Minggu, 21 September 2008

dinamika Fatwa MUI


Dinamika Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
(Antara Independensi dan Intervensi Politik)
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]

Abstraksi
Hukum Islam yang dalam penerapannya selalu berhadapan dengan normativitas dan dinamika perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia dituntut untuk dapat mencari bentuk agar dapat mengadopsi kedua kepentingan tersebut. Dalam kaitan ini, untuk melihat dinamikanya secara integral dengan melihat produk hukum yang dihasilkan oleh Majelis Ulama Indonesia (fatwa) selama ini. Ketidak-sinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakkan fungsi hukum tersebut.[3]Realitas sejarah perjalanan hukum islam ternyata bahwa factor social budaya telah mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai produk-produk pemikiran hukum islam, baik yang berbentuk kitab fiqh, peraturan perundangan di negeri muslim, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa ulama. Oleh karena itu maka yang disebut hukum islam itu pada kenyataan sebenarnya adalah produk pemikiran hukum islam yang merupakan hasil interaksi antara ulama sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun al-Qur’an dan Hadis mempunyai aturan yang bersifat hukum, tetapi jumlahnya amat sedikit dibanding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu maka para ulama telah menggunkan akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang.

Key Word : Dinamika, Pemikiran Hukum Islam, Majelis Ulama Indonesia, Politik.

A. Pendahuluan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 17 Rajab 1395 H, bertepatan dengan 26 Juli 1975. Wadah ini dicetuskan dalam Musyawarah Nasional pertama Majelis Ulama se-Indonesia di Jakarta. [4] Kata “Ulama” yang berasal dari bahasa Arab ini sebagai bentuk jamak (plural) dari kata “alim” secara lughat berarti “orang-orang yang mempunyai pengetahuan”, atau dengan kata lain, ulama adalah ahli ilmu pengetahuan.[5]
Cita-cita pendirinya merupakan wadah musyawarah para ulama, umara (pemerintah), dan cendikiawan Muslim. Visinya, menciptakan, “Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam dan umat islam (izzu al-islam wa al-muslimin).[6]
Peranan ulama dalam dinamika bangsa di Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan social maupun politik. Peranan para ulama dalam gerak dinamika bangsa Indonesia ini dapat ditunjuk dalam beberapa peran, Pertama, sebagai pembimbing rohani bangsa. Kedua, sebagai penampung dan perumus aspirasi masyarakat. Ketiga, sebagai pemimpin dan pengarah gerakan masyarakat.[7]
Sejak berdirinya pada tahun 1975 sampai akhir tahun 1988 Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan lebih dari 39 buah fatwa.[8] Selama kurun waktu 22 tahun (1975 s,d. 1997) MUI telah mengeluarkan sebanyak 76 fatwa. Isi fatwa itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yakni ibadah, paham keagamaan, masalah social kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penerapan status halal makanan dan minuman.[9] Tetapi dalam kenyataan bermasyarakat hasil produk pemikiran hukum islam Majelis Ulama Indonesia yang berbentuk sebuah fatwa, seringkali fatwa-fatwa MUI itu menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Bahkan, menimbulkan pertanyaan seperti: seberapa jauh fatwa-fatwa itu absah dari segi hukum islam dan factor-faktor social politik ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu. Untuk melihat realitas tersebut kita memerlukan pendekatan secara tekstual dan kontekstual.



Fatwa Sebagai Produk Hasil Pemikiran Hukum Islam (Ijtihad).

Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia selama ini sebagai hasil Ijtihad para ulama Indonesia. Secara histories, munculnya teori ijtihad dalam islam adalah karena adanya persentuhan antara ajaran Islam di satu pihak dan tuntutan realitas kehidupan manusia di lain pihak. Teori ijtihad dalam hukum Islam menimbulkan dan merupakan permulaan epistemologis hukum islam karena menyangkut persoalan wahyu dan akal.[10] Dengan demikian, ijtihad sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam khazanah Islam, merupakan aktivitas daya nalar yang dilakukan para fuqaha’ (para mujtahidin) dalam menggali hukum Islam. Kegiatan ijtihad telah dimulai sejak masa Rasulullah dan akan terus berlanjut sesuai dengan dinamika zaman.[11]
Ijtihad mempunyai pengertian upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha seseorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuan menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.[12]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.[13]Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.
Untuk melihat tingkat keabsahan fatwa-fatwa MUI sebagai bentuk Ijtihad dari segi syar’i diperlukan pengamatan ushul al-fiqh terhadap proses perumusan fatwa-fatwa tersebut. Secara teoritis MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran suatu fatwa ialah setelah meneliti secara tuntas dasar-dasar atau argumen-argumen dari al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas, dengan urutan seperti itu. Di dalam kenyataan prosedur itu tidak diikuti secara konsisten. Ada fatwa yang langsung saja melihat hadis tanpa meninjau argumen al-Qur’an terlebih dahulu, ada pula yang langsung saja mengutip teks sesuatu kitab fiqh tanpa melihat tiga sumber sebelumnya, bahkan ada pula fatwa yang tidak memberikan argumen sama sekali dan langsung saja kepada pernyataan fatwa itu sendiri.[14]
Sementara itu harus dipegangi pula prinsip-prinsip istidlal dalam menetapkan hukum yaitu; pertama, mengacu pada al-Qur’an sebagai sumber utama (sumber dari segala sumber dalam hukum Islam). Kedua, merujuk ke sunnah sebagai penjelas al-Qur’an, disamping sebagai penetap hukum manakala al-Qur’an tidak menentukan hukumnya. Ketiga, terhadap nash yang mengandung dalalah dhanniyah dilakukan ijtihad. Keempat, dalam menghadapi dua atau beberapa dalil kekuatannya sama dan dhahirnya bertentangan (ta’rrud al-adilah), maka diambil jalan; a.) melakukan pengumpulan isi kandungan dalil, sehingga dapat diamalkan semuanya. b) terhadap dalil al-Sunnah, dapat dilakukan penelitian waktu wurudnya dan yang lebih dahulu dinasakh dengan yang datang kemudian. c) apabila tidak dapat dikumpulkan dan tidak dapat dinyatakan adanya nasakh mansukh, maka dilakukan tarjih.[15]
Selain itu, diperlukan pendekatan soiso-historis dalam penetapan hukum, menekankan pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial-ekonomisnya.[16] Atau dengan kata lain, memahami al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikan kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena sosial kedalam naungan tujuan-tujuan al-Qur’an.[17]Sejatinya dalam penentuan produk hukum, mempunyai fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat.[18]
Di dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip yang solid, tidak akan berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi segala tatatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri hukum agama Islam. Di antara nilai-nilai dalam dimensi ini adalah yang dirumuskan dalam tujuan hukum Islam (maqasid al-syari’ah), yaitu kebahagiaan manusia, yang dapat dijabarkan dalam kemaslahatan, kenikmatan, keadilan, dan rahmat.[19]

Latar Belakang Sosial Politik Fatwa MUI

Dari segi isinya, selain pertimbangan-pertimbangan murni keagamaan, ternyata ada beberapa faktor sosial dan politik yang ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa MUI dalam bentuk dan bunyinya. Pertama, ialah faktor keinginan MUI untuk turut menunjang kebijakan pemerintah. Fatwa tentang pembudidayaan kodok adalah contoh kuat dalam hal ini, di mana MUI mengharamkan hukum memakan kodok tetapi menghalalkan pembudidayaan yang ketika itu sedang digalakkan pemerintahan. [20]
Selain fatwa itu dipandang melakukan talfiq (karena mengambil pendapat mazhab Syafi’i untuk keharaman memakannya dan mazhab Maliki untuk kehalalan pembudidayaannya), oleh banyak pihak fatwa itu juga dipandang tidak mempunyai integritas karena seolah-olah biar saja orang lain yang memakan kodok itu asalkan kita sendiri tidak memakannya bahkan mendapatkan uang daripadanya. Begitulah kuatnya pengaruh keinginan untuk turut mendukung kebijakan pemerintah itu dalam fatwa tersebut. Independensi kekuasaan MUI dalam mengeluarkan fatwa merupakan salah satu hal yang amat penting di dalam penetapannya sebagai sebuah Ijtihadi. Tetapi yang terjadi antara idealisme dan realitasnya perlu adanya sebuah independensi, ditandai oleh adanya kehendak bagi kemandirian eksistensi MUI agar bekerja secara tidak memihak dan bebas dari intervensi politik.[21]
Dalam situasi pemerintah yang secara fungsional terdapat berbagai kelemahan, maka peran MUI dapat menjadi sandaran dan pelipis ketidakpuasan Umat Islam terhadap peran pemerintah. MUI pada masa orde baru, terutama ketika Majelis Fatwa dipegang oleh Prof. Dr. H. Ibrahim Musen, maka fatwa-fatwa hukum Islam kebanyakan dikeluarkan untuk melancarkan program pemerintah. Tidak terlalu banyak peran fatwa MUI yang dapat memberikan kepuasan bagi Umat Islam. Kasus Porkas tahun 1988 merupakan kasus nasional menjadi bukti bagaimana pemerintah orde baru tidak mau menerima apresiasi umat Islam. Setelah desakan kuat mat Islam, akhirnya Porkas dimusnahkan selain tertekan 1992.[22]
Faktor untuk mendukung kebijakan pemerintahan ini lah yang membuat MUI belum bisa independen dalam mengeluarkan Ijtihad. Karena itulah, Buya Hamka menggambarkan bahwa jika tidak bekerja sungguh-sungguh MUI akan menghadapi berbagai kesulitan. Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23] Kalau kita lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus diperjuangkan.[24]

Faktor yang kedua yang mempengaruhi fatwa-fatwa MUI, yaitu keinginan untuk menjawab tantangan perkembangan zaman modern. Faktor ini sebagai usaha MUI untuk menjawab tantangan tersebut, tetapi disisi yang lain menyebabkan fatwa-fatwa yang independen itu jatuh sama dengan keinginan pemerintah. Faktor ketiga, menyangkut soal hubungan antar agama, atau lebih tepatnya adalah faktor keinginan untuk memelihara aqidah umat Islam dari segi kuantitas.[25]
Upaya untuk memosisikan MUI sebagai wadah ulama, cendekiawan, dan zu'ama yang independen, terasa tidak mudah, karena berbagai impitan persoalan dan keterbatasan yang melingkupinya.Sebenarnya, upaya menjaga independensi MUI bukan tidak pernah dilakukan. Prof Hamka adalah saksi sejarah dari upaya itu, ketika harus memilih mundur dari jabatannya sebagai ketua umum MUI waktu itu akibat fatwa "perayaan natal" yang dikeluarkan berbeda dengan sikap dan kepentingan pemerintah.Atas dasar pengalamannya, Prof Hamka mengibaratkan MUI sebagai "kue bika", dipanasi dari bawah karena masyarakat berharap banyak terhadap peran MUI, sementara dari atas pemerintah juga "memanasi" dengan berbagai program dan kebijakannya yang sering kontroversial, tetapi harus "dipaksakan" dengan membebani MUI untuk mendukungnya.[26]
Bukti kedua adalah ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya Ajino Moto saat dalam produksinya dicampuri zat tertentu yang berasal dari babi (sekarang sudah kembali kepada semula, dan dinyatakan halal). Ketika itu, fatwa tersebut berbeda dengan pernyataan presiden Gus Dur.[27]
Secara kelembagaan MUI mendapat dukungan penuh pemerintah, dalam hal ini tampak sekali kontribusi dari Departemen Agama (DEPAG). Bukti dukungan itu dengan diberikannya salah satu ruangan di Masjid Istiqlal, masjid yang dibangun pemerintah pada jaman Soekarno untuk kantor MUI. Begitu pula dengan kucuran dana-dana rutin dari pemerintah, seperti Dana Abadi Umat (DAU) dan dana-dana lain seperti yang pernah disinyalir mantan Presiden Abdurrahman Wahid.[28]
Menurut sebuah sumber, konon MUI juga tidak tertutup menerima sokongan dari kelompok pengusaha. Sokongan-sokongan dana kepada MUI ini beberapa kali justru memancing persoalan di masyarakat karena dampak dari kucuran dana itu sendiri yang melahirkan bias keputusan maupun fatwa di masyarakat. Salah saatu bukti adanya keinginan MUI mendapatkan dana dari pemerintah, Majalah Gatra, April 2005 menampilkan Menteri Agama Maftuh Basyuni menjelang penyelenggaraan Kongres Umat Islam II di Jakarta mengeluh atas permohonan Din Syamsuddin (sebelum menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah) yang meminta dana dari pemerintah dengan alasan untuk kepentingan umat Islam.[29]
Dari realitas yang mempengaruhi fatwa MUI, kita bisa melihat bahwa hukum sebagai produk politik. Di kalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Penulis seperti Roscue Pound telah lama berbicara ”law as a tool of social engineering”. Sebagai keiginan tentu saja wajar jika ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi lebih relevan. Tetapi kaum realis seperti Savigny mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti bahwa hukum, mau tidak mau, menjadi independent variable atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya.[30]
Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan pemimpin masyarakat dalam mengubah system social dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan.[31]

Realitas keulamaan di Indonesia, kepemimpinan Ulama lebih dipersepsikan sebagai kepemimpinan ”karismatik” atau kepemimpinan “tradisional”.[32] Dengan kepemimpinan tersebut diharapkan mampu untuk melakukan rekayasa sosial.
Konteks perubahan social yang semakin komleks, fungsi ulama diperlukan untuk melakukan penataan ulang atas nilai-nilai dan norma-norma yang telah goncamh di satu pihak, dan pihak lain memberikan arahan dan penjelasan kepada masyarakat dalam kerangka norma apa yang harus mereka pegangi.[33]
Memang di dalam kenyataan hukum itu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan.
Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu dengan spesifikasi yang pertama, konfigurasi politik demokratis dan non-otoriter akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistis. Kedua, konfigurasi politik otoriter dan non demokratis akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif/elitis.[34]
Hukum Islam mencakup peraturan gerak semesta alam, dari Macrocosmos sampai dengan micro-cosmos. Sehingga aspek hukum Islam mencakup segi nilai dan tujuan hukum sesuai dengan kriteria dan pedoman Allah Yang Maha Sempurna.[35]
Gagasan Ibrahim Hosen tentang kewenangan pemerintah dalam persoalan hukum islam, Ibrahim Hosen mengungkapkan bahwa pemerintah diberi kewenangan untuk membatasi makna umum dari nash dan membatasi kemutlakan kata-kata yang Muthlaq. Gagasan ini kelihatannya diilhami oleh kaidah ” حكم الحاكم يرفع الخلاف” (Keputusan hakim dapat menghilangkan perbedaan pendapat.[36] Kalau melihat kerangka fiqih, secara historis fiqih merupakan produk sejarah panjang umat manusia yang dilanggengkan oleh lembaga keulamaan dan seringkali juga rezim kekuasaan.[37]
Strukturisasi ideologi dan kebijakan politik pada masa Orde Baru melakukan usaha penyerapan tokoh dan pimpinan Islam serta ulama ke dalam kekuasaan birokrasi melalui organisasi-organisasi sosial politik dan organisasi keagamaan di samping Partai. Melalui Majelis Ulama hampir seluru elite santri ditempatkan di bawah kontrol pemerintah.[38]
























Daftar Pustaka
Abidin, Zaenal. Pelanggeng Pragmatisme Religius, Http://www.icrp-online.org
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
Ahmad, Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Gema Insani Press,1999
Alfatih, M. Suryadilaga,dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005)
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, ( Jakarta : Lantabaora Press, 2005)
Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta, Gama Media, 1999
___________. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999)
Mubarok, Jalil. Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005)
Mudzhar,H.M.Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi, Yogyakarta, Titian Ilahi Press,1998
Mu’allim, Amir. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001
Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994)
Rofiq, Ahmad. Fatwa MUI yang Mengayomi, Suara Merdeka 25 Juli 2005
Salam, Abd. Arif. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta, LESFI, 2003
Sodik, Mochamad. Mencairkan Kebaikan Fikih: Membaca KHI dab CLD KHI bersama Musdah Mulia, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 38 No.II, Th.2004,
Thontowi, Jawahir. Islam, Politik, dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002)








[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[3] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,(Yogyakarta: Gama Media, 1999) hal 3
[4] Abidin, Zaenal. Pelanggeng Pragmatisme Religius, Http://www.icrp-online.org
[5] Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, ( Jakarta : Lantabaora Press, 2005), hal 223
[6] Abidin, Zaenal., Ibid.
[7] Hasan, Muhammad Tholhah., hal 232-233
[8] Mudzhar,H.M.Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,1998) hal 133
[9] Abidin, Zaenal., Ibid
[10] Mu’allim, Amir. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,2001) hal 3
[11] Salam, Abd. Arif. Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, (Yogyakarta: LESFI,2003), hal 15
[12] Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal 567
[13] Ibid, Hal 4
[14] Mudzhar,H.M.Atho., hal 134
[15] Salam, Abd. Arif., hal 21
[16] Alfatih, M. Suryadilaga,dkk. Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hal 142
[17] Ibid.
[18] Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 37
[19] Ahmad, Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press,1999), hal 54
[20] Mudzhar,H.M.Atho., hal 137-138
[21] Ibid.
[22] Thontowi, Jawahir. Islam, Politik, dan Hukum, (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), hal 19
[23] Mahfud, Moh.MD., hal 259
[24] Ahmad, Amrullah,dkk., hal 141
[25] Mudzhar,H.M.Atho., hal 141
[26] Rofiq, Ahmad. Fatwa MUI yang Mengayomi, Suara Merdeka 25 Juli 2005
[27] Ibid.
[28] Abidin, Zaenal., Ibid
[29] Ibid.
[30] Mahfud, Moh.MD., hal 71
[31] Ali, Zainuddin., hal 38
[32] Hasan, Muhammad Tholhah., hal 22
[33] Ibid., hal 242
[34]Mahfud, Moh.MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal 154-155
[35] Ahmad, Amrullah., hal 144
[36] Mubarok, Jalil. Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, ( Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005)
[37] Sodik, Mochamad. Mencairkan Kebaikan Fikih: Membaca KHI dab CLD KHI bersama Musdah Mulia, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 38 No.II, Th.2004, hal 194
[38] Mulkhan, Abdul Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan dalam Dakwah Islam, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal 41

Tidak ada komentar: