Senin, 22 September 2008

Kemajuan Islam

Kemajuan Islam
(Damaskus, Baghdad, Kairo, Cordova dan Sarai Baru)

Oleh : Pamela Maher Wijaya

Abstraksi
Tingkat peradaban bisa diukur dengan adanya peninggalan-peninggalan pemikiran yang tertuang dalam bentuk tulisan-buku atau karya dan yang berbentuk artefak (bangunan). Jika kita mau merujuk kepada pemikiran dan penulisan, kita akan melihat bahwa peradaban islam telah mencapai tingkatan yang tidak bisa dijangkau oleh barat kecuali pada periode terakhir ini. Untuk mempelajari peradaban dan berbagai tren yang ada di masa tersebut kita perlu membahas tentang situasi negara tersebut. Damaskus telah mencapai puncak kejayaannya sewaktu kota tersebut dijadikan ibukota negara oleh Muawiyah, mempnyai karya nyata berupa: Masjid Agung Umayyah, dll. Kota Cairo tumbuh pesat setelah pada tahun 973, seiring dengan hijrahnya Khalifah Mu'izz Lidinillah dari Qairawan ke Mesir. Sejak saat itu, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan Dinasti Fatimiyah. Kota Baghdad mengalami masa keemasan sebagai pusat kebudayaan dan perdagangan dunia Islam. Begitu pula ketika khalifah dipegang oleh Al Ma'mun, seni literatur, teologi, filosofi, matematika, dan ilmu pengetahuan. Kemajuan peradaban diikuti oleh berbagai pusat negara seperti Sarai baru, Cordova.

Key Words : Kemajuan Islam, Damaskus, Baghdad , Kairo, Cordova dan Sarai Baru.

Pendahuluan.
Kemajuan Islam terwujud ketika hasil karya peradaban umat islam maju. Istilah peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai system tekhnologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan system kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks. Istilah inii terakhir adalah sama dengan Civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian-bagian dari unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan Indah.[1]
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Adapun istilah culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[2]

Seorang antropolog E.B. Taylor (1987), mengungkapkan tentang kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia.[3] Kemajuan islam bisa ditelaah dengan konsep “kebudayaan terpendam” (covert culture), yaitu gagasan manusia yang letaknya terpendam di dalam jiwanya, yang secara universal seolah-olah melandasi tingkah laku, secara universal berada dalam akal manusia menjadi landasan dari tingkah laku simboliknya.[4]
Landasan “peradaban Islam” adalah “ kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi melahirkan kebudayaan.[5] Peradaban Islam mempunyai symbol-simbol seperti artefak, bangunan-bangunan bahkan melalui pemikiran – pemikiran manusia. Fenomena mazhab tertentu, dalam bidang pemikiran pun bisa dirujuk untuk melihat tingkat peradabannya.[6]
Proses kemajuan peradaban Islam sebagai bentuk refleksi bagi umat manusia dalam panjang sejarah umat Muslim, kemajuan Islam dipenuhi dengan proses yang panjang. Adanya pertikaian sesama saudara, penghancuran artefak-artefak Islam, peperangan, dan sebagainya. Apakah dengan peradaban Islam ini sudah menjadikan kontribusi terhadap kedamaian di muka bumi? Dengan melihat kemajuan Islam di Damaskus, Baghdad, Kairo, Cordova, dan Sarai Baru bisa merefleksikan umat islam untuk membangun kehidupan ummat yang penuh dengan kedamaian penyejuk seluruh manusia.

Kemajuan Islam di Damaskus.

Maawiyah ibn Abi Soufyan (606-681 M) adalah pembangunan daulat Umayyah (661-750 M) dan menjabat Khalif Pertama (661-681 M) dari daulat (dinasti) tersebut, dengan memindahkan ibu kota dari Madinah Al-Munawwarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Maawiyah lahir empat tahun menjelang Nabi Muhammad menjalankan dakwah di kota Mekah pada tahun 610 M. Ia beriman di kota Mekah pada tahun 610 M. [7]
Damaskus atau damsyik (bahasa Arab: Eashsham), ibu kota Syiria (penduduk 408.774) di syiria (suriah) selatan, di tepi sungai Barada. Sudah terkenal sejak zaman purba. Berturut-turut dikuasai bangsa Assyria dan bangsa Persia. 332 sbM ditaklukkan iskandar Dzulkarnain; setelah ia meninggal, dperebutkan pemenang-pemenang lain terutama bangsa Armenia. 64 sbM diserahkan kepada orang romawi, di bawah Pompejus dan menjadi salah satu kota Decapolis.[8]
Paulus masuk agama Kristen pada perjalanan ke Damaskus. Dengan pendudukan orang Arab (mulai 635) menjadi kota Islam. Gereja besar Kristen yang dibangun kurang lebih 375 di bawah pemerintahan kaisar I dijadikan Masjid Agung. 661-750 tempat kedudukan khalifah-khalifah umayah. Kota tumbuh makmur dan terkenal akan barang-barang logam halus (istemewa pedang). 1260 jatuh ke tangan Mongol di bawah pemerintahan Hulagu Khan, dirampok Timurleng pada abad keempat belas. 1516-1918 dibawah pemerintahan Turki Usmania. Direbut Inggris (1918), dimasukkan mandat Perancis (1918), dimasukkan mandat Perancis (1920-1941) dan menjadi ibu kota Syria.[9]
Nasionalisme Arab juga berkembang di kalangan bangsawan Muslim Damascus. Dalam hal ini faktor utamanya bukan alasan otonom politik atau penetrasi perdagangan, melainkan alasan yang lebih bersifat operasional dari sistem Usmani dan sebagai reaksi Muslim terhadap kemajuan perdagangan Eropa (dan warga Kristen lokal) yang telah berkembang.[10]
Sebelum tahun 1860 kalanan bangsawan Damascus pada umumnya adalah ulama ”keturunan ulama” besar abad delapan belas yang menduduki beberapa jabatan seperti mufti, khatib, dan kelompok keturunan Nabi. Mereka mengelola kekayaan wakaf dan mendapat dukungan yan besar dari kalangan pedagang, pengrajin, jennisari, dan mereka mengelola beberapa wilayah perkotaan.[11]
Perkembangan wilayah yang sedemikian luasnya dan perkembangan kemakmuran yang sedemikian pesatnya sudah tentu saja berakibat muncul bangunan-bangunan keagamaan dan kenegaraan. Pada mulanya menurut seni bangunan Girik dan Bizantium. Tetapi seni ukir dan seni hias lambat laun memperoleh corak seni yang pada masa belakangan dikenal dengan Arabesque, yakni seni Arab. Hal itu dapat disaksikan pada Jami-Al-Umawi di Damaskus yang dibangun oleh Khalif Walid I (705-715 M).[12]

Kemajuan Islam di Baghdad.

Baghdad mepunyai penduduk 364.049, ibu kota Irak, di tepi Sungai Tigris, 40 km sebelah Utara Sungai Eufrat. Sejak Zaman Sumeria purba tempat persimpangan lalu lintas kafilah dan pusat perniagaan. Didirikan dalam tahun 763 oleh Mansur.[13] Pada mulanya ibu kota negaranya pada masa al-Mansur adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.[14]
Pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini di Baghdad, al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak.[15]
Baghdad menjadi pusat perniagaan dan mencapai puncak kemakmurannya pada zaman pemerintahan kalifah Harun Al-Rasjid. Kejayaannya dilukiskan dalam cerita-cerita Seribu satu malam. Sesudah kalifah Harun Al-Rasjid mangkat, kota mengalami kemuduran dan kedudukan kalifah dipindahkan untuk sementara ke Samara. Kota diserang dan dijarah rayah oleh tentara Mongol (1258) dan dihancurkan oleh Tamerlan (Timurleng) dan oleh Ismail (1524). Dalam peperangan-peperangan yang terjadi kemudian kota itu menjadi jarahan tentara-tentara Turki dan Parsi. Pada sekitar tahun 1638, sewaktu kota itu termasuk dalam kemaharajaan Usmania. Peninggalan bangunan-bangunan kuno sedikit sekali, tetapi sebagian dinding kota zaman kota zaman dahulu masih berdiri. Dalam tahun 1917 diduduki tentara Inggris, pada tahun 1920 menjadi ibu kota Irak, persimpangan jalan kereta api dan kapal-kapal udara.[16]
Baghdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah. Kemajuan peradaban Abbasiyah, sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi kerajaan ini. Daerah Baghdad bertumpu pada pertanian dengan system kanal dan irigrasi di sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir sampai Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur seperti Persia, India, China, dan Nusantara dan wilayah barat seperti Negara-negara Eropa dan Afrika Utara sebelum ditemukan jalan laut menuju timur melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan.[17]
Wilayah imperium ini membentang sepanjang 6.500 kilometer dari sungai Indus di India di sebelah timur sampai ke perbatasan barat Tunisia, Afrika Utara di sebelah barat dan seluas 3000 kilometer dari aden, Yaman di selatan sampai Armenia, Kaukasia di utara. Penduduk Daulah Abbasiyah terdiri dari berbagai etnik dan suku bangsa yang hidup di wilayah yang memiliki cuaca dan kondisi geografis yang sangat berbeda. Meski kesatuan politik Islam sering tercabik-cabik, para khalifah Daulah Abbasiyah awal yaitu, al-syaffah (749-754).[18]
Baghdad pada masa daulah Abbasiyah, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat karena dipengaruhi oleh factor-faktor :
1. Faktor Politik
Pindahnya ibu kota Negara dari syam ke irak dan Baghdad sebagai ibu kotanya (146 H). Baghdad pada waktu itu merupakan kota yang paling tinggi kebudayaannya dan sudah lebih dahulu mencapai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dari Syam. Pada masa itu, banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana. Khalifah-khalifah Abbasiyah, misalnya Al Mansur, banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan persia.[19] Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata.[20] Selain itu diakuinya Muktazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah al ma’mun pada tahun 827 M. Muktazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir kepada manusia.[21]
Dengan berpindahnya ibu kota ke baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.[22]
2. Faktor Sosiografi
Meningkatnya kemakmuran umat islam pada waktu itu, serta luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang persia dan Romawi yang masuk islam. Hal ini menyebabkan perkawinan campuran yang melahirkan keturunan yang tumbuh dengan memadukan kebudayaan kedua orang tuanya.[23]
3. Aktivitas Ilmiah
Aktivitas ilmiah yang berlangsung di kalangan umat Islam di Baghdad pada masa Daulah Abbasiyah yang mengantarkan tercapainya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Pertama, Penyusunan buku-buku ilmiah. Menurut Syalabi melalui tiga fase. Fase pertama adalah pencatatan pemikiran atau hadist atau hal-hal lain pada kertas kemudian dirangkap. Fase kedua adalah pembukuan pemikiran-pemikiran atau hadist-hadist Rasulullah dalam satu buku. Fase ketiga adalah Penyusunan dan pengaturan kembali buku yang telah ada ke dalam pasal-pasal dan bab-bab tertentu.[24]
Pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rayid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan.[25] Gerakan Ilmiah masa al-makmun, di Baghdad dibuat dalam sistem yang rapi yang telah dinamakan Baitul Hikmah. Di sana banyak buku yang diterjemahkan dan ditulis. Serta didirikan juga tempat observasi dan sarana-sarana ilmu perbintangan. [26]
Jika kita membahas tentang sistem Baitul Hikmah dari segi penerjemahan, kita akan mengetahui bagaimana tingkat ilmu pengetahuan bangsa Arab ketika itu. Al-Makmun membuat aturan untuk aktivitas penerjemahan. Dia memilih seorang penanggung jawab, yaitu Yohana Al-Batriq.[27]


Kemajuan Islam di Kairo.

Kairo (bahasa Arab El Qahira= yang jaya), ibu kota Mesir dan kota terbesar di Afrika penduduk 2.447.000) di ujung delta Sungai Nil. Pusat perdagangan dan Industri di Mesir.[28] Sejarah Mesir abad sembilan belas dan abad dua puluh menyerupai sejarah turki sekalipun hal penting terdepat perbedaan.[29]
Di dekatnya dahulu terdapat Babylon yang didirikan orang Romawi, di sebelah Sungai Nil terletak ibo kota Mesir kuno, Mamphis. Kairo didirikan Jendral Djauhar, panglima dinasti Fatimiah (969). Diserang tanpa hasil oleh peserta-peserta perang salib dalam abad ke kedua belas. Diperintah oleh kaum mameluk (abad ketiga belas permulaan abad keenam belas), oleh orang Turki (1517-1978) diduduiki Napoleon (1979-1801) dan Inggris (1882-1936). Di mesjid Al-Azhar terdapat Universitas Islam (didirikan 972) yang terpenting di seluruh dunia. Tempat museum barang-barang kuno dan perpustakaan kerajaan Benteng Kairo dibangun oleh Saladin (sekitar tahun 1179).[30]
Kairo tumbuh dan berkembang sebagai pusat perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia. Kairo pun menggabungkan Fustat sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Tak heran, jika Cairo tumbuh semakin pesat sebagai salah satu metropolis modern yang diperhitungkan dan berpengaruh.Pada era itu pula, Cairo menjelma menjadi pusat intelektual dan kegiatan ilmiah baru. Bahkan, pada masa pemerintahan Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M - 996 M), Kairo mampu bersaing dengan dua ibu kota Dinasti Islam lainnya yakni, Baghdad di bawah Dinasti Abbasiyah dan Cordoba pusat pemerintahan Umayyah di Spanyol. Kini, Universitas Al-Azhar menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berada di kota itu.
Laiknya tiga metropolis intelektual era abad pertengahan, seperti Baghdad, Cordoba, dan Bukhara, dari Kairo juga muncul sederet ilmuwan Muslim yang berpengaruh. Pasalnya, pada era kejayaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk Cairo telah menjadi kota tempat berkumpulnya para ilmuwan serta sarjana yang melakukan kegiatan ilmiah.Memasuki abad modern, Kairo juga telah melahir sejumlah pemikir pembaruan Islam. Al-Afghani, pemikirannya tentang reformasi Islam adalah penting lantarab ia merupakan basis moral bagi pencapaian teknik dan ilmiah bahkan solidaritas politik dan kekuasaan.[31] Afghani dilahirkan dalam tahun 1838, mempunyai hubungan pemikiran yan hampi sama dengan Ridho, Abduh, karena memang hubungan antara guru dan murid.[32]
Pemikiran lainnya adalah Hasan Al-Banna, Imam syahid Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna lahir pada tahun 1906 di kota Mahmudiyah, sebuah kawasan dekat Iskandariah. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Darul Ulum, kairo beliau menggeluti profesi sebagai guru sekolah dasar.[33] Menurutnya Di dalam risalah pergerakan ikhwanul muslimin hasan al-banna memaparkan bahwa “ Sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami.”[34]

Kemajuan Islam di Cordova dan Sarai Baru.

Masjid Agung Cordova, sejumlah pertamanan, pancuran, dan alun-alun istana al-hambra, syair muwashshat dan zajal dengan kandungan beberapa ayat al-qur’an.[35] Masjid Agung Cordova diperluas dan direhab oleh sejumlah penguasa secara berturut-turut.
Ia merupakan sebuah bangunan masjid yang sangat luas yang terdiri dari sejumlah ruangan yang dikelilingi oleh sejumlah ruangan yang dikelilingi oleh seumlah pola-pola lengkungan setengah lingkaran, sebuah bilik dengan galur yang menyerupai kubah dan sebuah pola lengkungan setengah lingkaran yang menunjukkan arah kiblat. Masjid Cordova tersebut antara 961 dan 966 diperindah oleh para pekerja mosaik, yang memberinya sebuah interior yang indah dan menajubkan. Masjid cordova merupakan lambang perpaduan antara nilai-nilai aritektur lama dengan unsur-unsur peradaban muslim.[36]
Karenanya, teladan itulah yang perlu diikuti umat Islam masa kini. Semangat Cordova yang selalu “haus” ilmu pengetahuan perlu menjadi jawaban atas kelemahan-kelemahan yang terjadi di dunia muslim saat ini. Harus dihilangkan asumsi muslim sebagai yang terbelakang, gagap teknologi, dan malas berpikir (rasional dan ilmiah), terlebih di Dunia Ketiga. Di dalam karyanya The Arabs: A Short History (1970), Philip K Hitti dengan jujur menyebut Islam di Spanyol sebagai pemimpin utama dalam budaya dan peradaban di seluruh dunia di antara pertengahan abad ke-8 dan permulaan abad ke-13.Cordova mengalami kemakmuran lantaran melimpahnya produksi pertanian dan petdagangan internasional.[37]
Melihat peradaban di Sarai Baru, pada masa kekuasaan Golden Horde, disekitar lembah sungai Embu dan Danau Ural, dibangunnya sebuah kota yang menarik dan indah, dengan nama Sarai yang menjadi Ibu kota dinasti tersebut. Ibu kota baru ini jaraknya sekitar 65 mil sebelah timur laut kota modern, Austrakhan. Para pedagang datang dari berbagai penjuru dunia termasuk dari china lewat Laut Baltik. Ibnu Batutah yang pernah singgah di Sarai Baru, menjelaskan dalam buku monumental Rihlah Ibn Bathutah: pada periodenya Golden Horde menjadi Negara Islam yang paling sempurna.[38]


Daftar Pustaka

Anwar, Al-Jundi. Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media INSANI Press,2003)
Ensiklopedi umum Franklin Book Programs Inc. Ensiklopedi umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1977)
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata, (Solo:Intermedia,2001)
Karim, Abdul.Dr. Islam di Asia Tengah: Sejarah Dinasti Mongol Islam (Bagaskara: 2006)
Koenjtaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI-Pres, 1987)
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, Terj. Ghufron. Ed. I. ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999)
Maman A. Malik, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka,2005)
Sjadali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993)
Soekanto, Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002)
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayah I di Damaskus, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Tugiman, Hiro. Budaya Jawa. (Bandung: Padjajaran Press: 1998)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000)
Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Terj. Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Yusuf Al-Isy,DR. Dinasti Abbasiyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001)


[1] Tugiman, Hiro. Budaya Jawa. (Bandung: Padjajaran Press: 1998), hal. 8.
[2] Soekanto, Suryono, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal 172
[3] Ibid.
[4] Koenjtaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI-Pres, 1987), hal 240
[5] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 2
[6] Rais, Muhammad Dhiauddin. Teori Politik Islam. Terj. Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 1.
[7] Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayah I di Damaskus, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 13
[8] Ensiklopedi umum Franklin Book Programs Inc. Ensiklopedi umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hal 252
[9] Ensiklopedi umum., hal. 252.
[10] Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, Terj. Ghufron. Ed. I. ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 142-143
[11] Ibid.
[12]Sou’yb, Joesoef., hal 237
[13] Yatim, Badri., hal. 57.
[14] Ensiklopedi umum., Ibid.
[15] Yatim, Badri., hal. 51.
[16] Ensiklopedi Umum, hal 115
[17] Maman A. Malik, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Suka,2005), hal 113
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Yatim, Badri., Ibid.
[21] Maman A. Malik., Ibid.
[22] Yatim, Badri., hal. 54.
[23] Maman A. Malik., Ibid
[24] Maman A. Malik., Ibid
[25] Yatim, Badri., hal. 52.
[26] Yusuf Al-Isy,DR. Dinasti Abbasiyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), hal. 254.
[27] Ibid., hal. 255
[28] Ensiklopedia Umum, hal. 517
[29] Lapidus, Ira M., Ed. III, hal. 101
[30] Ensiklopedia Umum, hal. 517.
[31] Lapidus, Ira M., Ed. III, hal 110
[32] Sjadali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993), hal, 117
[33] Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media INSANI Press,2003), hal 11
[34] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata, (Solo:Intermedia,2001), hal. 63
[35] Lapidus, Ira M., Ed. I hal. 581.
[36] Ibid., hal. 586
[37] Ibid., hal 583
[38] Karim, Abdul.Dr. Islam di Asia Tengah: Sejarah Dinasti Mongol Islam (Bagaskara: 2006), hal 104-106.

Tidak ada komentar: