Sabtu, 23 Mei 2009

The Dualistic Paradigm

THE DUALISTIC PARADIGM
(Problem Fleksibelitas Hukum)

Dalam sejarah kehidupanan umat seringkali dijumpai bahwa hukum Islam bersifat kaku dan otoriter ditandai dengan pola berfikir hitam-putih atau halal-haram. Tidak jarang dijumpai, hukum yang berstatus fatwa seringkali dipandang mengikat dan wajib dilaksanakan. Kita kemudian bertanya: apakah hukum Islam memang bersifat kaku dan otoriter, yang hanya bergerak dari satu kutub ekstrim yang satu ke satu kutub ekstrim yang lain, yakni dari halal menuju haram, dan sebaliknya?

Dalam Filsafat Etik/Hukum kita mengenal hukum dualisme, hukum berpasang-pasangan yang merupakan hukum alam (al-hukm al-thabi’i, natural law). Dalam al-Qur’an antara lain dilambangkan dengan eksistensi dan sekaligus pertarungan antara Qabil dan Habil. Dari sini kita mengenal: pola pandang al-khair was-syar, al-hasan wal-qubh, good and evil, mukmin-kafir, ma’ruf-munkar, dunia-akhirat, langit-bumi, bahagia-sengsara, dan seterusnya yang seringkali dikenal dengan pola berpikir hitam-putih, salah-benar, dan juga halal-haram. Inilah yang juga dikenal dengan pola berpikir Aristotalian Logic.

Dalam Islam (al-fiqh) pada dasarnya dikenal dengan pola berfikir halal-haram. Halal merupakan batas positif maksimal sedangkan haram merupakan batas negatif maksimal. Diantara keduanya ada garis kontinum yang boleh bergerak kearah positif dan negatif dengan tidak boleh melampaui kedua batas maksimal positif maupun negatif tersebut.

Dari situ kemudian muncul konsep lima hukum (al-ahkam al-khamsah), yang secara simple dapat digambarkan sebagai berikut: pada sebelah kanan terdapat batas maksimal positif berupa halal yang tidak bisa dilampaui. Pada sebelah kiri terdapat batas maksimal negatif berupa haram yang juga tidak boleh dilampaui. Di tengah-tengah antara halal dan haram terdapat mubah. Diantara mubah dan halal kearah positif sebelah kanan terdapat sunnah sedangkan diantara mubah dan haram kearah negatif sebelah kiri terdapat makruh. Pada dasarnya, setiap kasus atau sesuatu mempunyai hukum dasar, dan dari hukum dasar tersebut bisa bergerak kearah empat hukum lainnya berdasarkan dialektika antara teks (al-wahyu-normative) dengan konteks (al-`aqlu-empiric). Ketentuan hukum yang didasarkan pada dialektika teks dan konteks ini disebut oleh sebagian orang sebagai Hegelian logic yang berbeda dengan Aristotalian logic.

Gerak dan perubahan hukum baik ke arah kanan atau ke arah kiri tidak hanya sebatas hukum-hukum yang terdapat diantara halal dan haram (oleh sebagian ornag disebut umurun mutasyabihat atau wilayah abu-abu/grey area, tetapi bergerak hingga menyentuh kedua batas halal dan haram itu sendiri) Bahkan satu ketentuan hukum yang semula berada pada batas maksimal positif sebelah kanan yang berupa halal bisa berubah dan pindah ke batas maksimal negatif sebelah kiri yang berupa haram, dan juga sebaliknya. Makanan atau perbuatan yang semula berstatus haram bisa berubah secara fundametal menjadi halal karena kondisi tertentu, dari sini kemudian lahir maksim hukum (qa’idah fiqh) antara lain: al-dharurah thubihul mahdhurat. Itu pula pengalaman seorang kyai bernama Arroisi yang berdakwah di Irian yang pada masa-masa awal ia mengatakan bahwa babi hukumnya halal karena babi merupakan makanan pokok masyarakat setempat, dan perubahan ke arah haram dilakukan secara bertahap melalui proses yang relatif panjang.

Contoh-contoh lain bisa dikemukakan. Misalnya, dalam proses perkwainan (aqdun-nikah), secara tradisional dan konvensional dipahami bahwa pihak-pihak terkait terutama kedua calon mempelai harus berada dalam satu majlis, dan satu majlis ini dipahami sebagai satu tempat yang sama. Dengan perkembangan teknologi modern, mulai difikirkan tentang kemungkinan bolehnya calon mempelai laki-laki tidak berada di tempat pelaksanaan aqdun-nikah, dan proses akad dilakukan melalui alat telekomunikasi, misalnya, tele-conference. Begitu pula, kita sudah menyaksikan ketentuan hukum nikah antar agama seperti ditulis dalam buku Fiqh Lintas Agama yang membolehkan (halal) perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non-Muslim yang dalam fiqh tradisional dan konvensioanl hal tersebut dilarang atau haram. Dalam hal ketentuan hukum poligami, saat ini negara-negara muslim terbagi kepada tiga kelompok: sebagian meng-halal-kan secara mutlak, sebagian meng-haram-kan secara mutlak, sebagian lagi meng-halal-kan tetapi disertai syarat-syarat yang amat berat dan rumit.

Pemikiran hukum yang dialektis itu kemudian didukung oleh sejumlah maksim (qa’idah fiqh), antara lain berupa: (1) al-hukumu yaduru ma’a illatih wujudan wa-`adaman, (2) taghayyurul ahkam bitaghayyuril azminah wal-amkinah, (3) al-hukum yataghayyar bitghayyuril azminah, wal-amkan, wan-niyah, wal-ahwal, wal-`aw’id, (4) kita juga mengenal qabil lin-niqash wa-qabil lit-taghyir.

Hukum dasar tentang sesuatu barang atau perbuatan yang berupa halal atau haram bisa tidak berubah, tetapi berdasarkan realitas dan konteks yang mengitari sesuatu atau perbuatan tersebut, ketentuan hukum bisa berubah hingga ke yang paling ekstrem sekalipun, yakni halal menjadi haram dan haram menjadi halal. Menurut Imam al-Ghazali, misalnya, membunuh hukumnya haram, tetapi dalam keadaan perang seseorang boleh (halal) menjadikan orang lain untuk tameng demi keselamatan dirinya walaupun mungkin menyebabkan terbunuhnya orang yang menjadi tameng tersebut. Hukum dasar nikah adalah mubah, tetapi dari mubah bisa bergerak dan berubah kearah hukum yang lain bahkan bisa menjadi halal atau haram.

Pemikiran para fuqaha telah berkembang sedemikian rupa. Misalnya, perbedaan antara mazhab syafi’i dan mazhab hanafi tentang hukum dasar segala sesuatu, yang satu mengatakan: ”hukum dasar segala sesuatu adalah haram,” sebaliknya yang lain mengatakan: ”hukum dasar segala sesuatu adalah halal.” Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat juga telah menentukan hukum dasar amal yang tergolong ibadah dan hukum dasar amal yang tergolong mu’amalah: al-ashlu fil-ibadah al-tahrim hatta yadullad dalil ala tahlilih; al-ashlu fil-mu’amalah attahlil hatta yadullad dalil ala tahrimih.

Dengan penjelasan di atas maka didapat satu gambaran: betapa hukum Islam itu amat fleksibel dan berkembang sesuai dengan denyut jantung perkembangan umat. Pemikiran dan realitas hukum seperti itu akan melahirkan sosok ahli hukum (jurists, fuqaha’) yang relatif adaptif dan akomodatif terhadap realitas umat dimanapun dan kapanpun mereka berada. Inilah makna yang sebenarnya dari ungkapan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh: ”barangsiapa yang tidak mengetahui perbedaan dalam fiqh berarti belum mampu merasakan harumnya fiqh (man-la ya’raf al-ikhtilaf, lam-yasyumma ra’ihatal fiqh). Jika yang demikian ini bisa berjalan dengan baik, maka umat Islam tentu akan mampu menikmati kebenaran ungkapan-ungkapan berikut: (1) al-islam ya’lu wa-la yu’la alaih, (2) al-islam shalih li-kulli zaman wa-makan, (3) kuntum khaira ummah (the choosen people).

Rata Penuh(Sumber Diskusi kelas SPPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Prof. Akh Minhaji)

Problem Of Terminology

PROBEM OF TERMINOLOGY

As-Sunnah dimaknai sebagai living tradition, yakni tradisi atau kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan bisa pula disebut dengan local tradition. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat sejumlah istilah lain yang mengandung pengertian tersendiri tetapi seringkali sejalan dengan makna as-sunnah, antara lain: al-`adah, al-`urf, syar`u man-qablana, dan al-mashlahah al-mursalah.

Sebagian ulama membedakan antara al-`adah dengan al-`urf: Al-`adah adalah tradisi atau kebiasaan yang bisa dipandang baik atau tidak, sedangkan al-`urf adalah tradisi atau kebiasaan yang pasti baik; karena itu, yang menjadi sumber hukum adalah al-`urf dan bukan al-`adah.

Berdasarkan al-Qur’an (Ali Imran: 104) al-`urf dibedakan dengan al-khayr. Al-khayr adalah kebaikan normatif-universal sedangkan al-`urf kebenaran historis. Lain lagi dengan syar’u man-qablana, yakni satu istilah yang lebih menunjuk kepada tradisi atau kebiasaan yang terdapat pada masyarakat dan/atau agama yang ada sebelumnya. Tradisi tersebut tidak serta-merta harus dihapus tetapi perlu diseleksi secara cerdas dan kreatif dengan memilah dan memilih hal-hal yang bisa diteruskan dan hal-hal yang tidak bisa diteruskan. Al-maslahah al-mursalah adalah sesuatu atau perbuatan yang dipandang mendatangkan manfaat bagi masyarakat tetapi tidak secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an, dan yang demikian bisa menjadi dasar kebolehan (mubah, halal) untuk diterimanya sesuatu atau perbuatan. Sebagian bahkan mengatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah bisa menjadi sumber hukum mandiri (mashdarun mustaqil, independent source).

Semua istilah dan sesuatu atau perbuatan yang masuk ke dalam diskusi di atas seringkali menjadi penting dalam upaya pengembangan masa depan umat Islam, dan hal itu seringkali masuk pada diskursus al-turath wat-tajdid (continuity and change). Diskursus ini akan sangat mewarnai kaku-tidaknya atau fleksibel-tidaknya pandangan seseorang atau suatu kelompok umat. Atas dasar ini, sikap yang perlu diambil bukan saling menghadapkan, apalagi membenturkan, antara hukum Islam pada satu sisi dengan hukum adat pada sisi lain, tetapi mendialogkan dan mendialektikakan antara keduanya, dan inilah makna terdalam dari maksim: al-muhafadhah alal-qadim al-shalih, wal-ahdu bil-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Dalam bentuk lebih umum dan abstrak, hal-hal di atas masuk pada diskursus global dan non-global ethics, plural-singular culture and civilization, great-lower traditrion, local-indigenous, kearifan-local, yang sekaligus menekankan makna penting dari tradisi lokal (local-traditon).

(Sumber Diskusi Kelas SPPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Prof. Akh Minhaj)

Selasa, 21 April 2009

Akuntabilitas Sosial

Apakah Akuntabilitas Sosial ?

Kontrak sosial, bersuara, memilih dan menentukan jalan ke luar
Akuntabilitas sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan kontrak sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas dari praktek pemerintahan. Pada titik ini, partisipasi setiap warga negara dan segenap elemen civil society sangatlah signifikan. Sebab, inti dari kontrak sosial adalah adanya partisipasi warga negara dan elemen civil society untuk memastikan implementasi prinsip akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.
Berkaitan dengan kontrak sosial, sebuah proses akuntabilitas sosial idealnya bisa memberi ruang bagi masyarakat untuk: pertama, bersuara. Artinya, masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapat sebagai perwujudan dari hak sipil dan politik yang dimilikinya. Melalui kesempatan bersuara, masyarakat diharapkan bisa berpartisipasi aktif dan menghilangkan berbagai sumbatan dalam proses komunikasi politik di setiap proses kebijakan publik. Kedua, memilih. Artinya, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih saluran kepentingan yang sesuai dengan preferensinya masing-masing. Pada titik ini, masyarakat didorong untuk dapat memaksimalkan kepentingannya melalui saluran yang mereka pilih dalam setiap proses kebijakan publik. Ketiga, menentukan jalan ke luar. Artinya, masyarakat memilki cukup ruang untuk menentukan jalan ke luar bagi setiap persoalan yang muncul dalam proses kebijakan publik.

Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Akuntabilitas Sosial?

Mekanisme hubungan negara-masyarakat, kapasitas masyarakat, kepekaan politisi dan birokrat dan lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang kondusif.

Guna mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat sejumlah faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan akuntabilitas sosial. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
1. Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara Negara dan Masyarakat
Usaha untuk mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan, banyak bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab, pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut. Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di tingkatan operasional, dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan cara-cara baru, kesempatan-kesempatan baru serta program-program baru bagi interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu, keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui serta mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan dianggap usang. Contoh kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat adalah keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi dari setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk pengendalian informasi, namun sebaliknya, justru untuk meniadakan informasi yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2. Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor-aktor Civil Society yang Kuat untuk Secara Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor-aktor Civil Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan prasyarat penting bagi terwujudnya akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis, faktor ini acap kali berbenturan dengan sejumlah persoalan seperti: fakta lemahnya elemen Civil Society dan adanya pemikiran bahwa warga negara kurang berdaya.
3. Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk Mempertimbangkan Masyarakat
Keberadaan faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi perwujudan akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang bersifat timbal balik antara aktor-aktor baik yang berasal dari negara maupun masyarakat.
4. Lingkungan yang Memungkinkan
Maksudnya adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh keberadaan rejim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan legal-formal dari hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga di ranah ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan menjadi sia-sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di kedua ranah tersebut.

Sumber : Diskusi kelas SPPI PASCASARJANA UIN dengan bapak Miftah Adhi Ikhsanto.

Rabu, 15 April 2009

Definisi Akuntabilitas

PENGERTIAN DASAR

1. Apa itu Akuntabilitas?

Right of authority, Answerability/pertanggungjawaban, Enforcement,
proses aktif

Akuntabilitas diartikan sebagai kewajiban para pemegang kekuasaan (pejabat publik) untuk mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya yang mengatasnamakan publik. Pejabat publik tsb adalah mereka yang atas nama publik diberi kewenangan politik, keuangan, atau bentuk lain dari kekuasaan. Berdasarkan pengertian tsb, ada 3 elemen penting dalam akuntabilitas yang bersifat melekat, yaitu:
Elemen “right of authority”; bahwa akuntabilitas merupakan respon terhadap otoritas yang diberikan. Sehingga pihak yang berkewajiban melakukan akuntabilitas adalah mereka yang memang diberi otoritas.
Elemen ”answerability”/pertanggungjawaban; bahwa karena adanya pemberian otoritas, maka sudah menjadi kewajiban penerima otoritas untuk menginformasikan & menjelaskan apa yang mereka lakukan kepada instansi terkait dan publik.
Elemen ”enforcement”; bahwa dalam akuntabilitas ada kapasitas untuk menjatuhkan sanksi dan memberikan ganjaran kepada para pemegang otoritas. Dengan demikian ada unsur pihak eksternal dalam elemen ini yang oditempatkan sebagai penilai.
Dalam pengertian tersebut, maka akuntabilitas merupakan sebuah proses yang aktif, dimana lembaga-lembaga publik berkewajiban menginformasikan segala sesuatunya untuk melakukan justifikasi terhadap segala bentuk perencanaan, implementasi dan out put yang dihasilkan.

2. Apa saja jenis & bidang akuntabilitas ?

Akuntabilitas Horisontal, Akuntabilitas Vertikal, Akuntabilitas Diagonal, Akuntabilitas Financial, Akuntabilitas Politis, Akuntabilitas Administratif

Kata kunci dalam akuntabilitas adalah kepada siapa akuntabilitas ditujukan dan dalam bidang apa saja. Berdasarkan hal tersebut, secara umum, jenis akuntabilitas dapat dibedakan menjadi 3 macam. Jenis akuntabilitas yang dimaksud disini adalah untuk menjawab kepada siapa akuntabilitas ditujukan.
Akuntabilitas Horizontal; yaitu jenis akuntabilitas yang merupakan bagian dari fungsi check and balances yang berada di dalam pemerintahan. Wujud dari akuntabilitas ini adalah hadirnya lembaga-lembaga yang melakukan penilaian & pengawasan terhadap kinerja pemerintah, seperti BPKP, BPK, Bawasda.
Akuntabilitas Vertikal; yaitu merupakan pertanggunganjawaban pemerintah atas segala aktivitasnya kepada publik. Wujud dari akuntabilitas vertikal ini adalah akuntabilitas sosial (social accountability), yakni merupakan bentuk akuntabilitas yang bertumpu pada pelibatan masyarakat.
Akuntabilitas Diagonal (Kombinasi); yaitu merupakan pelibatan partisipasi vertical aktor dalam mekanisme akuntabilitas horisontal.

Sedangkan terkait dengan bidang akuntabilitas, secara konseptual, akuntabilitas dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
Akuntabilitas Financial; yaitu akuntabilitas dalam bidang keuangan. Wujud dari akuntabilitas ini adalah adanya APBD, AKIP, LAKIP, social auditing dan sebagainya.
Akuntabilitas Politis (Accountability Decision Making). Wujud dari akuntabilitas ini adalah adanya LAKIP, AKIP, Perda Akuntabilitas (jika ada), proses Pemilu, dan akuntabilitas sosial (social auditing, citizen charters).
Akuntabilitas Administratif; yaitu akuntabilitas yang semata-mata hanya untuk memenuhi persoalan prosedur legal-administratif belaka. Wujud akuntabilitas ini adalah adanya dokumen-dokumen publik seperti AKIP, LAKIP, APBD, LPJ dan sejenisnya.

Sumber : Diskusi kelas SPPI PASCASARJANA UIN dengan bapak Miftah Adhi Ikhsanto.

Nasionalisme Perspektif Gerakan Ikhwanul Muslimin


Nasionalisme Perspektif Gerakan Ikhwanul Muslimin

Oleh : Pamela Maher Wijaya
(mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstraksi

Ikhwanul Muslimin menerima nasionalisme Mesir dengan prinsip pemikiran bahwa ia memiliki muatan yang Islami. Ia merupakan mata rantai kebangkitan yang mereka cita-citakan, sebagaimana akan menjadi semakin jelas nanti. Mereka menolak nasionalisme yang berarti menghidupkan Firaunisme dan mewarnai bangsa dengan paham itu atau jika nasionalisme itu terbatas pada batas-batas geografis Mesir.

Key word: Nasionalisme, Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.

Pendahuluan.
Cinta tanah air atau Negara (wathan) mulai dipropagandakan oleh beberapa penulis Mesir dan turki sebagai sebuah kebajikan. Tahtawi (1801-1873) berpendapat bahwa seseorang dari tanah air yang sama mempunyai kewajiban yang sama satu sama yang lain, layaknya hubungan satu dengan orang lain dalam satu agama yang sama. Lutfi al-Sayyid (1872-1963), juga seorang mesir, mengaitkan “universalisme” (pemikiran bahwa tanah Islam adalah tanah air seluruh muslim) dengan imprealisme Islam (yakni: Utsmani/turki). Menurutnya, gagasan itu sudah usang dan harus digantikan dengan satu kepercayaan yang sesuai dengan ambisi setiap Negara timur yang mempunyai tanah air yaitu rasa nasionalisme (wathaniyyah). Persoalan tentang Negara-bangsa merupakan soal yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab. Gerakan yang peduli terhadap kemerdekaan dan ingin membebaskan dari penjajahan di Mesir adalah Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kepedulian itu terwujud dalam program organisasi Ikhwanul Muslimin itu mengacu pada tingkat dunia Arab dengan tujuan besar, yaitu membebaskan seluruh negara dari kekuasaan asing dan memperkokoh persatuan Arab. Tujuan tersebut termaktub dalam Anggaran Dasar organisasi Ikhwanul Muslimin yang berbunyi:” Memerdekakan dunia Arab dan memperkokoh persatuan Arab (Liga Arab) dengan sempurna. Pendiri gerakan ini Hasan Al-Banna menegaskan bahwa Islam sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai sebuah kebudayaan asli dan ideologi politik guna menjadikan bahasa Arab sebagai pemersatu, serta mendepak elit-elit mesir ter-barat-kan yang menerapkan model-model pengembangan ekonomi, sosial, dan politik barat.
Ikhwanul Muslimin adalah pergerakan Islam yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir, tepatnya di wilayah Ismailiyyah pada tahun 1928. Gerakan Ikhwanul Muslimin dideklarasikan oleh Hasan Al-Banna berserta empat orang ikhwan, mereka adalah pengemudi, tukang cukur, penjahit dan tukang kayu, yaitu: ’Abdurrahman Hasbullah, Ahmad Al-khudri, Zakki Al-Magribi, dan Hafidz ’Abdul Hamid. Imam Syahid Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna lahir pada tahun 1906 di kota Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariyah. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum, Kairo beliau menggeluti profesi sebagai guru sekolah dasar.
Pada tanggal 12 Februari 1949, Hasan Al-Banna syahid ditembak mati oleh antek-antek raja Faruq (Mesir) di salah satu jalan di kota Kairo. Ia meninggalkan karya gemilang, Majmu’ al-Rasail (Kumpulan-Kumpulan Surat), Mudzakkiratu al-Da’wati wa al- Dai’yyati, dan Risalah al-Ta’lim. Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai ideologi umat Islam. Sejak Zaman Anwar Sadat terjadi perbedaan prinsipil antara Ikhwanul Muslimin dan kelompok militan mesir lainnya seperti Jihad Islam, Jama’ah Islamiyah, Tafkir Wa al-Hijra, dan Al Najun Min Al-Nar. Ikhwan memilih jalur pendidikan dan dakwah, sedangkan kaum oposisi lain memilih jalur yang lebih keras.
Persoalan tentang nasionalisme, negara-bangsa merupakan masalah yang sangat pelik bagi nasionalisme Arab. Persoalan itu, karena disana tidak pernah ada prospek praktis untuk mewujudkan negara Pan-Arab. Meski demikian, banyak modernis yang melihat nasionalisme berpotensi memecah belah dan tidak cocok dengan universalisme Islam. Kaum fundamentalis melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah produk jahiliyyah, ” Setan rasis dan fanatisme nasional”. Sedangkan Allal al-Fasi (w. 1972) membutuhkan nasionalisme bukan khilafah. Namun demikian, Allal tidak sependapat dengan nasionalisme murni Attarturk karena Allal mengusulkan agar syari’ah dijadikan ”the source of all modern legislation in all Muslim states”.

Makna Nasionalisme bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap batas nasionalisme adalah akidah, beberapa pihak yang menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis. Gerakan Ikhwanul Muslimin menganggap bahwa setiap jengkal tanah yang dihuni muslim yang mengucapkan ”Laa ilaaha illallah”, adalah tanah air kami yang berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya. Ikhwanul Muslimin tidak sepakat jka yang dimaksud dengan nasionalisme itu adalah saling bermusuhan dan berseteru satu sama lain, mengikuti sistem-sistem nilai buatan manusia yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi pribadi.
Untuk mendeskripsikan pemikiran Ikhwanul Muslimin tentang nasionalisme digambarkan dalam 3 aspek sikap Ikhwanul Muslimin; pertama, sikap Ikhwan terhadap Patriotisme Mesir. Kedua, sikap Ikhwan terhadap Arabisme dan konfederasi Arab. Dan yang ketiga, sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.
Sikap Ikhwanul Muslimin terhadap Patriotisme Mesir.
Ikhwanul Muslimin mendasi perhatiannya terhadap patriotisme-sebagai afiliasi politik-dengan perasaan bangsa-bangsa Timur, yang mendapatkan perlakuan buruk barat yang telah merobek-robek kehormatan dan merampas kemerdekaan. Ikhwan melihat bahwa patriotisme pada umumnya di Mesir dan negara-negara terjajah umumnya- adalah senjata untuk melawan serangan barat, dan keterbelakangan yang terjadi kala itu.
Kondisi pemerintahan kala itu terlalu tunduk kepada intervensi Asing, tingginya rasa takut, adanya aktivitas tertentu dan militer Ikhwanul Muslimin, maka telah berkali-kali terjadi bentrokan antara Ikhwanul Muslimin dengan rezim-rezim tersebut yang menolak keras adanya sebuah kekuatan politik yang didukung publik. Diantara bentrokan tersebut adalah pembunuhan pendiri Ikhwanul Muslimin, As-Syahid Hasan al-Banna pada bulan februari 1948 serta digantungkannya Ustad Sayid Qutb dan dua tokoh lainnya pada bulan Agustus 1966. Kondisi ini menggambarkan betapa kuatnya intervensi asing dalam persoalan pemerintahan di dalam negeri Mesir.
Dengan demikian, Ikhwan melihat bahwa patriotisme dengan arti cinta tanah air dan merindukannya, berusaha untuk membebaskan dan memperkuatnya, serta memperkuat jalinan antar individu yang ada di dalamnya demi kepentingan bersama mereka, adalah satu gagasan yang baik dan diakui oleh Islam. Pemahaman ini dapat mengembangkan rasa afiliasi yang benar, rasa tanggung jawab terhadap negerinya, serta keinginan kuat dalam berjuang untuk membebaskannya dari penjajah.
Persepsi Ikhwan yang khas tentang patriotisme adalah, mereka menghubungkan antra patriotisme dengan aqidah, dan batasan negara, berdasar hubungan tersebut. Dasar patriotisme kaum muslimin adalah Aqidah Islam. Islam menjadikan fondasi kebangsaan adalah aqidah, bukan fanatisme kesukuan. Hal ini digambarkan di dalam risalah Da’watuna fi thaur jadid , Ustadz Hasan al-Banna menyebutkan bahwa nasionalisme Mesir memiliki tempat dan hak tersendiri dalam perjuangan dakwah mereka.
” Sesungguhya kita adalahorang-orang yang berkebangsaan Mesir, karena kita lahir dan dibesarkan di negeri yang penuh berkah ini. Mesir adalah negeri orang beriman yang telah mnerima Islam denganpenuh kehormatan.......Ia adalah bagian dari tanah Arab secara global. Ketika kita bekerja untuk mesir, berarti kita juga berjuang untuk Arabisme, Timur, dan Islam.”
(risalah Da’watuna fi thaur jadid)

Nasionalisme perspektif Ikhwanul Muslimin juga mendeskripsikan persoalan kesatuan nasionalisme (minoritas). Ikhwanul Muslimin memandang bahwa nasionalisme berangkat dari aqidah islamiyyah dan memiliki kandungan spirit Islam. Hal ini terkadang mengundang tanda tanya menyangkut sikap terhadap non-muslim di negeri Mesir. Persoalan ini digambarkan oleh Imam Hasan al-Banna tentang minoritas, khususnya minoritas suku Qibti. Beliau mengutip Surat Al-Mumtahanah ayat 8.
” Allah tidak menghalangi kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengsuir kalian dari kampung halaman kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka, sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”
(Surat Al-Mumtahanah: 8)

Pemahaman tentang minoritas ditegaskan kembali oleh Ikhwanul Muslimin di dalam Nahwa An-Nur, Hasan Al-Banna menyebutkan bahwa islam melindungi kaum minoritas melalui prinsip: Islam menganggap sakral kesatuan humanisme universal dan kesatuan agama universal. Hasan Al-Banna juga menegaskan visi serupa dalam rislah yang bertajuk Ila Asy-Syabab., Bahwa Islam sangat memeprhatikan penghormatan kepada jalinan kemanusiaan universal di antara anak manusia, mewajibkan berbuat baik kepada sesama warga negara meskipun berbeda ideologi dan agama.

Sikap Ikhwan terhadap Arabisme dan konfederasi Arab.
Liga Arab yang sudah berdiri sejak tahun 1945 juga tidak mampu menyatukan negara-negara Arab ataupun mencegah serta menyelesaikan konflik yang muncul diantara anggotanya meskipun dalam programnya disebutkan bahwa tujuan liga Arab ialah mewujudkan persatuan diantara anggotanya dan mencegah konflik. Menyatukan negara-negara Arab tidak terlepas pada seruan nasionalisme Arab.
Ikhwanul Muslimin nelakukan konfrontasi dengan pemerintah. Ketika nasionalisme liberal diserang karena kekalahan Negara dalam perang Palestina, akibat pembangunan Negara Israil oleh Amerika dan Inggris, rakyat Mesir tidak dapat memaksa Inggris untuk keluar, penganguran banyak, kemiskinan, korupsi, Ikhwanul Muslimin yang digerakkan oleh al-Banna secara kuat menaikkan kepercayaan mereka sebagai anak-anak patriotik Mesir dan nasionalisme Arab pada partisipasi signifikan mereka di tahun 1948 dalam perang Palestina dan krisis Suez di tahun 1951.
Hasan Al-Asymawi memandang bahwa nasionalisme Arab, sebagai sebuah ikatan yang lahir dari kesatuan perasaan, problematika, cita-cita dan kepentingan, di tengah penduduk negara-negara ini, yang berbahasa dengan bahasa yang satu bdan beriman dengan iman yang satu dan beriman dengan iman yang satu, dan bahkan wajar saja bila nasionalisme Arab menyeru kepada kesatuan Arab, bukanlah tujuan, melainkan bingkai pemikiran dan tradisi. Ia menolak nasionalisme Arab, jika tidak memiliki muatan keislaman.

Gerakan Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa Islam dan Arabisme adalah dua sejoli yang tidak terpisahkan, tidak akan ada kekekalan bagi Islam kecuali dengan Arabisme. Hasan Al-Banna menyebut bahwa Arabisme mempunyai tempat yang menonjol dalam dakwah Ikhwan. Demikian itu, karena Arab adalah umat Islam pertama. Jika bangsa Arab terhina, terhina pula Islam, yang terlahir dengan berkebangsaan Arab. Kitab sucinya datang dengan bahasa Arab yang fasih. Bangsa-bangsa lain bersatu karena Islam atas dasar bahasa Arab ini. Paradigma ini mendeskripsikan bahwa ketika kedaulatan politik Arab berbalik dan berpindah ke tangan bangsa non-Arab, islam pun terhina.
Hasan Al-Banna menganggap bahwa di antara sebab-sebab keruntuhan kedaulatan Islam adalah berpindahnya kekuasaan dan kepemimpinan ke tangan non-Arab. Atas dasar itu, Ikhwan menuntut adanya sikap politik, yakni keharusan berusaha menghidupkan konfederasi (kesatuan) Arab lalu berjuang untuk membelanya. Dengan demikian, Ikhwan menerima proyek konfederasi Arab, meskipun itu merupakan produk Inggris. Itu karena melihat bahwa padanya terdapat sarana yang dapat memudahkan proses komunikasi dengan berbagai bangsa yang tergabung dalam konfederasi itu, bahkan akan mendatangkan kebaikan bagi negara-negara Arab dan negara-negara Islam seluruhnya.

Sikap terhadap konfederasi Islam dan Rencana Blok Islam.
Pendiri Gerakan Ikhwnul Muslimin, Hasan Al-Banna mengistilahkan Konfederasi Islam dengan idiom jami’ah islamiyah (konfederasi Islam) dan ukhuwwah islamiyah (persudaraan Islam). Sedangkan Qutub menggunakan istilah kutlah islamiyah (blok Islam) dan terkadang kutlah tsalitsah (blok III). Untuk makna ini juga, ia mengungkapkannya dengan idiom al-ittihad al-islami (ikatan Islam) dan al-wahdah al-islamiyah (kesatuan Islam).
Konfederasi islam digambarkan dengan ukhuwah, ukhuwah adalah ikatan iman yang menubuhkan perasaan sipati, emosi yang tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antar orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan manhaj Islam yang abadi. Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap tolong menolong, saling mengutanakan orang lain (itsar), saling mengasihi, saling memaafkan, toleransi dan saling menanggung (takaful).
Sayid Qutub mendeskripsikan latar belakang konfederasi Islam dengan mengatakan bahwa dunia terbagi menjadi dua blok besar; Barat dan Timur. Blok Barat tegak di atas prinsip imperlialisme. Ini terdiri dari amerika, Inggris, dan Prancis, yang bertujuan untuk memperbudak dan menghinakan kita. Sedangkan Blok Timur, tegak di atas landasan komunis. Rusia (Uni Soviet) dan bloknya menggabungkan diri ke negara-negara koloni Barat setiap kali terjadi persoalan yang menyangkut wilayah Islam. Rusia dan Bloknya mencuri tanah Islam di Turkistan, Qram, dan Yugoslavia. Posisinya persis sebagaimana halnya Blok Barat di Afrika Utara dan Lembah Nil.
Pandangan Sayid Qutub tersebut menggambarkan bahwa persekutuan kekuataan imprealisme untuk melawan kita, menuntut kita untuk bersekutu di bawah panji Independent. ”Imprelaisme melakukan persekutuan, padahal mereka berada pada posisi yang kuat. Bagaimana mengkin kita tidak saling bersekutu, setidaknya, untuk menciptakan kekuataan serupa.”
Ia mempunyai pandangan bahwa satu-satunya jaln yang sesuai dengan kejendak bangsa yang menolak ikatan apa pun dengan imprealis adalah membangun Blok Islam, yang menjamin pembebasan dari imprealisme dan menjamin kuatnya perlawanan mengahdapi arus komunisme yang marak. Artinya, jalan itu adalah Blok Ketiga yang mandiri.
Sayid Qutub dan Asymawi memandang Blok Islam bertujuan, pertama, mengusir penjajahan dari wilayah Islam. Kedua, mewujudkan keadilan sosial secara islami, dalam naungan konstitusi Islam. Selain tujuan itu juga mepunyai sasaran yaitu, Sasaran pertama, merealisasikan kemerdekaan seluruh bangsa yang terjajah dan menumpas imprealisme di muka bumi. Sasaran kedua, menghindarkan umat manusia dari bencana perang ketiga. Blok Islam sebagai counter bagi blok barat yang ingin mengucilkan dunia Islam.

Makna Kebangsaan Bagi Gerakan Ikhwanul Muslimin.
Gerakan Ikhwanul Muslimin memandang kebangsaan sebagai definisi kebangsaan Kejayaan dan kebangsaan Umat. Kebangsaan kejayaan yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin, kebangsaan itu adalah bahwa generasi penerus harus mengikuti para pendahulunya dalam meniti tangga kejayaan dan kebesaran, serta kecermerlangan dan obsesi. Sedangkan Kebangsaan Umat dimaknai sebagai kebangsaan yaitu bahwa keluarga besar seseorang atau umatnya itu lebih utama mendapat kebaikan dan baktinya, serta lebih berhak dengan kebajikan dan jihadnya Pandangan gerakan ini memberikan pemahaman bagi generasi penerus untuk merefleksikan diri sebagai pejuang patriotik dengan melihat dari generasi pendahulunya serta menghormati atas jasa-jasa pendahulunya.
Gerakan Ikhwanul Muslimin menggambarkan ketidaksetujuan terhadap makna kebangsaan jika makna kebangsaan adalah menghidupakan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, membangkitkan kenangan-kenangan usang yang sudah terlupakan, menghapus peradaban baru yang bermanfaat dan telah mapan, melepaskan ikatan Islam dengan alasan demi kebangsaan dan kebanggaan dengan etnik, sebagaimana yang dilakukan beberapa negara yang dengan berlebihan memusnahkan simbol-simbol Islam dan Arab. Makna kebangsaan ini diistilahkan oleh Ikhwanul Muslimin dengan Kebangsaan Jahiliyah.
Ikhwanul Muslimin juga mengungkapkan ketidaksepakatan apabila kebangsaan dimaknai untuk membanggakan ras, hingga melecehkan ras lain memusuhinya, dan mengorbankannya demi eksistensi serta kejayaan suatu bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Arrafie, Nuansa Sufistik dalam Gerakan Pemikiran Ikhwan Al-Shafa’ dan Ikhwanul Al-Muslimin , Analytica Islmaica, Vol. 10. No.2., hlm. 455.

Abdullah, Muhammad Al Khathib Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, terj. Khozin Abu Faqih , Bandung : Asy Syamil, 2001.

Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, terj. Khalifurrahman Fath , Solo: Media Insani Press, 2003.

Black, Antony, Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, terj. Anis Matta, Solo: Era Intermedia, 1998.

_____________, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna, terj. Khozin Abu Faqih , Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2005.

Hudaiby, Muhammad Ma’mun, Politik Islam Dalam Pandangan Ikhwanul Muslimin, terj. Engkos Kosasih , Bandung: Syamil, 2003.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Metode Pendidikan Ikhwanul Muslimin, terj. Masykur Hakim , Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Ruslan , Utsman Abdul Mu’iz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” Untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya dari tahun 1928 hingga 1954, terj. Safuddin Abu Sayyid , Solo: Era Intermedia, 2000.

Setiawati, Siti Muti’ah.et.al, Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika : Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (rakyat) Indonesia, Yogyakarta: FISIP UGM, 2004.

Tempo edisi 30 September 2001

Triantini, Zusiana Elly, Mengenal Lebih Dekat Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin, Al-A’raf Vol.III, No.2 Januari-Juni 2007.

Wahyudi, Kyai Yudian,Ph.D, Back To The Qur’an and The Sunna as The Ideal Solution To The Decline Of Islam In The Moder Age 1774-1974 , Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007.

______________________, Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga . Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press, 2007.
.

Rabu, 21 Januari 2009

Dinamika Kompilasi Hukum Islam

Dinamika Kompilasi Hukum Islam:
Dalam Bingkai Hukum Negara Modern
(Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan)

Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi politik dan pemerintahan dalam Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstraksi
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan. Untuk mendeskripsikan Dinamika Kompilasi Hukum Islam Dalam Bingkai Hukum Negara Modern serta penerapannya di Indonesia memerlukan kajian dalam perspektif Etika dan Pemerintahan. Yaitu dilihat dari 3 aspek; Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi) dan Aspek Penegakan Hukum (Law enforcement).

Key word : Kompilasi Hukum Islam, Hukum Modern, Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan.

A. Pendahuluan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.[3] Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamiy , atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom islamic law.[4] T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[5] Kalau kita lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus diperjuangkan.[6]
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.[7] Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.[8]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. [9]
Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.[10] Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.


Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).[11] Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.[12] Di sisi lain ada kalangan yang menginginkan untuk menolak apa pun yang bernuansa syari’at dari institusi negara.[13]

Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan pemerintahan dilihat dari 3 aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).

B. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas.[14] Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi.[15] Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.


1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983. [16]
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).[17] Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.

2. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[18]

3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[19]

C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering”[20] Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
Peradilan dan Hakim-Hakim Agama.
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara.[21]Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin)
Peran ulama dalam dinamika bangsa Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di indonesia.[22] Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23]

Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam.
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan dapat membingungkan umat.[24]

Lembaga Pendidikan Tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.[25]

Lembaga- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah.
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.[26]
Media Massa.
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [27]

D. Penegakan Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan.

Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.


Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.[28]
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Akademika Pressindo,1992.

Ali , Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

____________ , Sosiologi Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Amrullah, Ahmad,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Arif, Abd Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut ,Yogyakarta: LESFI, 2003.

Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya , Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Bisri , Cik Hasan, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia , jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Hasan , Muhammad Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural , Jakarta: Lantabora Press, 2004.

Huda, Ni’matul, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan , Yogyakarta: FH UII Press, 2007.

Husin, Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial Jakarta; Penamadani, 2004.

Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Syaukani,Imam, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional , jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Sumaryono, E, Etika dan Hukum , Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Majalah

Gatra, 13 desember 2007.

[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 77.
[4] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta; Penamadani, 2004), hlm. 7.
[5] Ni’matul Huda, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 305.
[6] Ahmad Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press,1999), hal 141
[7] Dalam perwujudannya, hukum kodrat memiliki dua bentuk; pertama, kebijaksanaan atau kearifan yang perlu untuk menjalani hidup dengan yang oleh Aquins sebut “akal praktis”, kedua, aeqitas (equity, epiekeia), yaitu kewenangan pemerintah untuk meninggalkan ketentuan hukum jika penerapan harfiahnya justru menghilangkan semangat kalimat-nya.
[8] E Sumaryono, Etika dan Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18.
[9] Abd Salam Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI,2003), hlm. 15.
[10] Ibid.
[11] Cik Hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia (jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 5.
[12] Minimal berlaku terbatas bagi warga muslim.
[13] Gatra, 13 desember 2007.
[14] Asumsi ini dikumandangkan oleh kelompok yang tidak setuju terhadap akomodasi hukum islam dalam bentuk formalisasi dan positivisasi sebagai bagian hukum negara.
[15] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 249-250
[16] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm. 98
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 100.
[19] Ibid.
[20] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[21] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 77.
[22] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2004), hlm. 232.
[23] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[24] Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), hlm 7
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm.100.

Kekuasaan Politik Sri Sultan Hamengku Buwono X


KEKUASAAN POLITIK
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
(Analisis wacana terhadap Pro dan Kontra Rancangan Undang Undang Keistemewaan DIY)

Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
abstraksi
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain. Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media

A. Pendahuluan.
Sepanjang sejarah, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, masa orde baru, dan era reformasi dewasa ini, kedudukan dan peranan kepala daerah dengan beragam penyebutan seperti Gubernur, Bupati, Walikota, telah menunjukkan eksistensinya, baik sebagai pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun dalam memimpin organisasi administrasi pemerintahan.[3] Implikasi dari UU No. 32 Tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.
Proses pemilihan kepala daerah menjadi inti permasalahan dalam perdebatan draft RUU keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, tidak semua rakyat Yogyakarta memiliki aspirasi politik yang sama. Ada lapisan sosial yang mendukung berlakunya sistem pemerintahan feodal melalui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur otomatis pada Hamengku Buwono dan Paku Alam. Namun, ada juga rakyat Yogyakarta yang menghendaki pemilihan kepala daerah melalui pemilihan dalam bingkai demokrasi modern.
Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[4] menggambarkan dinamika politik lokal Yogyakarta dalam merespon pro dan kontra RUUK Yogyakarta. Gerakan masyarakat Yogyakarta tersebut mengkonstruksikan pemikirannya melalui simbol sebagai identitas budaya jawa. Bentuk identitas budaya jawa itu diwujudkan dalam tradisi Pisowanan Agung, Laku Budaya Bisu Mubeng Beteng, Sidang Rakyat, Aksi Tapa Bisu Mubeng Beteng, dan Tapa Brata Ngulandara.

B. Peneguhan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengukuhan keistimewaan Yogyakarta, tidak terlepas dari integrasinya antara daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya. Integrasi daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya merupakan warisan dari leluhur Sinuwun Kaping I sampai dengan VIII. Warisan itu terkandung pula nilai-nilai spiritual, nilai-nilai adat jawa, dan nilai-nilai kekuasaan negara.[5] Keistimewaan Yogyakarta sebagai proses sejarah yang panjang sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta hingga adanya modernisasi.
Kasultanan Yogyakarta berdiri sebagai Konsekuensi Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 februari 1755 . Perjanjian Giyanti berdasarkan perundingan antara Pangeran Mangkubumi, kumpeni , dan surat persetujuan dari Sri Paku Buwono III tanggal 4 November 1754.[6] Konsekuensi Perjanjian itu adalah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Implikasi Perjanjian Giyanti itu , Pangeran Mangkubumi digelari sultan untuk setengah dari wilayah Mataram. Penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan dilaksanakan pada tanggal 13 februari 1755, dengan sebuah Qur’an di atas kepalanya, Mangkubumi bersumpah ,
bahwa Allah dan Nabi Muhammad akan mengutuk dirinya dan keturunannya jika mereka melanggar kesepakatan.[7]
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah kasultanan Yogyakarta dipersempit oleh pemerintah Inggris melalui politik kontrak dibawah Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles dan diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, adik HB II yang berkedudukan tidak di bawah sultan (Pangeran Merdiko) dan bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Paku Alam memerintah di Puro Paku Alaman dan sekitarnya (onderdistrik Paku Alaman) dan Kabupaten Adikarto (Karang Kemuning, sekarang Kulonprogo) yang meliputi empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko, dan Tawangkarto. Dengan demikian muncul kerajaan baru disamping Kasultanan Yogyakarta, yakni Kadipaten Paku Alaman.[8]
Setelah perang Diponegoro, tepatnya pada tanggal 27 September 1830, Belanda mempertegas wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan perjanjian Klaten. Isi perjanjian tersebut menegaskan bahwa wilayah Yogyakarta meliputi Mataram dan Gunung Kidul, sedang Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati. Pada jaman penjajahan Belanda status Kasultanan Yogyakarta tidak diatur dengan Ordonantie (undang-undang), melainkan diatur dalam perjanjian antara Gubernur Jendral Belanda dan Sri Sultan. Perjanjian itu kemudian dinamakan Politiek-contract. Politiek-contract yang terakhir merupakan kesepakatan antara Sri Sultan Hamengku buwono IX dengan Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 18 Maret 1940 (Staatsblad tahun 1941 No. 47).[9]
Perjanjian tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Hindia Belanda yang menurut pasal 1 merupakan Gronwet Belanda (bagian dari kerajaan Belanda). Pengakuan atas kekuasaan sultan ini tidak hanya berasal dari pemerintah kolonial Belanda saja. Pemerintah Jepang yang berkuasa atas Indonesia sebelum kemerdekaan juga menghormati eksistensi Kraton Yogyakarta yang telah memiliki kewenangan mengelola urusan sendiri.[10] Kekuasaan ini menggambarkan bahwa Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sebuah negara yang berdaulat semenjak perjanjian giyanti (1755) walaupun masih ada intervensi dari penjajah.
Konsepsi jawa tentang kekuasaan berbeda secara radikal dengan konsep yang telah berkembang di barat sejak abad pertengahan, dan dari perbedaan ini sacara logis mengakibatkan perbedaan mencolok pada pandangan cara kerja politik dan sejarah.[11] Kekuasaan itu tergambar ketika Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi tahun 1755. Kekuasaan kraton yang dirancang dengan landasan budaya jawa dan hindu dengan pembaruan yang mendasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.[12] Kekuasaan Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta , dalam Babad Mangkubumi diibaratkan seperti pahlawan yang ada dalam al-Qur’an, yaitu yusuf. Surat yusuf, yang secara agak bebas diadaptasi dari kisah yusuf di Mesir seperti tersebut dalam al-Qur’an surat ke-12.[13]
Kekuasaan atau power dalam paham jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan dirinya alam, kekuasaan adalah ungkapan energi illahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos.[14] Sehingga keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab “dherek ngarsa dalem” (terserah kepada kehendak raja). Kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan “Wenang wiseso ing sanagari” (kewenangan tertinggi di seluruh negeri). Kemauan raja adalah kemauan Tuhan, perkataan raja adalah kebenaran, atau yang dikenal dengan Sabda Pandita Ratu.[15] Inti tata pemerintahan tradisonal selalu adalah sang penguasa sebagai personifikasi kemanunggalan masyarakat. Kemanunggalan itu sendiri adalah simbol penting kuasa.[16] Sehingga gelar kekuasaan raja kemudian bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah.
Konsep kekuasaan jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk kesejahteraan rakyatnya.[17] Kekuasaan raja di masa Kerajaan Mataram digambarkan dalam dunia pewayangan dengan konsep keagungbinatharaan. Konsep keagungbinatharaan itu bahwa raja itu agung binathara, bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambang adil paramarta (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).[18] Sehingga kekuasaan raja terintegrasi dengan warisan politik tradisional-religius. Sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Yogyakarta bersama rakyat tumbuh menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa- Islam. Posisi keistimewaan terbentuk sebuah ekspresi budaya Jawa-Islam. Ekspresi karya yang khas yaitu dari sistem pemerintahan kerajaan, kekerabatan, kemasyarakatan, dan sastra.
Sejarah yang khas Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan itu menyangkut bukan saja kontribusi DIY dalam mendirikan dan menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi juga secara simbolik dan aktual dalam mengisi visi ke-Indonesia-an secara lebih kongkret. Penelaahan atas sejarah Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku buwono IX dan Paku Alam VIII, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional.[19]
Ketika Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, pemerintah Yogyakarta benar-benar mandiri. Kemudian pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambut berdirinya pemerintah Republik Indonesia serta memberikan pernyataan bahwa mereka berdiri di belakang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.[20] Tidak hanya saat proklamasi, saat menjelang kemerdekaan pun Kasultanan Yogyakarta berperan aktif untuk mendukung adanya NKRI, terbukti adanya partisipasi B.P.H. Puruboyo dan B.P.H. Bintoro di BPUPKI sebagai delegasi resmi Kasultanan Yogyakarta.[21]
Setelah pernyataan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII untuk berdiri di belakang RI, Presiden RI segera mengutus Menteri Negara Mr. RM Sartono dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis ke Yogyakarta untuk menyampaikan piagam mengenai kedudukan Yogyakarta. Sampai akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bersama tertanggal 30 Oktober 1945 yang didahului dengan amanat yang dibuat tanggal 5 September 1945 secara terpisah tetapi bunyi sama, yaitu menyatakan bahwa Yogyakarta yang berbentuk kerajaan, merupakan Daerah Istimewa bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[22]
Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam tersebut dapat dideskripsikan sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta, dalam ranah yuridis formal, telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau daerah Swapraja menjadi daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.[23] Dasar hukum yang melengkapi lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta[24] terutama adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18.[25]
Pada tingkat yang lebih operasioanal, keistimewaan Yogyakarta diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara jelas dan menyeluruh substansi dan ragam urusan yang secara spesifik merefleksikan keistimewaan Yogyakarta. Tiga belas urusan yang ditetapkan melalui UU No. 3 Tahun 1950 setara dengan urusan yang dimiliki daerah lain sesuai dengan pasal 23 dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Berbagai produk hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia pasca UU No. 22/1948, yaitu: UU No. 1 Tahun 1957, Perpes No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), Perpes No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan), UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1975, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.[26] Keistimewaan Yogyakarta juga mengatur kedudukan kekuasaan di pemerintahan daerah yaitu kedudukan kepala daerah.

C. Diskursus Pro dan Kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Perdebatan mengenai RUU Keistimewaan DIY mengemuka di ruang publik sudah cukup lama dan melelahkan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 1998, di DIY terjadi tiga kali ”Sidang Rakyat” untuk menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Peristiwa politik hanya terjadi di DIY ini secara berulang berlangsung mulai 1998, kemudian 2003, dan 2008.[27] Perdebatan itu menggambarkan beragamnya sikap masyarakat dalam menanggapi keistimewaan Yogyakarta.
Polarisasi respon masyarakat mengenai RUU Keistimewaan DIY bisa dideskripsikan melalui wacana yang berkembang di media massa lokal maupun nasional. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda-beda dan menetapkan pedoman-pedoman lain bagi tindakan sosial. Di dalam teori diskursus dalam merespon perdebatan yang terjadi melalui intervensi hegomonis. Intervensi hegomonis merupakan artikulasi dengan menggunakan alat kekuasaan yang menyusun kembali ketidatasaan.[28]
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain.[29]
Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media. Perdebatan yang berlangsung di media dapat dikategorikan dalam tiga hal. Pertama, mekanisme pembuatan, sosialisasi, dan pembahasan RUU. Kedua, dari segi substansi atau format RUU, dan ketiga, tawaran atau saran dari masyarakat. Prihal mekanisme, anggaran pembuatan RUUK DIY sebesar 6 milyar; 5 milyar untuk pusat dan 1 milyar untuk daerah. Mekanisme anggaran ini menjadi pemicu perdebatan panjang. Perdebatan kemudian berlanjut pada masalah sosialisasi draft RUU, kurang dilibatkannya DPRD sebagai representasi masyarakat, dan perdebatan seputar substansi mengarah pada kritik teradap pasal RUU, terutama pada proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam. [30]
Perdebatan tentang proses pemilihan gubernur ini mengundang banyak opini masyarakat. Ada yang menolak dengan alasan menggali lubang demokrasi, tidak sesuai lagi dengan arus globalisasi atau alasan melupakan nilai-nilai keterbukaan dari pihak kasultanan sendiri. Pihak ini menginginkan gubernur atau wakil gubernur dipilih sesuai UU 22/1999. Disamping itu pula yang menyetujuinya dengan alasan historis sebagai bentuk penghormatan atas keputusan pendiri Yogyakarta atau alasan kultural bahkan alasan untuk menghindari konflik dalam pemilihan gubernur atau wakil gubernur.[31]
Jejak pendapat yang terekam di media massa tentang respon masyarakat RUUK DIY yang diselenggarakan DPD KNPI DIY yang dimuat di bernas, 8 Agustus 1998, berhasil mengumpulkan 2.458 responden, kepada mereka ditanyakan soal calon yang dianggap pantas menduduki posisi Gubernur. Responden memilih Sri Sultan Hamengkubuwono X sebanyak 97,32 %, Alfian Darmawan (1,14%), Amin Rais (0,08%), Paku Alam VIII (0,08%), GBPH H. Joyokusumo (0,08%), 8 nama lain (0,32%), dan abstain (0,98%). Gerakan itu diwujudkan dengan Tradisi Pisowanan Kawulo Mataram dan Sidang Rakyat pada tanggal 11 Agustus 1998.[32] Adapula gerakan yang menginginkan adanya pemilihan yang demokratis, diwujudkan dengan perdebatan di tingkat DPRD DIY.[33] Jejak pendapat ini sebagai alat ukur wacana yang berkembang di tahun 1998.[34]
Jejak pendapat dilanjutkan dengan hasil polling Pilgub DIY 2008 Balai Litbang DPD PAN Kota Yogyakarta yang dilaksanakan 1-7 Februari 2008 lalu pada 715 responden menyatakan 89,15 persen setuju mempertahankan keistimewaan, tergantung 7,25 persen dan tidak tahu 3,6 persen. Terkait keistimewaan, 71,33 persen menyatakan keistimewaan terletak pada Gubernur dari Kerabat Kraton, memiliki aturan hukum adat sendiri 19,24 persen dan memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia 9,43 persen. Sebesar 69,19 persen responden tak setuju jika Sultan tak bersedia dicalonkan sebagai gubernur, setuju 27,49 persen dan tidak tahu 3,32 persen. Meski demikian, ketika ditanyakan kesediaan memberikan suara dalam pemilihan gubernur, 67,93 persen responden bersedia, tak bersedia 25,17 persen dan tidak tahu 8,9 persen. Sebesar 58,22 persen menyatakan gubernur dan wagub harus dari pihak kraton dengan tidak harus 37,66 persen dan tidak tahu 4,12 persen. Calon gubernur terkuat yang diinginkan responden ternyata masih dipegang Sri Sultan HB X dengan 37,17 persen disusul beberapa nama seperti Joyo Kusumo, Prabu Kusumo, Yudaningrat, Gusti Pembayun, Paku Alam, Herry Zudianto dan lainnya. [35]
Wacana perdebatan seputar RUU Keistimewaan terutama berkaitan dengan proses rekrutmen pimpinan daerah, yang kemudian dapat dikelompokkan dalam tiga arus pendapat. Pertama adalah yang mempertahankan proses yang sudah dijalankan, yaitu gubernur adalah Sri Sultan dan wakilnya adalah Paku Alam. Kedua adalah yang menginginkan proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur seperti laiknya proses pemilihan di provinsi lain. Siapapun dari partai apapun berhak untuk menjadi kandidat gubernur dan wakil gubernur berdasarkan suara terbanyak. Sementara itu, diantara kedua arus yang sama-sama memiliki banyak pendukung tersebut, terdapat arus pendapat ketiga yang menawarkan konsep kompromis dari kedua pendapat sebelumnya. Berdasarkan pada argumen untuk mempertahankan tradisi dan mengakui eksistensi kraton yang tidak kurang lebih dan tidak lebih penting untuk menjalankan demokratisasi, diusung konsep mengenai pendelegasian kekuasaan dan kewenangan.[36]
Kategirisasi tersebut menggambarkan bahwa, pada tingkat masyarakat Yogyakarta kini memasuki sebuah fase yang bisa disebutkan sebagai masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu sisi terdapat masyarakat yang tersusun secara hierarkis mengikuti pola hubungan patron-client di masa lalu dan di sisi yang lain telah hadir masyarakat yang memiliki corak horizontal yang kuat. Perkembangan corak modernisasi ini telah membawa perubahan-perubahan yang sangat mendasar, tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kasultanan dan Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi masyarakat warga Yogyakarta.[37] Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[38] yang mengungkapkan tetap kuatnya posisi Kasultanan dan Pakualaman sebagai simbol bagi masyarakat Yogyakarta. Serangkaian forum panel ahli yang digelar JIP UGM untuk mendapatkan input yang luas dalam proses penyusunan naskah akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta mempertegas simbol kekuasaan kasultanan dan pakualaman.[39]
Penerimaan dan sekaligus penghargaan masyarakat terhadap Kasultanan dan Pakualaman sebagai “dwi tunggal” yang diidentikkan dengan keistimewaan Yogyakarta terlihat dari hadirnya perkumpulan atau paguyuban Lurah se-DIY yang dikenal dengan Ismaya (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta).[40] Selain paguyuban lurah yang sudah cukup lama aktif dalam dinamika politik lokal, belakangan juga muncul dukungan yang sangat kuat dari Asosiasi Pemerintah Desa se-Indonesia (Apdesi) baik di tingkat Provinsi maupun di masing-masing kabupaten di wilayah DIY. Gerakan ini merupakan cerminan dari masih kuatnya keinginan mayoritas masyarakat untuk melestarikan kehidupan yang didasarkan pada warisan nilai-nilai sosial budaya Yogyakarta.
Keinginan kuat mayoritas warga untuk tetap mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta juga terekam melalui respon masyarkat terhadap pengisian jabatan Gubernur pada tahun 1998. Sebagian masyarakat mengekspresikan aspirasinya secara demonstratif melalui berbagai kelompok yang berujung pada keluarnya Maklumat Rakyat Yogyakarta, 26 Agustus 1998 serta tradisi Pisowanan Ageng.[41]
Pisowanan Ageng kembali dilaksanakan pada 18 April 2007[42] menyusul kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendengarkan secara langsung penjelasasan Sri Sultan Hamengku Buwono X atas keputusan beliau tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY untuk periode mendatang. Forum ini, tetap fungsional sebagai forum pengukuhan dukungan terhadap Kasultanan dan Pakualaman. Inilah modalitas dasar yang akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan RUU tentang keistimewaan Yogyakarta.


[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] J.Kaloh, Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 3.
[4] Gerakan-gerakan itu seperti; Gerakan Kawulo Mataram Manunggal (GKMM), Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY), Paguyuban Lurah Se-DIY yang dikenal ISMAYA (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta), Asosiasi Pemerintahan Desa Se-Indonesia (Apdesi), Paguyuban Dukuh Se-Kab. Sleman Cokro Pamungkas, Kawulo Ngayogyakarta, Paguyuban Dua Satu, Akademisi, NGO-NGO lokal mapun Nasional, Elemen Gerakan Mahasiswa dan Partai Politik di Yogyakarta.
[5] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat (Jakarta: Grasindo,1999), hlm. 55.
[6] Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 4.
[7] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: MATABANGSA, 2002), hlm. 115.
[8] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta Dalam Bingkai Keistemewaan (Yogyakarta: Parwi Foundation, 2002), hlm. 11.
[9] Ibid., hlm. 12.
[10] Ibid., hlm. 13.
[11] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia, terj. Revianto Budi Santoso (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hlm. 42.
[12] Drajat Suhardjo, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 2.
[13] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, hlm. 126.
[14] Jandra, Model Kehidupan Bermasyarakat Dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), hlm. 44.
[15] Ibid., hlm. 45.
[16] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata, hlm. 77.
[17] G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman : Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen 1755-1992 (Yogyakarta: Kanisius,1994), hlm. 27.
[18] G. Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 102-103.
[19] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta: Naskah Akademik dan Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta”, Monograf on Politic & Government Jurnal jurusan ilmu pemerintahan Fisipol UGM dan Program S2 politik local dan otonomi daerah, Vol. 2, No. 1, 2008, hlm. 12.
[20] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52.
[21] P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 160.
[22] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52-53
[23] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 16.
[24] yang semangatnya dirumuskan dengan kalimat : Hamamayu hayuning Bawono, sepi ing pamrih rame ing gawe.
[25] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 54
[26] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 17-18
[27] Bambang Purwoko, Sidang Rakyat, Kedaulatan Rakyat 7 Oktober 2008.
[28] Marianne W. Jorgensen,et.al., Analisis Wacana Teori dan Metode ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 90-91.
[29] Ibid.
[30] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 5.
[31] Ibid., hlm. 6.
[32] Sidang rakyat yang terdiri berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, pengemudi becak, pedagang, tokoh pemuda, ormas dan pelajar.
[33] Ada dua kubu di DPRD DIY, kubu pertama yang menghendaki pengukuhan Sultan Hamengku buwono X, yaitu FKP, FPDI, dan FABRI. Sedangkan kubu kedua menghendaki agar penetapan itu dilakukan melalui pemilihan yang demokratis yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Kubu ini selanjutnya didukung oleh Sekjen Depdagri Faisal Tamim.
[34] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 60.
[35] Kedaulatan Rakyat, 11 Februari 2008
[36] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 40.

[37] Sebagian besar masyarakat tetap memandang dan mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai pusat budaya jawa dan simbol pengayom.
[38] Gerakan yang timbul terutama ketika momentum pergantian Gubernur.
[39] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 21.
[40] Penggunaan nama ini menyiratkan keinginan kuat masyarakat, melalui paguyuban Lurah, untuk melestarikan kondisi sosial budaya. Dipandang dari sisi sosiologis, hadirnya paguyuban Lurah merupakan cerminan keinginan masyarakat untuk tetap diperlakukan istimewa sesuai dengan latar belakang sosio-kultular masyarakat Yogyakarta. Kehadiran paguyuban Lurah menyebar hingga ke Kabupaten di lingkungan Provensi DIY.
[41] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 22.
[42] Jumlah kehadiran warga masyarakat, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang menghandiri “Pisowanan Ageng” pada tahun 1998 yang lalu. Demikian pula, berbeda dengan Pisowanan tahun 1998, adanya unsur mobilisasi terekam dalam proses yang ada.