Daya Ikat Konstitusi dalam Negara Hukum
Oleh : Pamela Maher Wijaya
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pendahuluan
Sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlepas dari penjajahan asing membuktikan bahwa sejak semula salah satu gagasan dasar dalam membangun sokoguru negara Indonesia adalah konstitusionalisme dan paham negara hukum.[1] Di dalam negara-negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemkian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara terlindungi. Gagasan ini dinamakan konstitusinalisme.[2]
Istilah konstitusionalisme mempunyai makna suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.[3] Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[4] Dalam hal ini, yang dimaksud negara adalah organisasi kekuasaan. Dikatakan organisasi kekuasaan, karena dalam setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan.
Pusat-pusat kekuasaan tersebut baik yang terdapat dalam Supra Struktur Politik maupun dalam Infra Struktur Politik. Supra Struktur Politik meliputi organ legislatif, eksekutif, yudisial. Di sisi lain, Infra Struktur Politik terdiri atas Partai Politik, Tokoh Politik, Kelompok Penekan, Kelompok Kepentingan, dan Alat Komunikasi Politik. Selanjutnya pusat-pusat kekuasaan yang mempunyai kekuasaan itu mempunyai kekuasaan itu mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain.[5]
Selain konstitusionalisme, sokoguru Indonesia adalah paham negara hukum. Di dalam kepustakaan hukum di Indonesia istilah negara hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap merupakan terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the rule of law. Istilah Rechtsstaat (yang dilawankan dengan Machtsstaat) memang muncul di dalam penjelasan UUD 1945 yakni sebagai kunci pokok pertama dari Sistem Pemerintahan Negara yang berbunyi ” Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” [6] Kalau kita lihat di dalam UUD 1945 BAB I tentang Bentuk dan Kedaulatan pasal 1 hasil Amandemen yang ketiga tahun 2001, berbunyi ” Negara Indonesia adalah negara hukum.” [7]
Dari teori mengenai unsur-unsur negara hukum, apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu: Pertama, adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, dalam melaksankan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya.[8]
Hukum obyektif adalah kekuasaan yang bersifat mengatur, hukum subyektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif.[9] Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat. Efektivitas hukum dalam masyarakat mengandung arti bahwa daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum.[10] Untuk mengetahui daya ikat konstitusi dalam negara hukum melalui tiga jalur pendekatan yaitu pendekatan aspek hukum, aspek politik dan aspek moral.
Pendekatan dari Aspek Hukum.
Menurut K.C. Wheare, kalau berangkat dari aliran positivisme hukum, maka konstitusi itu mengikat, karena ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang didalamnya sarat dengan ketentuan sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).[11]
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Pertama, kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kedua, kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kadah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat. Ketiga, kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.[12]
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of social engineering. Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Selain itu, dapat diketahui bahwa pranata hukum itu pasif, yaitu hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.[13]
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, apabila keadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.[14]
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat (warga negara). Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disyahkan dengan undang-undang sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dalam suatu negara tertentu.[15] Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pada BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 26 ayat (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ayat (2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.[16]
Seorang warga masyarakat mentaati hukum karena pelbagai sebab. Pertama, Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar. Kedua, untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa. Ketiga, untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya. Keempat, karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Kelima, kepentingan terjamin. Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriyah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah.[17]
Dalam kajian struktur bahasa hukum tentang daya ikat konstitusi dalam aspek hukum bisa kita lihat dalam tindakan bahasa. Ketika tindakan bahasa hukum diperlukan untuk mempengaruhi perilaku, maka ditetapkanlah tindakan-tindakan bahasa direktif, institusional dan perikatan. Tindakan bahasa direktif yang padanya pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk menggerakkan pendengarannya demi melakukan sebuah sesuatu. Sedangkan tindakan bahasa institusional, menggunakan sebuah kalimat yang dilaksanakan dalam sebuah institusi peradilan dan seterusnya. Di dalam institusi itu terdapat aturan-aturan konstitutif yang menimbulkan akibat institusional, dilengkapi dengan diktum sebuah undang-undang atau undang-undang dasar yang mengikatkan diri.[18]
Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung jaminan terhadap ditegakkanya hak-hak asasi, adanya pembagian kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.[19]
Esensi hukum postif, wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagaan oleh alat-alat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.[20]
Pedekatan dari Aspek Politik.
Hukum adalah produk politik yang telah menjadikan badan konstituante (lembaga lain yang ditunjuk) sebagai badan perumus dan pembuat konstitusi suatu negara, kemudian peran itu dilanjutkan oleh lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang. Proses yang dilakukan oleh kedua badan ini merupakan kristalisasi dan proses politik.[21] Politik hukum adalah pernyataan kehendak dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan ke arah mana hukum itu akan dikembangkan.[22] Fungsi hukum sebagai alat politik dapat dipahami bahwa sistem hukum di Indonesia peraturan perundang-undangan merupakan produk bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan pemerintah sehingga antara hukum dan politik amat susah dipisahkan. Hukum dimaksud adalah berkaitan langsung dengan negara. Namun demikian, hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.[23]
Hukum merupakan produk politik, sehingga hukumdipandang sebagai kristalisasi dari proses interaksi atau pergulatan dari kehendak-kehendak politik. Secara ideal ada pandangan bahwa bahwa aturan main politiklah yang harus tunduk pada ketentuan hukum (hukum sebagai perekayasa). Politik (dalam arti kekuasaan) dan hukum itu terjalin dalam hubungan yang interdependen dengan adagium ” kekuasaan tanpa hukum adalah dzalim, hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh”. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dengan spesifikasi yang pertama, konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistis. Kedua, konfigurasi politik otoriter dan non demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.[24]
Akan tetapi ini tidak bararti, bahwa hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum.[25] Teori tentang kekuasaan negara sudah diperbincangkan sejak jaman Yunani kuno. Misalnya, plato dan Aristoteles, dua pemikir besar di jaman itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan ini diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral dan rasional.[26]
Istilah negara dipakai dalam arti penguasa, untuk menyatakan orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal dalam sesuatu daerah.[27]
Hukum adalah kekuasaan, yakni kekuasaan yang bercita-itakan keadilan. Karena keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum:[28]
1. Karena hukum terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk tujuannya, jadi hukum bersifat kompromi.
2. Karena Manusia (hukum adalah buatan manusia).
Pada abad ke 19, ajaran bahwa hukum tiak lain daripada kekuasaan, banyak mempunyai pengikut. Lassalle membelanya dalam pidatonya yang termasyhur : ” Uber Verfassungswesen”. Menurutnya, konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara.[29]
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu itu. [30]
Sehingga produk politik yang berupa konstitusi atau segala macam peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat pemberlakuannya bagi warga negara. Kemudian hubungan hukum dan kekuasaan telah terimplementasikan dalam konstitusi baik dalam pengertian hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis, yang pada dasarnya telah membatasi tindakan penguasa yang mempunyai kewenangan memaksa warga negara untuk mentaatinya.[31]
Pendekatan dari Aspek Moral.
Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral.[32]
Tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu akan berada di dalam suatu jaringan norma-norma. Karena setiap interaksi yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan gejala sosial. Sedangkan interaksi sosial sebagai gejala sosial dapat terjadi karena hubungan (kontak) antar individu, individu dan kelompok sosial, kelompok sosial dan kelompok sosial yang lainnya. Interaksi itu sendiri akan berjalan seperti diharapkan oleh norma-norma yang menjaringi kehidupan kelompok sosial dalam tingkah laku individunya.[33] Jadi hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari dan dalam pergaulan hidup. Tujuannya untuk menjaga tata tertib dan terdiri dari norma-norma (kaidah) yang perlu ditaati oleh setiap individu.
Moral adalah peraturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati. Dalam pelaksanaan moral tidak pernah dapat dipaksakan. Moral menuntut dari kita kepatuhan penyerahaan diri secara mutlak.[34]
Paul Scholten mengungkapkan bahwa keputusan moral adalah otonom/teonom. Yang dimaksud ”teonom” adalah hukum abadi, yakni kehendak Illahi yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka, sebagai landasan yang terdalam dari hukum dan peraturan. Dalam moral juga dikenal sanksi, tapi bersifat lahiriah melainkan bersifat batiniah, seperti rasa malu, dan menyesal.[35]
Esensi tujuan moral yaitu untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu, tanpa pandang suku, agama, dan tidak mengenal daya berlakunya, moral tidak terikat pada waktu tertenu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.[36]
Hukum itu terjadi berkenaan dengan adanya interaksi manusia yang menimbulkan hasil penilaian baik. Aturannya terdiri dari ketentuan-ketentuan yang membatasi tingkah laku mansuia. Ketentuan-ketentuan tingkah laku manusia beraneka macam corak tergantung dari berat ringannya reaksi yang diberikan manusia dalam menilai tingkah laku. Dan berdasarkan kepada berat ringannya reaksi itu ada ketentuan yang berkenaan dengan sopan santun (kesopanan), kesusilaan yang menyangkut moral dan hukum.[37]
Jenis-jenis ketentuan itu berbeda dalam pelbagai hal berlakunya dan akan kelihatan secara nyata kalau suatu ketentuan dilanggar. Tetapi kalau dilihat dari fungsinya bahwa ketentuan itu bertujuan untuk menjaga tata tertib, maka jenis ketentuannya hanya berupa larangan atau keharusan bagi manusia dalam bertingkah laku. Karena itu berdasarkan jenisnya dapat dibedakan adanaya :[38]
1. Norma Kesopanan
Norma kesopanan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia supaya dalam berinteraksi terjadi tindakan yang sopan.
2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan adalah ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam melakukan suatu tindakan agar suara batinnya (moral) sesuai dengan kehendak baik dalam masyarakat.
3. Norma Hukum
Norma Hukum adalah ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku manusia agar tindakannya tidak mengganggu ketentraman dan keamanan orang lain.
Hakekat dari ketiga jenis norma ini berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang di dalam pergaulan hidupnya. Dengan perkataan lain bahwa ketiga norma itu merupakan norma sosial. Jadi norma sosial adalah ketentuan-ketentuan umum sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu dalam kehidupan sosial.[39]
Norma sosial sebagai ketentuan tingkah laku memiliki sanksi. Menurut ilmu hukum, sanksi adalah akibat dari pelanggaran suatu norma. Maksudnya bagi seseorang yang tindakannya melanggar salah satu ketentuan sanksi yang sesuai dengan pelanggarannya. Dan secara umum pengertian sanksi itu berupa hukuman.[40]
Dari setiap jenis norma memiliki sanksi sendiri-sendiri. Tetapi dalam beberapa tindakan tertentu sanksi dari masing-masing norma akan dikenakan bersama-sama.
1. Norma Kesopanan yang pada umumnya berlaku sebagai kebiasaan memiliki sanksi yang sangat ringan. Pelanggaran terhadap norma ini hanya akan mendapat celaan dari orang lain.
2. Norma Kesusilaan yang pada umumnya sebagai ungkapan suara hati dan berdasarkan sikap seseorang memiliki sanksi yang berupa suatu kutukan dari orang lain.
3. Norma Hukum yang bertjuan menjaga tata tertib dalam pergaulan hidup memiliki kekhususan tersendiri yaitu keadilan. Sanksi berupa hukuman dan diberikan oleh orang/lembaga yang berwenang menjatuhkan sanksi itu.[41]
Ketiga jenis norma (kesopanan, kesusilaan dan hukum) itu dengan memiliki masing-masing sanksi fungsinya mengatur tingkah laku, yaitu membatasi kebebasan mansia dalam berinteraksi. Dan dengan batasan-batasan yang diberikan kepada mansuia dalam berinteraksi seperti yang dikendaki oleh norma itu, maka melalui kesadaran masing-masing individu diharapkan kelangsungan hidup di dunia ini menjadi harmonis.[42]
Identifikasi diri terhadap norma-norma dalam suatu kelompok merupakan permulaan seseorang untuk mentaati suatu norma melalui kesadarannya. Tetapi bagi remaja atau dewasa sering diikuti juga dengan simpatinya sebagai akibat dari penampilan atau tingkah laku yang diperlihatkan kepada orang lain. Suatu tingkah yang bermaksud untuk menanamkan kehendaknya supaya orang lain mau mentaati norma yang dikendaki itu melalui simpati.[43]
Penataan suatu norma atas kehendak seseorang berarti yang mentaati itu karena rasa takut atau kemungkinan juga akan berakibat buruk terhadap kehidupannya. Hanya saja secara tegas perlu dipahami bahwa berlakunya suatu norma yang baik bukan dari kehendak seseorang melainkan atas keinginan kelompok yang secara bersama membutuhkan norma itu. Jadi seseorang sebagai anggota kelompok sosial mentaati suatu norma berdasarkan kepada kesadaran diri sebagai hasil dari proses identifikasi.[44]
Dua sarjana kenamaan juga memberikan tesisnya yang mendukung pernyataan di atas, menurut K.C. Wheare Konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. William H. Hewet dalam pendirianya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral. Where memberikan pertimbangan sebagai berikut, seperti moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komunitas untuk mentaatinya.[45]
Adapun teori moral yang digunakan untuk mendefinisikan ketaatan terhadap hukum, berlaku pula bagi konstitusi. Jadi secara constitutional phylosophy jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral ia dapat disimpangi.[46]
Dalam kaitannya dengan sikap patuh masyarakat terhadap konstitusi, Baharuddin Lopa, menyatakan bahwa kepatuhan kepada hukum (konstitusi) bisa disebabkan karena adanya faktor ” Keteladanan dan Rasio”. Pola keteladanan itu bisa dipakai bahkan efektif berlakunya apabila lapisan atas mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap hukum dan berakhlak mulia, sebab bila tidak akan berbahaya. Sementara arus bawah atau lapisan bawah dapat terbawa-bawa mengikuti apa saja yang dilihat oleh perilaku atasnnya atau sebaliknya.[47]
Belajar mentaati norma semula datangnya dari keluarga. Sejak masa babyhood dilalui, maka seseorang anak mulai melakukan identifikasi dengan orang tuanya. Dan melalui simpati yang dalam kehidupannya akan belajar mentaati norma-norma yang berlaku dalam keluarga itu.[48]
Dalam proses identifikasi orang tidak selalu mengidentifikasikan diri di lingkungan kelompoknya saja, tetapi sering juga dilakukan di dalam kelompok lain dan mungkin juga dilakukan sebagaimana dirinya hendak menjadi anggota baru dalam kelompok itu.[49]
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007)
Apeldoorn, L.J.van. Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001)
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2002)
Budiman, Arief. Teori Negara : Negara, kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996)
Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia : Buku Panduan Mahasiswa, ( Jakarta: Prenhallindo, 2001)
Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)
Djamali, Abdul. Psikologi dalam Hukum, (Bandung: CV.Armico, 1984)
Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
Soepiadhy, Soetanto. Meredesain Konstitusi, (Purwanggan: Kepel Press, 2004)
Surya, Anom Putra. Teori Hukum Kritis : Struktur Ilmu dan Riset Teks, (Jakarta: PT.Citra Aditya, 2003), hal 48
Thaib, H. Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)
[1] Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 132
[2] Soepiadhy, Soetanto. Meredesain Konstitusi, (Purwanggan: Kepel Press, 2004), hal 23
[3] Thaib, H. Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hal 1
[4] Ibid., hal 7
[5] Soepiadhy, Soetanto., hal 23
[6] Mahfud, Moh.MD., hal 133
[7] Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007), hal 7
[8] Soepiadhy, Soetanto., hal 26
[9] Apeldoorn, L.J.van. Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal 56
[10] Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 62
[11] Thaib, H. Dahlan., hal 77
[12] Ali, Zainuddin., hal 62
[13] Ibid., hal 38
[14] Ibid., hal 66
[15] Thaib, H. Dahlan, hal 75
[16] Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat., hal 35
[17] Ali, Zainuddin., hal 68
[18] Surya, Anom Putra. Teori Hukum Kritis : Struktur Ilmu dan Riset Teks, (Jakarta: PT.Citra Aditya, 2003), hal 48
[19] Thaib, H. Dahlan, hal 77
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal 78
[22] Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia : Buku Panduan Mahasiswa, ( Jakarta: Prenhallindo, 2001), hal 6
[23] Ali, Zainuddin., hal 39
[24] Mahfud, Moh.MD., hal 154-155
[25] Apeldoorn, L.J.van., hal 57
[26] Budiman, Arief. Teori Negara : Negara, kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1996), hal 6
[27] Kansil, C.S.T. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal 37
[28] Apeldoorn, L.J.van ., hal 67
[29] Ibid., hal 58
[30] Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal 35
[31] Thaib, H. Dahlan., hal 80
[32] Ibid., hal 81
[33] Djamali, Abdul. Psikologi dalam Hukum, (Bandung: CV.Armico, 1984), hal 110
[34] Thaib, H. Dahlan., hal 80
[35] Ibid., hal 81
[36] Ibid.
[37] Djamali, Abdul, hal 111
[38] Ibid., hal 112
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Ibid., hal 113
[42] Ibid., hal 114
[43] Ibid.
[44] Ibid., hal 115
[45] Thaib, H. Dahlan., hal 81
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Djamali, Abdul., hal 114
[49] Ibid.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar