Minggu, 21 September 2008

Kesatuan dan keragaman


Kesatuan dan Keragaman[1]
Oleh : Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I[2]

Problem Akademik (Sense Of Academic Crisis).
Noel James Coulson[3] menggambarkan adanya pandangan yang sangat bervariasi dalam ajaran fiqh yang dirumuskan oleh para fuqaha. Menurut ajaran klasik, diyakini bahwa hukum syari’ah itu ada sebagai pemahaman tunggal dan aturan tingkah laku yang seragam dan ditentukan oleh Allah begi seluruh makhluk-Nya di atas bumi. Tetapi usaha akal manusia dalam rangka memahami dan menggambarkan hukum ideal bersifat relative, konsekuensinya, beragamnya hasil pemikiran yuridis tentang isi syari’ah telah diterima sebagai satu kenyataan.

Hasil Penelitian Terdahulu (Prior Research On Topic).
· Ibn Qudama
Ibn Qudama seorang faqih madzab Hanbali, dalam karyanya berjudul al-Mugni, Ibn Qudama meneliti dengan cermat pandangan-pandangan mazdab dan para ahli hukum yang berbeda kemudian dibandingkan dengan doktrin Hanbali yang tradisional. Walaupun dia memperlihatkan kesetiaan personal yang wajar terhadap doktrin pendiri madzabnya, Ahmad bin Hanbal, dia tidak ragu-ragu mengambil doktrin yang berbeda jika hal itu dipandang sebagai pendapat yang lebih kuat secara yuridis.
Ilmu pengetahuan hukum lebih mereduksi konflik antara mazhab-mazhab itu dengan tuntutan bahwa setiap muslim bebas secara mutlak untuk mengikuti mazhab yang menjadi pilihannya dan pengadilan Islam manapun harus menggunakan hukum dari madzab yang dianut oleh penggugat.

Theoretical Framework
Coulson menggambarkan kesatuan dan keragaman dengan mengkristalisasi dalam empat mazhab yang berbeda. Pada dasarnya mazhab-mazhab ini dibentuk melalui kesetiaan personal dari kelompok-kelompok ahli hukum (faqih) terhadap pendirinya yang merujuk kepada nama masing-masing seperti hanafi, maliki, syafi’I dan hambali, tetapi masing-masing mazhab mempunyai keadaan asal yang khas.
Mazhab tertua adalah Hanafi dan Maliki (w. 767 M) kufah, Malik bin Anas (w. 797 M) Madinah. Dalam masa awal yurisprudensi islam bercirikan pemakaian bebas akal seseorang untuk mengatur kasus-kasus yang secara khusus tidak ditentukan oleh teks al-qur’an atau keputusan Nabi, sehingga doktrin Maliki dan Hanafi, berbeda secara wajar sepanjang mereka meletakkan dan merefleksikan tradisi dan lingkungan social yang khusus dari dua lokasi yang berbeda.
Coulson membandingkan dengan Mazhab Syafi’I dan Hanbali didukung dari kontroversi yurisprudensi yang muncul pada abad ke-9 tentang sumber-sumber hukum agama. Murid-murid syafi’I, yang pertama kali merumuskan teori hukum yang sistematik yang berasal dari al-qur’an, as-Sunnah dan al_qiyas, membentuk mazhab Sya’fi, setelah ia wafat tahun 820. Kira-kira 30 tahun kemudian kelompok ulama di bawah pimpinan Ahmad bin Hanbali (w.855) membentuk mazhab hambali. Mereka berdiri kokoh di belakang prinsip akan pentingnya Sunnah Nabi yang menurut mereka hal itu telah dilakalahkan oleh bentuk-bentuk penggunaan akal oleh mazhab-mazhab sebelumnya.
Tetapi sejak abad ke-9, ke-empat mazhab tersebut mendukung satu teori umum yang scara prinsip sama menyangkut sumber hukum. Dan dengan adanya tujuan umum yang sama dikalangan mereka, maka persaingan awal diantara mereka lambat laun semakin memudar dan hidup berdampingan secara damai. Perbedaan lokasi geografis atau prinsip yuridis menghilang dan mazhab-mazhab tersebut saling menganggap kumpulan doktrin mereka sama-sama sah menetapkan hukum Tuhan, dan sama-sama versi yang sah dari syari’ah.
Ijma’ sebagai otoritas memberikan keotentikan al-qur’an dan as-Sunnah sebagai materi dari wahyu tuhan, dan juga validitas metode pemikiran melalui analogi untuk menjelaskan dan memperluas prinsip-prinsip yang terkandung dalam wahyu Tuhan, yang dicapai seorang faqih dari segi doktrin substansif yang berasal dari sumber yang diakui, dipandang sebagai relative.

Contribution To Knowledge
Coulson memperlihatkan bahwa teori hukum berusaha keras untuk menegaskan kesatuan hukum yang fundamental dalam Islam dengan anggapan bahwa empat mazhab memiliki kewenangan yang sama dan memadukannya sebagai manifestasi dari esensi tunggal yang sama dan memadukannya sebagai manifestasi dari esensi tunggal yang sama. Tetapi di dalam praktek, batas-batas antara mazhab-mazhab tersebut tertutup rapat. Masing-masing mazhab dalam hubungannya dengan geografis muncul memiliki lingkungan pengaruh yang tetap banyak. Pengadilan dari daerah tertentu yang secara konsisten menggunakan doktrin-doktrinnya. Maka pada umumnya, fiqh Hanafi digunakan secara tradisional di daerah Timur Tengah sekarang meliputi Turki, Syiria, Libanon, Irak, Yordania, Mesir, Sudan dan anak benua India. Fiqh Maliki mengusai masyarakat Muslim di daerah Afrika Utara, Barat dan Tengah. Fiqh Syafi’i resmi di kerajaan Saudi Arabia. Selain itu menurut doktrin mazhab yang sama-sama ortodok, teori hukum cenderung menekankan hukum adat mereka dan memperkecil perbedaan. Ini membuat kesan bahwa mazhab-mazhab dalam masalah hukum yang substantive berjalan lebih dalam dari pada ini. Tiap-tiap mazhab menunjukkan sistem hukum yang kohesif (terpadu) yang memiliki karakteristik individual yang khas berkenaan dengan nilai-nilai sosial dan prinsip-prinsip yuridis. Hal ini nampak jelas dari pertimbangan yang luas terhadap doktrin yang serupa atau berbeda dari madzab-madzab itu dalam aspek-aspek tertentu yang berhubungan dengan hukum perkawinan. Coulson menggambarkan dengan jelas pada studi kasus hukum perkawinan.
Batas-batas nasional negri Islam di Timur dekat dan Timur Tengah ada kesatuan dalam hukum yang lebih besar dari pada masa lampau. Tentu saja keseragaman ini adalah salah satu dari tujuan-tujuan prinsip kodifikasi hukum, dan sebagai besar sudah dicapai pada hukum keluarga, karena pengadilan-pengadilan telah dibatasi dengan undang-undang nasional dan tidak lagi memberikan kemungkinan untuk memilih doktrin-doktrin mazhab yang berbeda sebagaimana terdapat dalam karya-karya klasik dan pertengahan. Juga tidak ada lagi anggapan bahwa aturan mazhab tertentu diberlakukan kepada orang yang menganut mazhab lain, karena undang-undang itu diterapkan kepada mereka atas dasar kebangsaan menggunakan semua loyalitas keagamaan dengan tidak memandang mazhab yang dianutnya.
Pandangan sudut hukum internasional atas proses tersebut melahirkan hukum islam yang pluralistik, secara singkat, prinsip eklektik (talfiq) telah dipakai untuk menyesuaikan hukum kepada watak khusus dari masyarakat Muslim sekarang ini. Ini merupakan proses tujuan sosial yang baik dan telah memberikan arti praktis baru dan lebih dalam terhadap diktum Nabi yang terkenal ” Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat dari Allah”.



[1] Artikel ini dikutip dalam buku Noel James Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, Terj.Drs. H. Fuad, M.A (Yogyakarta: Navila, 2001) terutama pada Bab II hal 25-48.
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemeritahan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Noel James Coulson (1928-1986), Sarjana kenamaan dalam kajian hukum Islam di Perguruan Tinggi Barat. Menekuni pemikiran Hukum Islam abad klasik dan tengah.

Tidak ada komentar: