oleh individu dan tetap menjadi milik mereka, akan tetapi tidak ada satu individu yang akan sama untuk mengangkat opini, dan melakukan penyaringan yang memisahkan antara arbitrasi dan indiosinkratik, dan memurnikan menjadi pandangan public.[13]
Memenangkan wacana public adalah seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau, bagaimana membuat mereka berpikir dengan cara yang kita inginkan, bagaimana membuat mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada mereka.[14]Obama ingin mentransformasikan ideology kepada public bahwa Politik Ras sudah runtuh. Kemenangannya adalah satu bukti nyata Amerika mengedepankan demokrasi seutuhnya. Obama ingin memperlihatkan bahwa Amerika terbuka untuk siapa pun untuk maju menjadi presiden.

Budaya Politik Santun Barack Obama
“ Beberapa waktu lalu, saya menerima telepon ucapan selamat yang luar biasa dari senator (john) McCain. Senator McCain sudah melewati perjuangan yang panjang dan sulit selama kampanye. Dan, dia bahkan sudah berjuang lebih lama dan lebih sulit demi bangsa yang dia cintai. Dia sudah lama berkorban bagi Amerika.”
“Saya mengucapkan selamat kepadanya (McCain); juga kepada Gubernur (Sarah) Palin atas seluruh pencapaian mereka. Dan, saya berharap bisa bekerja sama dengan mereka dalam beberapa bulan ke depan untuk bersama-sama memperbarui janji bangsa ini.”
(Pidato Barack Obama)
Politik merupakan satu-satunya seni yang subyeknya adalah manusia dalam hubungan dengan yang lainnya. Politik sebagai seni mengandung keagungan dan kesatunan. Keagungan dan kesantunan politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabdikan diri. Politik memungkinkan pengakuan timbale balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Kesantunan itu terwujud dalam etika politik. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Disatu pihak, etika politik sekaligus adalah etika individual dan etika sosial: etika individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku; etika social karena merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial karena merefleksikan masalah hukum dan tatanan sosial.[15]
Obama ingin menunjukkan kedewasan berpolitik, fatsun politik yang ingin ditunjukkan obama dalam kemenangannya. Obama menggambarkan etika politiknya dengan mengumumkan bahwa lawan politiknya di arena pemilihan presiden USA McCain memberikan selamat kepadanya atas kemenangannya. Konstruksi yang ingin dibangun oleh Obama adalah McCain mengakui kekalahannya atau lapang dada menerima kekalahannya. Nilai – nilai yang dibangun Obama adalah siap menang dan siap untuk kalah tanpa harus saling mencaci maki dan siap saling mendukung apabila salah satunya menang ataupun kalah.
Obama pun membangun opini public untuk membangun fatsun politk dengan mengajak dan merangkul McCain dan Sarah Palin untuk bersama-sama membangun Amerika Serikat. Kemenangan dan kekalahan dalam pandangan saat ini adalah pekerjaan yang telah selesai, saat ini adalah bekerjasama untuk membangun Amerika Serikat untuk melakukan perubahan.



Daftar Pustaka
Anis Matta, Muhammad. Menikmati Demokrasi, Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002
Arendt, Hannah. Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan, Yogyakarta: Qalam, 2003
Fatah, Eep Saefulloh. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi Jakarta: Republika, 2004
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Jorgensen,W. Marianne. Analisis Wacana: Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Macdonell, Diane. Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, Jakarta: Teraju, 2005

Surat Kabar

Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008

[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (NIM: 07.234.424)
[3] Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 4.
[5] Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. Xvii.
[6] Hannah Arendt, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan. (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 122.
[7] Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
[8] Marianne W Jorgensen, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 29.
[9] Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
[10] Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
[11] Eep Saefulloh Fatah,. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi, (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 328.
[12] Marianne W Jorgensen, hlm. 24.
[13] Hannah Arendt, hlm. 268.
[14] Muhammad Anis Matta, Menikmati Demokrasi (Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002), hlm. 38.
[15] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), hlm. 25.

Rabu, 19 November 2008

Kekuasaan Politik Otentik

“Kekuasaan Politik Otentik”
Oleh R. Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)

Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]

Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
4
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)

Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7] Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah” yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya. Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah : 30

“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan. Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka, falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan).[10] Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11] Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.



Daftar Pustaka

Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung

[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102

Selasa, 14 Oktober 2008

Pendekatan Normatif dalam Politik

Pendekatan Normatif[1]
Oleh :
Pamela Maher Wijaya
(mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Teori politik normative, penemuan dan aplikasinya, hubungan antara politik dan moral. Kalau kita pandang di dalam terminology secara sempit sebagai suatu cabang ilmu etika atau moral menjadi dasar dalam mempengaruhi perkembangan kehidupan politik. Teori politik normative adalah cara untuk membahas lembaga social, khususnya berhubungan dengan kekuasaan public, dan tentang hubungan antar individu di dalam lembaga.
Posisi Utama dalam Teori Politik Normatif
Sejak kebangkitannya pada 1970-an. Teori Normatif sudah berkembang ke segala arah. Beberapa penggunanya telah telah mengungkapkan ulang dasar-dasar dari teori yang sudah lama, (diantaranya adalah feminis) telah mencari ide baru. Tiga pendekatan teori normative telah mendominasi perdebatan pada tahun 1970-an dan setelahnya, diantaranya Ultilitarianisme, deontological liberalism dan communitarianism.

A. Ultilitarianisme
Ultilitarianisme adalah filosofi dan moral yang sering dikaitkan dengan pembaharu social yang radikal pada abad ke-19 yaitu, Jeremy Bentham. Seperti yang lain, Bentham curiga dengan aksi politik yang dibangun diatas klaim yang abstrak dan spekulatif tentang hak alami dan kewajiban kita, justru dia mengungkapkan hal yang dia pikir menjadi fakta mendasar tentang manusia yang diungkapkan dengan observasi empiric.
Menurut Bentham, manusia dimotivasi oleh suatu keinginan untuk meraih kebahagiaan dan untuk menghindari penderitaan karena itu keputusan moral politik yang paling benar adalah mencari kebahagiaan terbesar bagi masyarakat umum. Kebahagiaan ini dapat diukur berdasarkan kegunaanya, dimaksudkan untuk menghasilkan kemanfaatan, kegunaan, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, dan objek dari pembuat kebijakan harus dimaksimalkan kegunaan sosialnya.
Bentham tidak mencari aksi yang secara tepat dapat memaksimalkan kebahagiaan, hal itu diserahkan kepada anggota masyarakat. Setiap individu harus mendefinisikan kebaikannya sendiri dan kepada pembuatan keputusan social keinginan dari tiap individu harus dimaksudkkan sejajar pada semua hitungan kegunaan.
Banyak kritik pada filosofi ini, bahwa kebahagiaan dan penderitaan bisa diukur dan keinginan yang tidak bisa diukur dari bermacam individu dapat di bandingkan, dianggapnya tidak masuk akal. Banyak kritikus khawatir terhadap implikasinya untuk individu dan minoritas dari suatu doktrin.
Kegunaan social sebagai sebuah kumpulan dan menolak pembatasan pada aksi social yang mungkin disediakan oleh teori tentang hak. Kecemasan mereka semakin ditambah oleh kepercayaan Utilitarianism pada pilihan-pilihan individu. Ketika beberapa pilihan mungkin sangat anti social ( Rasis contohnya). Keputusan untuk mencari kebahagiaan dari banyak orang dimasyarakat atau orientasi kesejahteraan tekhnokrasi disetujui oleh sebagian besar masyarakat. Model yang dapat membuat persetujuan yang kejam secara bebas dan bisa dima’afkan.
Salah satu kritik tajam diungkapkan John Stuart Mill menjauhkan utilitarianism yang secara kejam mendasarkan pada jumlah dengan mengakomodasi penilaian secara kualitas. Sebagai contoh pengalaman intelektual atau aestetik tertentu mungkin lebih penting daripada keinginan orang yang sebenarnya sepadan tingkat kegunaanya.
Mill juga mendebat utilitarianisme yang menjaga keinginan tertentu yang mendasar dan vital dari semua individu sebagai masalah hak. Hak sendiri berkontribusi pada semua kegunaan umum dengan membuat aman hal yang paling mendasar dari keberadaan kita.
Mill menegaskan bahwa pada suatu waktu hak bisa berkonflik dengan hak lain. Ketika terjadi, hanya hitungan kegunaan relative yang bisa menentukan mana hak yang berlaku. Argument mill ini mengantarkan pada “act-utilitarianisme”, (dimana semua tindakan harus dinilai berbeda dari memaksimalkan kebahagiaan) menjadi rule-utilitarianism (yang akan menjadi semua system peraturan yang mendesak, karena manfaat yang didapat adalah untuk seluruh masyarakat.)

B. Deontological Liberalism
Sangat bertentangan dengan utilitarian bahkan pada etika teologi manapun. Etika teologi adalah moral yang menilai berharganya manusia berdasarkan apakah dia memenuhi suatu tujuan atau menyadari suatu akhir. Pemikir penting pada 70-an, john rawls, Robert Nozick, Ronal Dwarkin dan Alan Gerwith yakin bahwa etika teologi yang telah berubah menjadi politik kehidupan tidak cukup bahkan membahayakan kebebasan manusia.
Argumen mereka menganggap membahayakan kebebasan manusia karena dua hal yaitu, pertama, mereka berpendapat, utilitarianism tidak memperhitungkan keanekaragaman akhir individu baik karena ini mensepesifikkan satu macam tujuan yang mungkin (pemaksimalkan kebahagiaan atau keuntungan) lebih tinggi daripada yang lain atau karena menilai kebaikan manusia atau kesejahteraan berdasarkan kumpulan nilai yang menguntungkan dari suatu masyarakat sebagai suatu keseluruhan atau dari jumlah yang terbesar, gagal untuk mempertimbangkan bahwa tiap individu itu berbeda.
Kedua, etika teologi mengutamakan akhir daripada alat yang mungkin digunakan untuk mencapainya. Secara khusus ini menolak untuk memperbolehkan bahwa pencarian tujuan kumpulan social harus dipaksa oleh hak yang tidak dapat diganggu gugat yang memiliki oleh tiap individu.
Deontological atau kantian liberal, ulitarianism telah menegakkan banyak pemikiran liberal tetapi dari banyak kritik telah diungkapkan bahwa liberalism butuh dasar filosofis yang lebih meyakinkan. Mereka mengkontraskan deontology (etika hak/ kewajiban) dengan teleology (etika akhir). Referensi utama deontology adalah imanuel kant.
Menurut kant, individu adalah suatu akhir (tujuan) bukan alat sehingga mereka tidak bisa diganggu gugat. Kantanian percaya bahwa setiap individu seharusnya lebih bebas menentukan dan mengejar tujuan mereka daripada tujuan orang lain yang menentukan mereka. Tetapi dalam mencapai tujuan harus ada batasan dalam tingkah laku mereka.
Manusia adalah makhluk yang bebas dan otonomi tapi mereka tidak lebih melukai kebebasan dan otonomi orang lain. Mereka percaya bahwa aksi kolektif social pun harus menghormati hak individu. Liberalism berbeda dengan anarkis dengan menerima bahwa ada lembaga yang diperlukan untuk menjaga hak dan membuatnya efektif. Munculah pertanyaan sejauh mana pemerintah bisa bergerak.

C. Communitarianism
Communitarianism dimulai dari dari sebuah kritik pada konsep liberal dari diri individu (liberal self). Menurut Michael Sandel, liberal self itu tidak dibebani atau bisa diadopsi di tempat yang menguntungkan diluar masyarakat dimana dia menjadi bagiannya, dan untuk didefinisikan dengan tujuan dan komitmenya tanpa referensi dari tradisi turunan atau tujuan yang dibagi. Ini diberkati oleh hak dan kewajiban tertentu dalam istilah abstrak murni dan universal yang menyebarkan klaim dan kewajiban yang muncul dari diri kita sendiri dan ikatan social.
Communitarianism percaya kalau liberal self dominant ketika ikatan komunal telah terkikis dan individu menjauhkan diri dan hanyut meskipun sebenarnya kehidupan komunal atau tradisi adalah referensi yang diperlukan oleh individu. Communitarinism curiga dengan cara deontologist, percaya bahwa hak (prinsip universal keadilan) harus dibatasi pada pencarian kebaikan kolektif.
Communitarian curiga pada hak yang berdasarkan liberalism, serta communitarian tidak bergabung dalam alternative politik umum, Secara normative mereka merasa individualisme yang tidak diinginkan semacam ini, adalah sebuah gejala bahwa ada yang salah. Mereka memilih untuk mengatakan tentang suatu “ diri yang berdasar situasi” (situated self) bahwa seseorang yang tergabung dalam suatu masyarakat dan didefinisikan oleh keterikatannya dan pemahaman diri yang digunakan bersama yang menjadi kerangka kehidupan masyarakat. Masyarakat baik desa, pinggiran, pergerakan/ etika grup, yang mengatur hak dan kewajiban khusus. Kita lah yang membuat moral khusus kita. Pada saat yang sama kita perlu terlibat dalam tujuan dari masyarakat kita.
Communitarian sendiri mudah diserang karena tidak cukup menawarkan penjagaan pada kebebasan individu atau penjagaan dari tirani tradisionalis atau mayoritas. Communitarianism menawarkan argument kuat yang membuat kita menyadari bagaimana tradisi turunan kita membentuk moral kita. Walaupun kita tidak setuju dengan tradisi itu tetap menemukan diri kita terlibat di dalamnya. Contohnya: kebiasaan, konstitusi. Ini mengingatkan bahwa kita lahir dengan kewajiban moral sebagai anggota masyarakat.

Keberatan Terhadap Teori Normatif
Sejak 1970an cakupan posisi teori politik telah jelas dan sangat luas. Ketidak setujuan di dalam teori politik antara utilitarian, deontologist, communitarian dan yang lainnya kadang-kadang lebih kritis dan mendalam. Ada 3 tipe dalam mengkritisi teori normative: Logical positivism, relativisme dan determinism.

Logical Positivisme.
Logical Positivisme ini diinsiprasi oleh tulisan Ludwig Wittgenstien di Tractatus Logica Philosophicus (1921). Buku ini adalah suatu tulisan tentang logika bahasa, tentang hal yang membuat kita berarti atau memberi kapasitas pada kebenaran komunikasi. Elemen bahasa yang memberi kekuataan tersebut adalah nama/ simbol karena hanya nama/simbol yang mengacu langsung pada dunia luar bahasa sehingga termediasi. Objec material dapat dirasa langsung.
Wittgenstien beranggapan bahwa etika, estetika, agama dan metafisik itu tidak masuk akal, karena harus didasarkan pada ilmu pengetahuan factual/ bahasa deskriptif dari ilmu pengetahuan. Behaviorist dan analis bahasa yakin pada pemisahan kebenaran factual dan logika dari nilai yang menurut mereka dihasilkan dari emosi, sentiment dan tingkah laku.
Mereka Beranggapan bahwa teori normative adalah nilai yang subyektif dan tidak akan pernah mengaspirasi intelektual tinggi dan ilmu pengetahuan. Respon dari teori normative, moral bukanlah suatu fakta atau logika yang diperoleh dari fakta, tapi yakin bahwa ini tidak akan merusak secara serius pada teori normative. Sejak awal teori normative bisa menggunakan fakta atau bukti dan argument yang dating dari ilmu social deskriptif. Meskipun nilainya tidak berdasarkan dari kenyataan, teori normative normative dalam hubungannya logika yang jelas di suatu perdebatan moral.

Relativisme
Relativisme berpendapat bahwa jika moral tidak dapat diperoleh dari fakta-fakta maka mereka benar-benar murni relative. Dan jika mereka secara murni relative. ( jika tidak ada posisi nilai yang bisa dideskripsikan lebih baik dari yang lain). Maka tidak ada poin di teori normative yang seperti itu.
Communitarian percaya bahwa masih ada tempat untuk tiap-tiap moralitas di suatu komunitas tertentu meskipun moral tersebut secara universal bisa dianggap benar atau salah. Relativism murni menganggap setiap individu adalah sebuah moral itu subjektif. Di beberapa situasi sesuatu yang buruk mungkin akan lebih dipilih daripada moral yang berlaku di masyarakat. Pada teori ini ada persepsi mendasarkan tertentu yang dikenali sebagai sesuatu yang baik secara moral minimal pada beberapa orang dalam suatu batas daerah tertentu.

Determinism
Tidak ada penghakiman dalam suatu aksi yang secara moral salah ketika seseorang tidak diberi pilihan untuk melakukannya. Pilihan tidak didasarkan oleh dominasi seseorang.

Implementasi Teori Normatif
Implementasi Teori ini semisal dengan adanya kebijakan Eutanasia di Negara tertentu. atau hukuman mati bagi seseorang narapidana. Dengan kasus tersebut bisa dihubungkan dengan norma-norma yang ada di dalam Agama.
Dalam ajaran Utilatarianisme mengambil jalan dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan yang bisa diambil, jenis tindakan manakah yang akan memberi konsekuensi paling baik secara menyeluruh? Tindakan manakah yang akan memberi imbangan paling besar sari kebahagiaan atas ketidakbahagiaan untuk semua terlibat?

Sumber Utama :
David Marsh and Gerry Stoker, Theory and Methods in Political Science, 1997, New York, St. Martin’s Press, Inc.




[1] David Marsh and Gerry Stoker, Theory and Methods in Political Science, 1997, New York, St. Martin’s Press, Inc.

Rabu, 24 September 2008

Hermeneutika Perspektif Farid Esack

Hermeneutika
Perspektif Farid Esack

Oleh : Pamela Maher Wijaya

A. Pendahuluan
Farid Esack dilahirkan di Afrika Selatan, di wynberg wilayah dengan pluralitas agama. Farid Esack memberikan kontribusi kontemporer berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspektive of Interreligious Solidarity againts Oppression (1997). Farid Esack menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk hidup dalam kepercayaan penuh terhadap Al-Qur’an dan konteks kehidupan sekarang yang bersama-sama kepercayaan-kepercayaan lain berkerjasama untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Esack mengembangkan gagasan hermeneutika Al-Qur’an sebagai kontribusi bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam, menguji cara Al-Qur’an mendefinisikan diri (muslim) dan orang lain (non-muslim) dengan tujuan untuk menciptakan ruang bagi kebenaran. Esack mencoba melihat dari pemikiran Fazlur Rahman Dan Arkoun. Fazlur Rahman mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement). Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermeneutik kontemporer. Arkoun menekankan pada pendekatan historis-sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih kohern. Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi di dalam al-qur’an). Kehidupan social keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur social politik. Esack mengungkapkan Teologi pembebasan Al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur social, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama.

Key words : Metodologi, Hermeneutika, Teologi Pembebasan.

B. Problematika (Kegelisahan Akademik)
Latar belakang Apartheid di Afrika Selatan kesulitan untuk mengeksplorasi kehidupan sosial di dalam interpretasi (eksplorasi di dalam al-qur’an). Kehidupan social keagamaan tidak bisa dilepaskan dari Struktur social politik. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.

C. Pentingnya Topik Penelitian
Konteks pembebasan dari seluruh bentuk rasisme dan eksploitasi ekonomi selama masa apartheid, esack berusaha mengeksplorasi retorika pembebasan al-Qur’an dalam suatu teori teologi dan hermeneutika pluralisme agama untuk pembebasan yang lebih kohern. Teologi pembebasan Al-Qur’an bekerja menuju pembebasan agama dari struktur social, politik dan agama serta ide-ide yang didasarkan atas kepatuhan tanpa kritik dan pembebasan seluruh penduduk dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi termasuk gender, ras, kelas, dan agama. Teologi pembebasan semacam ini berusaha mencapai tujuannya melalui partisipasi dan pembebasan.

D. Hasil Penelitian Terdahulu

· Fazlur Rahman
Fazlur Rahman mengusulkan proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda (double movement).
· Mohammad Arkoun juga menawarkan pendekatan hermenetik kontemporer. Arkoun menekankan pada pendekatan historis-sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolak pendekatan filsafat dan teologi. Bahkan ia ingin memperkayanya dengan memasukkan kondisi historis dan sosial kongkret dalam mana islam dipraktekkan. Arkoun menyajikan garis-garis pemikiran itu mencakup Kegunaan, Tanda, Simbol.
E. Metode Penelitian
Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan (Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoun). Pendekatan rahman, menurutnya, kurang apresiasi atas kompleksitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual yang intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan islam pada politik daripada nilai-nilai Islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialetika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan mengabaikan hubungan antara kognisi dan praksis. Ketika rahman mengklaim elan moral dasar al-Qur’an-kesadaran akan Tuhan dan keadilan sosial-Ia lupa akan sebab-sebab struktural dari ketidakadilan itu.
Sementara itu, kritik Esack pada Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya. Menurut Esack, pengetahuan sebagaimana alat sosial lainnya, disamping dapat dikritik, juga tidak pernah dapat netral ”setiap hermeneutika membutuhkan partisanship secara sadar ataupun tidak.”
Esack ingin menutupi kekurangan-kekurangan Rahman dan Arkoun, dengan menawarkan Hermeneutika pembebasannya. Ia yakin bahwa tugas muslim memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal : untuk memaparkan cara interpretasi tradisonal dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk meligitimasi tatanan yang tidak adil, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktivitas islamisis dalam perjuangan demi keadilan dan kebebasan.
Esack mencari dimensi teologis dalam konteks politik tertentu tidak mengimplikasikan bahwa memandang politik sebagai satu-satunya dimensi iman dan bahwa teks bernilai hanya jika berkaitan langsung dengan kepentingan politik.
Esack melihat ada 3 unsur intrinsik dalam proses memahami teks : Pertama, masuk dalam pikiran pengarang. Dalam kasus al-Qur’an, tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk ke dalam pikiran tuhan. Dalam tradisi mistik islam, terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu, tuhan berperan langsung dalam pemahaman teks; yang lain menjadikan muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Bagi rahman dan kaum tradisionalis, makna terletak di dalam teks dan dapat digali oleh ”pikiran murni.” inilah yang disebut pendekatan personal. Problem sebenarnya adalah bagaimana menerapkan pendekatan ini secara sadar pada arena sosio-politik atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Kedua, partsipasi aktif penafsir dalam melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu parsial. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra-pemahaman tentang persoalan yang dikemukaan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Jadi, ” Tak ada intrpretasi tak berdosa, tak ada penafsir tak berdosa, dan tak ada teks tak berdosa”. Pra pemahaman adalah syarat hidup sejarah. Kita perlu membedakan antara diri dengan kondisi dimana diri itu berada. Mengabaikan ambiguitas bahasa dan sejarah serta dampaknya pada interpretasi, menyebabkan tak ada perbedaan antara islam normatif dan apa yang dipikirkan orang beriman.
Ketiga, Interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Makna literal dari suatu ucapan selalu problematik dan tidak pernah bebas nilai. Ini khususnya berkaitan dengan ucapan simbolik dan suci. Pluralitas bahasa dan ambiguitas sejarah tak dapat dihindarkan dalam upaya memahami. Problem bahasa tak terbatas pada penafsir tapi juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan.
Kunci hermeneutik pembebasan dimunculkan dari perjuangan Afrika Selatan demi kebebasan dan Al-Qur’an. Dalam hal ini Esack mencoba mengelaborasi kata-kata kunci: Taqwa, Tawhid, Al-Naas, al-Mustad’afuun, ’adl dan Qist, serta jihad.
· Taqwa adalah terma yang paling komprehensif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia (QS 92: 4-10 dan 49:13). Dengan taqwa. Individu dan pembebasan (QS. 3: 102 : 8:29). Menerima taqwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penafsir dan tindakan menafsir; Pertama, penafsir harus terbebas dari pra-sangka (dann) dan Nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an, dengan taqwa sebagai kunci, memastikan intrepetasi bebas dari obseurantisme teologi dan reaksi politik serta spekulatif subjektif. Kedua, Taqwa memfasilitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam kehidupan penafsir. Ketiga, Taqwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosio-politik. Keterlibatan al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir dalam revolusi tersebut.
· Tawhid, kesatuan tuhan untuk kesatuan manusia. Tawhid adalah fondasi, pusat dan tujuan dari keseluruhan tradisi Islam. Ia adalah jantung pandangan dunia sosio-politik, dan tumbuh secara meyakinkan dalam revolusi iran 1979.
· Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks, teks juga hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada konteks (ketidakadilan dan penindasan di Afrika selatan). Dalam situasi ketidakadilan, Al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi. Pertama, kita harus mencari jalan mendekati Al-Qur’an untuk digunakan melawan ketidakadilan: netralitas dan objektifitas dalam konteks ini adalah dosa. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Farid esack mencoba mengkaitkan antara jalan Tuhan mengidentikkan diri dengan kemanusiaan (Al-Naas), hubungan antara jalan tuhan dan jalan kemanusiaan, pilihan-Nya atas manusia tertindas dan marginal dan pentingnya menegakkan keadilan (‘adl dan qist) atas dasar tawhid dan taqwa melalui jihad. Melibatkan diri dalam hermeneutika pembebasan Al-Qur’an dalam situasi ketidakadilan adalah melakukan teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas terhadap masyarakat tertindas dan marginal dalam perjuangan untuk pembebasan.

G. Kontribusi Penelitian.

Hermeneutika pembebasan Al-Qur’an berbeda dari teologi tradisional dan modern dalam tiga aspek. Pertama, Perbedaan terpenting ada pada tempat penafsir, penafsir menentang pendekatan yang lebih relijius atau akademik terhadap teologi. Artinya, Islam hanya dapat menjadi sejati jika dialami sebagai praksis solidaritas untuk pembebasan; bertentangan dengan teologi tradisional yang mereduksi Islam menjadi ritus formal; dan teologi modern yang berada dalam dunia sekuler. Teologi pembebasan berada dalam dan dialamatkan pada dunia marginal. Kedua, Teologi pembebasan hidup dalam dunia ”kekerasan dan harapan, refleksi dan tindakan, spiritualitas dan politik. Ketiga, kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tidak pernah dapat menjadi mutlak. Gerak hermeneutika secara terus menerus mencari kebenaran yang pada akhirnya membawa pada praksis pembebasan yang lebih besar.

Senin, 22 September 2008

Transformasi PKS (Paradigma Umat ke Bangsa)

Transformasi PKS: Paradigma Umat ke Bangsa
(Jejak Sejarah dan Dinamika Penegakan Syari’ah )
Oleh : Pamela Maher Wijaya

Abstraksi. PKS dianggap sebagai partai yang akan mengubah Indonesia menjadi ‘negara Islam’ dan menerapkan ‘syariah’, tegasnya hukum hudud, potong tangan, dan rajam kepada para pelaku kejahatan yang menurut fikih klasik perlu dijatuhi hukuman seperti itu. PKS juga tidak jarang dianggap lebih berorientasi transnasional; disebut-sebut banyak dipengaruhi organisasi al-Ikhwan al-Muslimun yang sampai sekarang terlarang di Mesir. Apakah PKS memang seperti itu? Negara Indonesia bagaimanakah yang dicita- citakan PKS? Jawabannya jelas dalam tujuan pendirian PKS: ”Tujuan didirikannya PK Sejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke”.‘Masyarakat madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih memahami PKS. Apa yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’? Masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara. Pengertian genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.

Key Words : Transformasi PKS, Syariat Islam, Masyarakat Madani


Pendahuluan.

PKS adalah sebuah fenomena yang paling menarik dalam politik kontemporer Indonesia. Ini tidak hanya karena perkembangan partai yang sangat pesat dalam hal keanggotaan dan perolehan suara dalam pemilu, tetapi juga karena PKS menawarkan pendekatan baru dan berbeda dalam politik Islam yang hampir tidak pernah ada dalam sejarah Indonesia.
PKS mempunyai pendukung utama yang berasal dari kalangan terdidik muda Islam merupakan sesuatu yang unik. Ada beberap hal penting dan saling berhubungan yang perlu dieksplorasi lebih mendalam dalam menganalisis pendekatan baru itu, Pertama, tidak seperti partai-partai islam yang lain, PKS mengambil sumber inspirasi ideology dan organisasi utamanya dari luar dan menjadikan pemikiran ikhwanul muslimin di mesir sebagai model Acuan. Kedua, PKS adalah satu-satunya partai kader yang murni dalam politik Indonesia saat ini. PKS memiliki proses rekrutmen yang khusus dan ketat, training, dan seleksi anggota yang dapat menghasilkan kader-kader dengan komitmen tinggi dan disiplin. PKS mempunya focus tarbiyah yang bertujuan kadernya mempunyai proses tarbiyah dan Muwashafat tarbiyah.[1] Muwashafat adalah kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh kader.
Ketiga, PKS adalah satu-satunya partai yang memiliki jaringan pelayanan social yang luas dan efektif. Keempat, PKS menjadikan moralitas dalam kehidupan public sebagai program utama.
Sesuai dengan dokumen resmi yang dikeluakan oleh DPP PK-kemudian metomorfosis menjadi PKS, Mempunyai 7 (tujuh) Karakteristik; yaitu Moralis, Profesional, Patriotik, Moderat, Demokrat, Reformis dan Independen.[2]
Karakter utama dari partai-partai Islam yang ada sekarang adalah tetap dipegangnya semangat perjuangan penerapan syariat Islam. Karena bagaimanapun partai Islam tanpa cita-cita ini akan kehilangan esensinya. Mengingat cita-cita pendirian Negara Islam telah pudar di Indonesia maka perjuangan yang mengarah pada penerapan syariat menjadi pilihan terakhir. Beberapa calon anggota Legislatif (Caleg) dari PPP dan PBB menyatakan komitmennya untuk terus memperjuangkan cita-cita ini secara riil.
Munculnya partai Islam yang tidak bersemangat dalam hal kampanye penerapan syariat islam secara formal kemudian menjadi pertanyaan besar. PKS misalnya, tidak menyebut klausal-klausal syariah Islam dalam misi dan visi partai yang dijabarkan secara detail dalam program-programnya. Pertanyaan kemudian adalah, apakah benar PKS tidak tertarik memperjuangkan penerapan syariat Islam? Benarkah, partai ini melakukan “politik pintu belakang” ? dengan pertanyaan tersebut akan lebih jelas ketika kita melihat jejak sejarah dan dinamika gerakan PKS dalam memahami Syariat Islam di Indonesia.


Syariah Islam Berwawasan Kesejahteraan.
PKS mempunyai visi “ partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa”, dalam visi ini secara kontekstual adanya keinginan untuk melakukan penegakan system syariat islam dengan bingkai persatuan umat dan bangsa.[3]
Dakwah islamiyah sebagaimana digariskan Rasulullah Saw dan dilanjutkan oleh para shahabat r.a serta pengikutnya yang setia meliputi segi aqidah (ideology), syari’ah (hukum), dan akhlaq (moral) yang utuh terpadu. Esensi dakwah yang paling fundamental ialah menebar rahmat bagi semesta alam, tidak cuma bagi manusia, melainkan juga bagi seluruh makhluk di jagad raya. Esensi dakwah universal itulah yang ingin diterjemahkan PK sejahtera sebagai upaya penegakan keadilan (lebih bernuansa politik dan hukum) serta perwujudan kesejahteraan (beraspek ekonomi).[4]
Kampanye anti korupsi, mendorong pemerintahan yang bersih, pelayanan kepada masyarakat, keadilan, kemakmuran, dan aksi-aksi social yang lain merupakan manifestasi dari pengalaman Islam. Tentunya praktik-praktik semacam ini dipahami sebagai bagian dari syari’ah Islam yang didukung implimentasinya.
Wacana Syariat Islam selalu saja dikaitkan semata-mata dengan hukum potong tangan, rajam, dan hukum-hukum lain yang dianggap memiliki potensi diskriminasi. Masalahnya, banyak masyarakat yang tidak mengetahui konsep semacam ini. Masalah utama adalah terlalu banyak orang yang berbicara syariat dengan penekanan pada potong tangan dan pemakaian jilbab. Tujuan kami adalah bagaimana mendapatkan keadilan.
Penerapan syariat islam di beberapa Negara-negara Islam acapkali menampakkan gambaran yang tidak menggembirakan. Penerapan Syariat Islam di beberapa Negara itu sering dibarengi dengan kondisi ekonomi rakyat yang sangat memprihatinkan. Begitu mereka mampu menyelesaikan persoalan politik umat Islam dan meraih kekuasaan, agenda berikutnya yang menjadi prioritas. Akibatnya, gambaran yang muncul tentang Negara-negara yang menerapkan syariat Islam adalah Negara miskin.
Bagaimana sebenarnya konsep dan aspek syariat Islam berwawasan kesejahteraan itu? Secara umum konsep itu harus mampu memberikan kesejahteraan lahir dan batin kepada bangsa Indonesia. Mampu memberikan ketenangan, keamanan, keadilan dan jauh dari kemungkinan-kemungkinan diskriminasi. Tentunya aspek yang ditonjolkan adalah mendorong praktik-praktik positif dalam masyarakat dan berusaha menutup celah sekecil apapun terhadap parasit dalam negara dan partai. Mengedepankan perilaku bersih dan peduli sebagaimana semboyan kampanye PKS tahun lalu. Hal ini diimbangi dengan Fatwa Dewan Syari’ah Pusat DPP PKS yang menyebutkan bahwa menerima Risywah (suap) adalah haram.[5] Upaya mendorong pertumbuhan dan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia adalah contoh manifestasi dari konsep ini yang perlu dijabarkan lebih detail dalam tataran praktis. Ini semua bisa dicapai apabila diikuti dengan usaha serius mencegah adanya setiap kemungkinan paraktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Para pejabat dituntut untuk berpola hidup sederhana, merasa puas dengan gaji yang mereka terima, dan siap memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat Indonesia.[6]
Berangkat dari tataran ini, barangkali pemahaman tentang bentuk dan aspek syariat islam-seperti ini-akan mudah diterima oleh mayoritas warga negara Indonesia yang menginginkan adanya perubahan dan segera keluar dari krisis mltidimensi ini. Pengalaman aktivis PKS yang bertahun-tahn terbiasa melatih diri untuk menerapkan syariat islam dalam tataran yang lebih praktis ini memberikan harapan akan hal ini. Singkatnya, bagaimana ajaran-ajaran islam itu dapat diterapkan dalam lingkungan sendiri dengan baik, baru kemudian dapat diikuti oleh masyarakat.
Menempatkan dakwah sebagai proses penyucian diri manusia sesuai dengan fitrahnya selaku Hamba Allah dengan mencontohkan dan menyeru kepada kebaikan, dan membentuk kepribadian bangsa. Menjamin kebebasan setiap pemeluk agama untuk menjalankan ajarannya masing-masing dengan sikap saling menghormati.
Menurut Pak Tifatul selaku Presiden PKS dalam memilih calon anggota legislatif pada pemilu lalu sudah melihat komunitas masyarakat di suatu wilayah. Jadi di daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Nasrani, maka dicari juga Caleg yang biasa mewakili komunitas Nasrani. Begitu juga dengan, masyarakat yang mayoritas beragama hindu seperti di bali, kita juga akan mencari tokoh Hindu yang bisa dicalonkan. ” Ini bukti kongkrit dari penjabaran Piagam Madinah yang menjadi pegangan semangat pluralitas dalam berbudaya dan bermasyarakat yang diajarkan Islam.[7]

Masyarakat Madani
Tujuan didirikannya PK Sejahtera adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhai Allah SWT dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke”. Pak tifatul menegaskan pluralitas dalam budaya sudah diajarkan Nabi Muhammad SAW sejak awal.[8]
‘Masyarakat madani’. Inilah salah satu kata kunci untuk lebih memahami PKS. Apa yang dimaksud PKS dengan ‘masyarakat madani’? Masyarakat madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Falsafah perjuangan yang dilakukan PKS sudah jelas, ideologi tauhidullah. Maksudnya, mengesakan Tuhan. Dalam Politik, demokrasi dijadikan jalan yang disepakati bersama. Dalam ekonomi, ingin diterapkan model ekonomi egaliter atau equality opportunity. Di bidang sosial, jelas sekali ingin mewujudkan masyarakat madani. Dalam berbudaya, budaya pluralitas ini diinspirasi dari piagam madinah. Sebuah perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad ketika hijrah dari mekah ke Madinah[9]
Pengertian genuine dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang terikat dalam ukhuwah Islamiyyah (ikatan keislaman), ukhuwah wathaniyyah (ikatan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyyah (ikatan kemanusiaan) dalam bingkai NKRI”.[10]
Dengan platform ini, sekali lagi, jelas, PKS tidaklah bertujuan membentuk ‘negara Islam’ atau yang semacamnya, melainkan bertujuan membentuk masyarakat madani. Jelas pula, masyarakat madani yang diinginkan PKS adalah masyarakat madani yang berbasiskan agama (religious-based civil society); bukanlah masyarakat sipil atau masyarakat kewargaan yang dalam sejumlah wacana tentang civil society tidak memiliki konotasi apalagi hubungan dengan agama. Konsep masyarakat madani yang akhir ini pada dasarnya merupakan teoretisasi dari pengalaman di Eropa Timur dan Amerika Latin.
Bagi PKS substansi keterbukaan dan Nasionalisme sudah selesai. Yang diperlukan adalah pemaknaan dan reformatisasi dalam konteks tantangan zaman baru yang terus berubah, baik di tingkat global, kawasan, maupun dalam negeri. Kesadaran ideologis universal, tuntutan yuridis formal, dan kenyataan empiris masyarakat yang majemuk menjadikan masalah keterbukaan dan nasionalisme sudah selesai di tingkat institusional semua parpol juga ormas yang telah disahkan pemerintah.[11]
Dalam konteks penciptaan masyarakat madani itu yang memungkinkan bagi umat beragama untuk melaksanakan ajaran dan menghadirkan syariah Islam yang rahmatan lil alamin, PKS menawarkan gagasan tentang ”objektivikasi Islam”, atau persisnya ‘objektivikasi nilai-nilai Islam’[12].Ini adalah sebuah gagasan atau bahkan konsep yang sangat menarik.
Apa yang dimaksud PKS dengan ‘objektivikasi Islam’ tersebut? Dalam perspektif PKS, objektivikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subjektif ke ranah publikobjektif; dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik. Secara subjektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun, keinginan subjektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif) dan; resolusi konflik agar konsep dan ide tadi memenuhi prinsip keadilan publik.[13]
Gerakan Nurmahmudo-Soeripto menjadi teladan (role model) bagi kader PK-sekarang PKS di beberapa daerah untuk senantiasa menegakkan kejujuran dan kebenaran. Misalnya, anggota DPRD I Jawa Barat yang mengembalikan uang “ kadeudeuh” (tanda terima kasih) sebesar Rp. 500 juta. Dua anggota legislatif asal PK, Yudi Widiana dan Reza Nasrullah melakukan langkah monumental.[14]



Daftar Pustaka
Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan tarbiyah di Indonesia, Jakarta,Teraju, 2003
Dewan Syari’ah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah Pusat PKS, Robbani Press, 2005
Kompas, 1 Februari 2008
_______, 12 Februari 2008
Republika, 24 April 2008
Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Bandung: Harakutuna,2005
Tim Departemen Kaderisasi PK sejahtera, Manajemen Tarbiyah Anggota Pemula, Bandung, PT Syamil Cipta Media, 2003
Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Politik Islam, Bandung: Harakatuna, 2006


[1] Tim Departemen Kaderisasi PK sejahtera, Manajemen Tarbiyah Anggota Pemula, (Bandung, PT Syamil Cipta Media, 2003) hal 5
[2] Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan tarbiyah di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2003) hal 239
[3] Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, (Bandung: Harakutuna,2005) hal 155
[4] Ibid
[5] Dewan Syari’ah Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah Pusat PKS, (Robbani Press, 2005), hal 119
[6] Yon Machmudi, Partai Keadilan Sejahtera: Wajah Baru Politik Islam, (Bandung: Harakatuna, 2006) hal 99-100
[7] Kompas, 1 Februari 2008
[8] Kompas, 12 Februari 2008
[9] Ibid
[10] Republika, 24 April 2008
[11] Muhamad Sohibul Iman (ketua DPP PKS), Mengokohkan Jati Diri dan Citra PKS, Menyambut Mukernas PKS di Bali 2008.
[12] Republika, 24 April 2008
[13] Ibid
[14] Yon Machmudi., hal 91

Metode Penelitian Gender

Metode Penelitian Gender
Amina Wadud (Inside the Gender Jihad)
Oleh : Pamela Maher Wijaya, S.Sos.IÒ


A. Pendahuluan
Amina Wadud ialah seorang wanita, feminis, dan cendekiawan yang penuh kontroversi. Beliau memperoleh Ijazah Doktor Falsafah dari Universiti Michigan dan tekun mempelajari Bahasa Arab di Universiti Amerika (American University), Universiti Kaherah, dan Universiti Al-Azhar di Kaherah, Mesir. Amina Wadud sebagai Profesor Madya Studi Islam (Associate Professor of Islamic Studies) di Universiti Commonwealth Virginia (Virginia Commonwealth University, VCU) di Richmond, Virginia, Amerika Serikat.
Kegalauan pemikiran Amina Wadud timbul karena fenomena marjinalisasi dan ketidakadilan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. Timbulnya budaya patriarki, struktur sosial masyarakat, sehingga mempengaruhi penafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan. Kegalauan Amina Wadud juga belum berhenti dalam penafsiran, tetapi juga prakteknya, pengalamannya dalam studi di Barat (Amerika Serikat). Amina wadud tertantang dalam penelitian dan mengajar di Amerika Serikat.
Amina Wadud menelaah kajian gender dengan menggunakan metode untuk pemahaman yang komprehenship dari ayat-ayat al-Qur'an tentang perempuan, menetralisir kesubjektifisan penafsiran dan sekaligus kewaspadaan penafsiran, siapa yang menafsirkan dan bagaimana penafsirannya. Terinpirasi dari metode hermeneutik dan penafsiran tematik Fazlur Rahman, analsis historis dari Fatimah Mernisi, kajian fenomenologinya Laila Ahmad, Martin Buber, Abou El Fadl, dan beberapa pemikir lainnya, Amina Wadud menyajikan analisa filologi, hermenetik dan beberapa pemetakan pemikiran tafsir disertai dengan kontektualisasi ayat. Wadud menganalisis teks ayat-ayat al-Qur'an, dengan memusatkan pada susunan bahasa (semantik) al-Qur'an yang bermakna ganda dengan tujuan mengambarkan maksud teks secara komprehensip tentang perempuan. Prinsip umum (universalitas) al-Qur'an, keadilan, kesetaraan martabat manusia menjadi landasan Wadud dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini.
Amina Wadud dalam kajiannya dengan mengungkapkan masalah ketimpangan pemaknaan atau penafsiran ayat-ayat perempuan dan produk fiqh. Dilanjutkan dengan penjelasan fenomena relasi fungsional laki-laki dan perempuan dengan budaya partiarki yang berpengaruh pada penafsiran. Kemudian dalam mengkaji atau menganalisis dan memahami sebuah ayat-ayat tentang perempuan, dengan kontek turunnya ayat (histories) yang ada dalam rangka mencari pemahaman yang tepat (komprehenship).

Key words : Metodologi, Penelitian, gender, Amina Wadud.


B. Problematika (Kegelisahan Akademik)
1. Fenomena termarjinalisasinya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur'an yang ditafsirkan oleh pria (mufasir) beserta pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan paradigma.
3. Model penafsiran dari para mufasir, selanjutnya kepada produk fiqh, term-term dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Banyak ayat-ayat yang ditafsirkan tidak mengandung prinsip ke universalitas Islam dan konsep keadilan/ kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu perhatian Amina Wadud sangat tinggi dalam hal terminologi atau pendefinisian suatu objek.
4. Amina wadud juga mempunyai kegelisahan tentang tantangan dalam belajar dan mengajar dalam kajian wanita muslim, kegelisahan amina wadud tercermin dengan pengalamannya meneliti dan mengajar di akademi U.S (Amerika). Daerah Amerika utara tempat terbesar dalam kajian gender termasuk wanita dan agama.
Al-Qur'an sebagai pedoman universal, tidak pernah terikat ruang dan waktu, latar belakang daerah ataupun jenis kelamin yang selanjutnya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin, untuk itu Wadud berusaha menghadirkan pandangan ayat-ayat yang netral tentang gender.
Amina wadud ingin membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan dalam relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Realitas dalam Islam menunjukan kenapa peran perempuan terbelakang dari pada laki-laki (patriarki). Dia juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatifme Islam. Menurut Amina Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan; kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para penafsir yang kebanyakan dari laki-laki, oleh karena itu ayat tentang perempuan hendaklah ditafsirkan oleh perempuan sendiri berdasarkan persepsi, pengalaman dan pemikiran mereka.
C. Pentingnya Topik Penelitian
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan tentang pemahaman fenomena gender yang terkait dengan perlakuan dan peran perempuan di tengah masyarakat dalam segala aspek kehidupannya. Usaha Amina Wadud adalah terobosan memecah ketidakadilan penafsiran tentang perempuan. Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender, laki-laki dengan perempuan dikalangan umat Islam. Ketimpangan inilah yang membelenggu potensi yang luar biasa yang dimiliki perempuan.
Penelitian ini menjadi unik karena Amina Wadud sendiri merasa punya keterbatasan pengertahuan tafsir al-Qur'an yang menyangkut perempuan. Ia menyadari bahwa ketertarikan para intelektual Islam terhadap persoalan perempuan bukan hal yang baru, hanya saja ia berupaya untuk menjawab persoalan tentang perempuan dengan bersumber pada al-Qur'an an sich ternyata nyaris tidak dilakukan oleh intelektual Islam sejak 14 abad yang lalu. Apalagi di era kritik pasca modern saat ini ketika setiap landasan ilmu pengetahuan ditantang untuk bergerak melampaui nilai-nilai tertentu diperlukan suatu pemahaman terhadap politik wacana gender dalam kontek Islam secara global.

D. Hasil Penelitian Terdahulu
AminaWadud menelaah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya; karya-karya Fazlur Rahman, Fatimah Mernisi, Leila Ahmad, Martin Buber, Khaled Abou El Fadl, Majid Fakhry dan mengabil beberapa tokoh yang lainya untuk memperkuat metodologi dalam menganalisis problem ini.
Fazlur Rahman telah banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran Amina Wadud dalam penafsiran, terutama metode penafsiran yang holistik yang menekankan telaah aspek normatif dari ajaran Islam. Teori holistik menawarkan metode pemahaman al-Qur'an yang menyatu (coherent) disebut sebagai metode hermeneutik (hermeneutik theory). Wadud mengadopsi metode Rahman metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penafsir.
Khaled Abou El Fadl, menawarkan konsep outoritas penafsiran (fatwa), dia berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena merasa ini dari Tuhan, outoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam.
Fatimah Mernisi, yang telah menawarkan pengkajian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang lebih difokuskan pada aspek kultur-historis, dari sinilah dianalisa bagaimana kontek ayat tersebut turun dan bagaimana kondisi, kultur masyarakat pada suatu daerah yang selanjutnya akan berbeda penafsirannya dari daerah satu dengan yang lainya, misalnya nalar orang Arab dengan pengaruh budaya yang ada akan berpengaruh pada praktek ritual dalam ibadah (Islam). Tema kajiannya adalah tentang feminisme.
Leila Ahmad, menyajikan hal yang hampir sama dengan Fatimah Mernisi, focus perhatian Leila Ahmad pada fenomena kelompok pemahaman muslim, selanjutnya tertarik pada fenomena ritual dan culture masyarakat yang berpengaruh pada perlakuan pada peran perempuan. Ada perbedaan nalar pemahaman keberagamaan dari masing-masing daerah karena latar belakang budayanya, misalnya Islam di Timur Tengah dengan Islam di Barat sangat berbeda penerapannya, hal ini di karenakan adanya interaksi Islam dengan budaya lokal.
Marten Buber dengan I-Thou dan I-It. Dalam meneliti sebuah agama tidak bisa menggunakan metode ilmu-ilmu alam untuk mendapatkan kebenaran ataupun objektivitas. Ada sistem kepercayaan yang harus dilihat secara menyeluruh (I-Thou), relasi tuhan-individu dan masyarakat adalah suatu sistem yang harus dikaji secara holistik, kajian terhadap agama tidak sekedar terfokus pada simbol, kitab suci, lembaga keagamaan, hal itu tidak akan membawa seorang peneliti kepada pemahaman tentang suatu agama, itulah I-Thou. Tahap I-It di dalam kajian agama hanya menghasilkan kumpulan data mengenai aspek luar dari agama, agama hanya sebagai objek (I-It).
Majid Fakhry dengan teori etiknya. Dia mendasarkan segala permasalahan kepada pesan moral dari al-Qur'an. Walau pendefinisian etika dari masing individu dengan latar belakang budaya akan berbeda, tetapi ada prinsip dasar tentang itu, yaitu kesatuan nilai moral yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini bisa kita lihat pada konsep taqwa, amar ma’ruf nahi mungkar, keadilan dan lain sebagainya.
Shulamit Reinharz. Patokan masih ortodox, penelitian dalam praktek dalam pluralitas. “Women’s way of Knowing” or “ Feminist way of doing research” and “Colective Voices”.
Azza Karam. Menggambarkan tentang kontradiksi antara wanita sekuler dan aktivis islam. Melihat sisi kultural.
Nikki keddie. Adanya hubungan strata antara Sekuler dan strategi islam dan ideologi.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan Amina Wadud adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik-Hermeneutik, dengan analisa filologi atau content analysis secara holistik. Lebih lengkapnya, Wadud menggunakan teori double movement dan pendekatan Tematik dari Fazlur Rahman untuk menjelaskan ayat-ayat tentang perempuan. Selain menggunakan hermeneutik gerakan ganda, Wadud juga menggunakan metode tafsir al-Qur'an bil al-Qur'an untuk menganalisa semua ayat-ayat yang memberikan petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki. Ayat-ayat yang ada dianalisis pada; konteknya, di dalam kontek pembahasan topik yang sama dengan al-Qur'an, tatanan bahasa yang sama dari stuktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagaian ayat, sikap yang benar adalah yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip universalitas al-Qur'an (Islam).
Wadud menganalisis teks ayat-ayat al-Qur'an, dengan memusatkan pada susunan bahasa al-Qur'an yang bermakna ganda. Prinsip umum al-Qur'an menjadi landasan Wadud dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial. Wadud membahas juga mengenai konsep diri manusia dan stuktur budaya dominan dari suatu masyarakat, budaya patriarki sebagai suatu struktur dominan yang sangat berpengaruh terhadap konstruksi relasi gender di masyarakat.
Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi kemajuan hidup manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam mencapai kemajuan tersebut. Hanya saja budaya sebagai struktur dominan justru melahirkan relasi gender yang jauh dari spirit egalitarianisme.
Bagi Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama, perspektif yang lebih demokratis mengenai hak dan kewajiban individu baik laki-laki ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang keadilan sosial, pengahargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menadi prinsip utama sebuah ‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.
Aminan Wadud, memberikan kewaspadaan kita akan problem semantik “(basic meaning and relation meaning) “, tentang term-term yang ada, definisi, atau intepretasi. Selanjutnya dia mempertanyakan siapa yang berhak mempunyai otoritas intepretasi terhadap makna gender?. Abou El Fadl memberikan gambaran bahwa akan beragam arti/definisi dari suatu objek, perlu diperhatikan adanya faktor politik, budaya, latar belakang keluarga, pendidikan dan lain sebagainya yang mempengaruhi seseorang dalam menginterpretasikan suatu objek kajian. Fadl berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena ini dari Tuhan, outoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam. Dari sinilah Wadud ingin membongkar paradigma syari’ah dan fiqh yang dinilai menyudutkan perempuan. Wadud optimis semangat universalitas al-Qur'an/Islam dapat merubahnya
Dalam rangka mengeluarkan perempuan dari kekangan endrosentrisme (nilai dominan yang didasarkan pada norma dan cara pandang laki-laki), Wadud melanjutkan pemikiran yang memfokuskan kajian lebih ke aspek kultur, tidak sama antara Islam dengan Arab. Harus bisa dpiisahkan antara budaya Arab dan konsep ajaran Islam, Islam tidak sama dengan Arab. Penafsiran terhadap relasi laki-laki dan perempuan banyak dipengaruhi oleh tradisi masyarakat dan celakanya hal itu dikira bahwa itulah Islam. Islam punya pedoman hidup yang bernilai Universal, jangan melihat Islam secara partikular sesuai dengan nalar masin-masing suku atau bangsa. Laila Ahmad menambahkan dalam pemahaman terhadap Islam, kita harus melihat dan memetakan bagaimana kultur berintraksi dengan agama, yang berakibat pemahaman yang berbeda pula.
Menurut Wadud, Islam adalah pilihan untuk menyerah kepada Allah (engaged surender), kita punya kesadaran untuk mengikutinya, manusia bersifat aktif untuk memilih, mengikutinya atau membangkang atau yang lainnya. Kesadaran untuk mengikuti kehendak (Abdullah), bagaimana kita mengikuti syari’ah (kehendak Tuhan), sedangkan syariah adalah produk penafsiran, maka kita harus hati-hati memahaminya. Outoritas untuk memilih adalah kesadaran penuh diri untuk menjalankan pesan-pesan moral secara universal dalam Islam, dan semuanya berkewajiban untuk itu jika mereka mengakui bahwa mereka adalah Islam.
Semangat kesetaraan menurut Wadud, tercermin pada paradigma Tauhid yaitu martabat laki-laki dan perempuan adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua berkesempatan menjadi hamba Allah yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertaqwa. Ukuran taqwa lebih bersifat astraks, penuh pesan moral, karena tanpa membedakan gender, tidak menggunakan ukuran yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, ataupun pada konteks sejarah kecuali pada aspek kualitas tindakan dan sikap hidup manusia, semua bisa menjadi hamba yang bertaqwa dengan syarat menjalankan perintah Allah dalam segala lini kehidupan. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan selalu dirugikan, kepentingan selalu ada di balik interpretasi.
Semangat gender Wadud, berprinsip pada teori etika, moral dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip inilah yang diterangkan oleh al-Qur'an sebagai konsekuenbsi dari potensi kebebasan yang dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih diartikan sebagai wali, penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus memiliki sifat dan karakter seperti yang di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan dalam rangka mencari ridho Allah.
Kesimpulan dari tawaran Wadud adalah; kekuatan atau outoritas penafsiran pada term (objek), siapa penafsirnya, dan bagaimana latarbelakangnya. kesalahan penafsiran pada term gender, keadilan, kesetaraan martabat, tauhid, dan khalifah yang harus di kaji ulang. Islam punya prinsip-prinsip univeral tentang moral, keadilan, dan kesetaraan gender. Prinsip ini yang harus diperhatikan.
Selanjutnya dalam pengalaman Amina Wadud dalam mengajar dan obsevasi di dalam dunia akademik di Amerika Serikat, kebanyakan penelitian agama dan wanita tidak terlepas pada metode Fenomenologi untuk pengujian atau kajian agama di kelas-kelas, dengan beranekaragam keyakinan, praktek, sejarah dan arus zaman sekarang.
Amina Wadud melakukan observasi dengan merujuk pada Azza Karam dan Nikki keddie dalam penelitian agama dan wanita di barat tidak bisa dilepaskan pada worldview pandangan hidup antara sekuler dan aktivis islam, serta terhadap ideologi.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Amina Wadud adalah berkaitan intepretasi di kalangan umat Islam (khususnya) memandang relasi atau kedudukan perempuan dan laki-laki. Ia menjawab problem yang berkaitan tentang perempuan dengan bersumber pada al-Qur'an dengan menawarkan cara/ metode dan pendekatan dalam memahami sebuah teks (al-Qur'an). Fokus perhatian Wadud adalah otoritas penafsiran pada prinsip feminisme, keadilan gender, ayat-ayat tentang keadilan sosial dan kesederajatan manusia dan beberapa faktor yang menyebabkan marjinalisasi peran perempuan.
G. Kontribusi dari penelitian ini yaitu,
pemahaman komprehenship tentang konsep keadilan sosial dan kesetaraan derajat manusia, prinsip dasar Islam, terutama pandangan miring tentang perempuan.
Memotivasi peran perempuan dalam kehidupan publik.


Ò Mahasiswa Study Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

Daya Ikat Konstitusi dalam Negara Hukum

Daya Ikat Konstitusi dalam Negara Hukum
Oleh : Pamela Maher Wijaya
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Pendahuluan
Sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlepas dari penjajahan asing membuktikan bahwa sejak semula salah satu gagasan dasar dalam membangun sokoguru negara Indonesia adalah konstitusionalisme dan paham negara hukum.[1] Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemkian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusinalisme.[2]
Istilah konstitusionalisme mempunyai makna suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[3] Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[4] Dalam hal ini, yang dimaksud negara adalah organisasi kekuasaan. Dikatakan organisasi kekuasaan, karena dalam setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan.
Pusat-pusat kekuasaan tersebut baik yang terdapat dalam Supra Struktur Politik maupun dalam Infra Struktur Politik. Supra Struktur Politik meliputi organ legislatif, eksekutif, yudisial. Di sisi lain, Infra Struktur Politik terdiri atas Partai Politik, Tokoh Politik, Kelompok Penekan, Kelompok Kepentingan, dan Alat Komunikasi Politik. Selanjutnya pusat-pusat kekuasaan yang mempunyai kekuasaan itu mempunyai kekuasaan itu mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain.[5]
Selain konstitusionalisme, sokoguru Indonesia adalah paham negara hukum. Di dalam kepustakaan hukum di Indonesia istilah negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap merupakan terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Istilah Rechtsstaat (yang dilawankan dengan Machtsstaat) memang muncul di dalam penjelasan UUD 1945 yakni sebagai kunci pokok pertama dari Sistem Pemerintahan Negara yang berbunyi ” Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” [6] Kalau kita lihat di dalam UUD 1945 BAB I tentang Bentuk dan Kedaulatan pasal 1 hasil Amandemen yang ketiga tahun 2001, berbunyi ” Negara Indonesia adalah negara hukum.” [7]
Dari teori mengenai unsur-unsur negara hukum, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu: Pertama, adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, dalam melaksankan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya.[8]
Hukum obyektif adalah kekuasaan yang bersifat mengatur, hukum subyektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif.[9] Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat. Efektivitas hukum dalam masyarakat mengandung arti bahwa daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.[10] Untuk mengetahui daya ikat konstitusi dalam negara hukum melalui tiga jalur pendekatan yaitu pendekatan aspek hukum, aspek politik dan aspek moral.
Pendekatan dari Aspek Hukum.
Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum, maka konstitusi itu mengikat, karena ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang didalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).[11]
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Pertama, kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kedua, kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kadah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. Ketiga, kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.[12]
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of social engineering. Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Selain itu, dapat diketahui bahwa pranata hukum itu pasif, yaitu hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.[13]
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila keadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.[14]
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat (warga negara). Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disyahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dalam suatu negara tertentu.[15] Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pada BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 26 ayat (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ayat (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.[16]
Seorang warga masyarakat mentaati hukum karena pelbagai sebab. Pertama, Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar. Kedua, untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa. Ketiga, untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya. Keempat, karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Kelima, kepentingan terjamin. Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriyah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.[17]
Dalam kajian struktur bahasa hukum tentang daya ikat konstitusi dalam aspek hukum bisa kita lihat dalam tindakan bahasa. Ketika tindakan bahasa hukum diperlukan untuk mempengaruhi perilaku, maka ditetapkanlah tindakan-tindakan bahasa direktif, institusional dan perikatan. Tindakan bahasa direktif yang padanya pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk menggerakkan pendengarannya demi melakukan sebuah sesuatu. Sedangkan tindakan bahasa institusional, menggunakan sebuah kalimat yang dilaksanakan dalam sebuah institusi peradilan dan seterusnya. Di dalam institusi itu terdapat aturan-aturan konstitutif yang menimbulkan akibat institusional, dilengkapi dengan diktum sebuah undang-undang atau undang-undang dasar yang mengikatkan diri.[18]
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegakkanya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.[19]
Esensi hukum postif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagaan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.[20]

Pedekatan dari Aspek Politik.
Hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai badan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan proses politik.[21] Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.[22] Fungsi hukum sebagai alat politik dapat dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia peraturan perundang-undangan merupakan produk bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan pemerintah sehingga antara hukum dan politik amat susah dipisahkan. Hukum dimaksud adalah berkaitan langsung dengan negara. Namun demikian, hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.[23]
Hukum merupakan produk politik, sehingga hukumdipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak politik. Secara ideal ada pandangan bahwa bahwa aturan main politiklah yang harus tunduk pada ketentuan hukum (hukum sebagai perekayasa). Politik (dalam arti kekuasaan) dan hukum itu terjalin dalam hubungan yang interdependen dengan adagium ” kekuasaan tanpa hukum adalah dzalim, hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dengan spesifikasi yang pertama, konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistis. Kedua, konfigurasi politik otoriter dan non demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.[24]

Akan tetapi ini tidak bararti, bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum.[25] Teori tentang kekuasaan negara sudah diperbincangkan sejak jaman Yunani kuno. Misalnya, plato dan Aristoteles, dua pemikir besar di jaman itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral dan rasional.[26]
Istilah negara dipakai dalam arti penguasa, untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam sesuatu daerah.[27]
Hukum adalah kekuasaan, yakni kekuasaan yang bercita-itakan keadilan. Karena keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum:[28]
1. Karena hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi hukum bersifat kompromi.
2. Karena Manusia (hukum adalah buatan manusia).
Pada abad ke 19, ajaran bahwa hukum tiak lain daripada kekuasaan, banyak mempunyai pengikut. Lassalle membelanya dalam pidatonya yang termasyhur : ” Uber Verfassungswesen”. Menurutnya, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara.[29]
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu itu. [30]

Sehingga produk politik yang berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuannya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk mentaatinya.[31]

Pendekatan dari Aspek Moral.
Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.[32]
Tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu akan berada di dalam suatu jaringan norma-norma. Karena setiap interaksi yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan gejala sosial. Sedangkan interaksi sosial sebagai gejala sosial dapat terjadi karena hubungan (kontak) antar individu, individu dan kelompok sosial, kelompok sosial dan kelompok sosial yang lainnya. Interaksi itu sendiri akan berjalan seperti diharapkan oleh norma-norma yang menjaringi kehidupan kelompok sosial dalam tingkah laku individunya.[33] Jadi hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup. Tujuannya untuk menjaga tata tertib dan terdiri dari norma-norma (kaidah) yang perlu ditaati oleh setiap individu.
Moral adalah peraturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahaan diri secara mutlak.[34]
Paul Scholten mengungkapkan bahwa keputusan moral adalah otonom/teonom. Yang dimaksud ”teonom” adalah hukum abadi, yakni kehendak Illahi yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal sanksi, tapi bersifat lahiriah melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu, dan menyesal.[35]
Esensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertenu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.[36]
Hukum itu terjadi berkenaan dengan adanya interaksi manusia yang menimbulkan hasil penilaian baik. Aturannya terdiri dari ketentuan-ketentuan yang membatasi tingkah laku mansuia. Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia beraneka macam corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang diberikan manusia dalam menilai tingkah laku. Dan berdasarkan kepada berat ringannya reaksi itu ada ketentuan yang berkenaan dengan sopan santun (kesopanan), kesusilaan yang menyangkut moral dan hukum.[37]
Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam pelbagai hal berlakunya dan akan kelihatan secara nyata kalau suatu ketentuan dilanggar. Tetapi kalau dilihat dari fungsinya bahwa ketentuan itu bertujuan untuk menjaga tata tertib, maka jenis ketentuannya hanya berupa larangan atau keharusan bagi manusia dalam bertingkah laku. Karena itu berdasarkan jenisnya dapat dibedakan adanaya :[38]
1. Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia supaya dalam berinteraksi terjadi tindakan yang sopan.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam melakukan suatu tindakan agar suara batinnya (moral) sesuai dengan kehendak baik dalam masyarakat.



3. Norma Hukum
Norma Hukum adalah ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku manusia agar tindakannya tidak mengganggu ketentraman dan keamanan orang lain.
Hakekat dari ketiga jenis norma ini berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang di dalam pergaulan hidupnya. Dengan perkataan lain bahwa ketiga norma itu merupakan norma sosial. Jadi norma sosial adalah ketentuan-ketentuan umum sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu dalam kehidupan sosial.[39]
Norma sosial sebagai ketentuan tingkah laku memiliki sanksi. Menurut ilmu hukum, sanksi adalah akibat dari pelanggaran suatu norma. Maksudnya bagi seseorang yang tindakannya melanggar salah satu ketentuan sanksi yang sesuai dengan pelanggarannya. Dan secara umum pengertian sanksi itu berupa hukuman.[40]
Dari setiap jenis norma memiliki sanksi sendiri-sendiri. Tetapi dalam beberapa tindakan tertentu sanksi dari masing-masing norma akan dikenakan bersama-sama.
1. Norma Kesopanan yang pada umumnya berlaku sebagai kebiasaan memiliki sanksi yang sangat ringan. Pelanggaran terhadap norma ini hanya akan mendapat celaan dari orang lain.
2. Norma Kesusilaan yang pada umumnya sebagai ungkapan suara hati dan berdasarkan sikap seseorang memiliki sanksi yang berupa suatu kutukan dari orang lain.
3. Norma Hukum yang bertjuan menjaga tata tertib dalam pergaulan hidup memiliki kekhususan tersendiri yaitu keadilan. Sanksi berupa hukuman dan diberikan oleh orang/lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi itu.[41]
Ketiga jenis norma (kesopanan, kesusilaan dan hukum) itu dengan memiliki masing-masing sanksi fungsinya mengatur tingkah laku, yaitu membatasi kebebasan mansia dalam berinteraksi. Dan dengan batasan-batasan yang diberikan kepada mansuia dalam berinteraksi seperti yang dikendaki oleh norma itu, maka melalui kesadaran masing-masing individu diharapkan kelangsungan hidup di dunia ini menjadi harmonis.[42]
Identifikasi diri terhadap norma-norma dalam suatu kelompok merupakan permulaan seseorang untuk mentaati suatu norma melalui kesadarannya. Tetapi bagi remaja atau dewasa sering diikuti juga dengan simpatinya sebagai akibat dari penampilan atau tingkah laku yang diperlihatkan kepada orang lain. Suatu tingkah yang bermaksud untuk menanamkan kehendaknya supaya orang lain mau mentaati norma yang dikendaki itu melalui simpati.[43]
Penataan suatu norma atas kehendak seseorang berarti yang mentaati itu karena rasa takut atau kemungkinan juga akan berakibat buruk terhadap kehidupannya. Hanya saja secara tegas perlu dipahami bahwa berlakunya suatu norma yang baik bukan dari kehendak seseorang melainkan atas keinginan kelompok yang secara bersama membutuhkan norma itu. Jadi seseorang sebagai anggota kelompok sosial mentaati suatu norma berdasarkan kepada kesadaran diri sebagai hasil dari proses identifikasi.[44]
Dua sarjana kenamaan juga memberikan tesisnya yang mendukung pernyataan di atas, menurut K.C. Wheare Konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. William H. Hewet dalam pendirianya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral. Where memberikan pertimbangan sebagai berikut, seperti moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komunitas untuk mentaatinya.[45]
Adapun teori moral yang digunakan untuk mendefinisikan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara constitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral ia dapat disimpangi.[46]
Dalam kaitannya dengan sikap patuh masyarakat terhadap konstitusi, Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa kepatuhan kepada hukum (konstitusi) bisa disebabkan karena adanya faktor ” Keteladanan dan Rasio”. Pola keteladanan itu bisa dipakai bahkan efektif berlakunya apabila lapisan atas mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara arus bawah atau lapisan bawah dapat terbawa-bawa mengikuti apa saja yang dilihat oleh perilaku atasnnya atau sebaliknya.[47]


Belajar mentaati norma semula datangnya dari keluarga. Sejak masa babyhood dilalui, maka seseorang anak mulai melakukan identifikasi dengan orang tuanya. Dan melalui simpati yang dalam kehidupannya akan belajar mentaati norma-norma yang berlaku dalam keluarga itu.[48]
Dalam proses identifikasi orang tidak selalu mengidentifikasikan diri di lingkungan kelompoknya saja, tetapi sering juga dilakukan di dalam kelompok lain dan mungkin juga dilakukan sebagaimana dirinya hendak menjadi anggota baru dalam kelompok itu.[49]

Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007)
Apeldoorn, L.J.van. Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Budiman, Arief. Teori Negara : Negara, kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996)
Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia : Buku Panduan Mahasiswa, ( Jakarta: Prenhallindo, 2001)
Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)
Djamali, Abdul. Psikologi dalam Hukum, (Bandung: CV.Armico, 1984)
Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
Soepiadhy, Soetanto. Meredesain Konstitusi, (Purwanggan: Kepel Press, 2004)
Surya, Anom Putra. Teori Hukum Kritis : Struktur Ilmu dan Riset Teks, (Jakarta: PT.Citra Aditya, 2003), hal 48
Thaib, H. Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)






[1] Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 132
[2] Soepiadhy, Soetanto. Meredesain Konstitusi, (Purwanggan: Kepel Press, 2004), hal 23
[3] Thaib, H. Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal 1
[4] Ibid., hal 7
[5] Soepiadhy, Soetanto., hal 23
[6] Mahfud, Moh.MD., hal 133
[7] Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007), hal 7
[8] Soepiadhy, Soetanto., hal 26
[9] Apeldoorn, L.J.van. Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal 56
[10] Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 62
[11] Thaib, H. Dahlan., hal 77
[12] Ali, Zainuddin., hal 62
[13] Ibid., hal 38
[14] Ibid., hal 66
[15] Thaib, H. Dahlan, hal 75
[16] Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat., hal 35
[17] Ali, Zainuddin., hal 68
[18] Surya, Anom Putra. Teori Hukum Kritis : Struktur Ilmu dan Riset Teks, (Jakarta: PT.Citra Aditya, 2003), hal 48
[19] Thaib, H. Dahlan, hal 77
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal 78
[22] Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia : Buku Panduan Mahasiswa, ( Jakarta: Prenhallindo, 2001), hal 6
[23] Ali, Zainuddin., hal 39
[24] Mahfud, Moh.MD., hal 154-155
[25] Apeldoorn, L.J.van., hal 57
[26] Budiman, Arief. Teori Negara : Negara, kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), hal 6
[27] Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal 37
[28] Apeldoorn, L.J.van ., hal 67
[29] Ibid., hal 58
[30] Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal 35
[31] Thaib, H. Dahlan., hal 80
[32] Ibid., hal 81
[33] Djamali, Abdul. Psikologi dalam Hukum, (Bandung: CV.Armico, 1984), hal 110
[34] Thaib, H. Dahlan., hal 80
[35] Ibid., hal 81
[36] Ibid.
[37] Djamali, Abdul, hal 111
[38] Ibid., hal 112
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid., hal 113
[42] Ibid., hal 114
[43] Ibid.
[44] Ibid., hal 115
[45] Thaib, H. Dahlan., hal 81
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Djamali, Abdul., hal 114
[49] Ibid.