Selasa, 14 Oktober 2008

Pendekatan Normatif dalam Politik

Pendekatan Normatif[1]
Oleh :
Pamela Maher Wijaya
(mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Teori politik normative, penemuan dan aplikasinya, hubungan antara politik dan moral. Kalau kita pandang di dalam terminology secara sempit sebagai suatu cabang ilmu etika atau moral menjadi dasar dalam mempengaruhi perkembangan kehidupan politik. Teori politik normative adalah cara untuk membahas lembaga social, khususnya berhubungan dengan kekuasaan public, dan tentang hubungan antar individu di dalam lembaga.
Posisi Utama dalam Teori Politik Normatif
Sejak kebangkitannya pada 1970-an. Teori Normatif sudah berkembang ke segala arah. Beberapa penggunanya telah telah mengungkapkan ulang dasar-dasar dari teori yang sudah lama, (diantaranya adalah feminis) telah mencari ide baru. Tiga pendekatan teori normative telah mendominasi perdebatan pada tahun 1970-an dan setelahnya, diantaranya Ultilitarianisme, deontological liberalism dan communitarianism.

A. Ultilitarianisme
Ultilitarianisme adalah filosofi dan moral yang sering dikaitkan dengan pembaharu social yang radikal pada abad ke-19 yaitu, Jeremy Bentham. Seperti yang lain, Bentham curiga dengan aksi politik yang dibangun diatas klaim yang abstrak dan spekulatif tentang hak alami dan kewajiban kita, justru dia mengungkapkan hal yang dia pikir menjadi fakta mendasar tentang manusia yang diungkapkan dengan observasi empiric.
Menurut Bentham, manusia dimotivasi oleh suatu keinginan untuk meraih kebahagiaan dan untuk menghindari penderitaan karena itu keputusan moral politik yang paling benar adalah mencari kebahagiaan terbesar bagi masyarakat umum. Kebahagiaan ini dapat diukur berdasarkan kegunaanya, dimaksudkan untuk menghasilkan kemanfaatan, kegunaan, kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, dan objek dari pembuat kebijakan harus dimaksimalkan kegunaan sosialnya.
Bentham tidak mencari aksi yang secara tepat dapat memaksimalkan kebahagiaan, hal itu diserahkan kepada anggota masyarakat. Setiap individu harus mendefinisikan kebaikannya sendiri dan kepada pembuatan keputusan social keinginan dari tiap individu harus dimaksudkkan sejajar pada semua hitungan kegunaan.
Banyak kritik pada filosofi ini, bahwa kebahagiaan dan penderitaan bisa diukur dan keinginan yang tidak bisa diukur dari bermacam individu dapat di bandingkan, dianggapnya tidak masuk akal. Banyak kritikus khawatir terhadap implikasinya untuk individu dan minoritas dari suatu doktrin.
Kegunaan social sebagai sebuah kumpulan dan menolak pembatasan pada aksi social yang mungkin disediakan oleh teori tentang hak. Kecemasan mereka semakin ditambah oleh kepercayaan Utilitarianism pada pilihan-pilihan individu. Ketika beberapa pilihan mungkin sangat anti social ( Rasis contohnya). Keputusan untuk mencari kebahagiaan dari banyak orang dimasyarakat atau orientasi kesejahteraan tekhnokrasi disetujui oleh sebagian besar masyarakat. Model yang dapat membuat persetujuan yang kejam secara bebas dan bisa dima’afkan.
Salah satu kritik tajam diungkapkan John Stuart Mill menjauhkan utilitarianism yang secara kejam mendasarkan pada jumlah dengan mengakomodasi penilaian secara kualitas. Sebagai contoh pengalaman intelektual atau aestetik tertentu mungkin lebih penting daripada keinginan orang yang sebenarnya sepadan tingkat kegunaanya.
Mill juga mendebat utilitarianisme yang menjaga keinginan tertentu yang mendasar dan vital dari semua individu sebagai masalah hak. Hak sendiri berkontribusi pada semua kegunaan umum dengan membuat aman hal yang paling mendasar dari keberadaan kita.
Mill menegaskan bahwa pada suatu waktu hak bisa berkonflik dengan hak lain. Ketika terjadi, hanya hitungan kegunaan relative yang bisa menentukan mana hak yang berlaku. Argument mill ini mengantarkan pada “act-utilitarianisme”, (dimana semua tindakan harus dinilai berbeda dari memaksimalkan kebahagiaan) menjadi rule-utilitarianism (yang akan menjadi semua system peraturan yang mendesak, karena manfaat yang didapat adalah untuk seluruh masyarakat.)

B. Deontological Liberalism
Sangat bertentangan dengan utilitarian bahkan pada etika teologi manapun. Etika teologi adalah moral yang menilai berharganya manusia berdasarkan apakah dia memenuhi suatu tujuan atau menyadari suatu akhir. Pemikir penting pada 70-an, john rawls, Robert Nozick, Ronal Dwarkin dan Alan Gerwith yakin bahwa etika teologi yang telah berubah menjadi politik kehidupan tidak cukup bahkan membahayakan kebebasan manusia.
Argumen mereka menganggap membahayakan kebebasan manusia karena dua hal yaitu, pertama, mereka berpendapat, utilitarianism tidak memperhitungkan keanekaragaman akhir individu baik karena ini mensepesifikkan satu macam tujuan yang mungkin (pemaksimalkan kebahagiaan atau keuntungan) lebih tinggi daripada yang lain atau karena menilai kebaikan manusia atau kesejahteraan berdasarkan kumpulan nilai yang menguntungkan dari suatu masyarakat sebagai suatu keseluruhan atau dari jumlah yang terbesar, gagal untuk mempertimbangkan bahwa tiap individu itu berbeda.
Kedua, etika teologi mengutamakan akhir daripada alat yang mungkin digunakan untuk mencapainya. Secara khusus ini menolak untuk memperbolehkan bahwa pencarian tujuan kumpulan social harus dipaksa oleh hak yang tidak dapat diganggu gugat yang memiliki oleh tiap individu.
Deontological atau kantian liberal, ulitarianism telah menegakkan banyak pemikiran liberal tetapi dari banyak kritik telah diungkapkan bahwa liberalism butuh dasar filosofis yang lebih meyakinkan. Mereka mengkontraskan deontology (etika hak/ kewajiban) dengan teleology (etika akhir). Referensi utama deontology adalah imanuel kant.
Menurut kant, individu adalah suatu akhir (tujuan) bukan alat sehingga mereka tidak bisa diganggu gugat. Kantanian percaya bahwa setiap individu seharusnya lebih bebas menentukan dan mengejar tujuan mereka daripada tujuan orang lain yang menentukan mereka. Tetapi dalam mencapai tujuan harus ada batasan dalam tingkah laku mereka.
Manusia adalah makhluk yang bebas dan otonomi tapi mereka tidak lebih melukai kebebasan dan otonomi orang lain. Mereka percaya bahwa aksi kolektif social pun harus menghormati hak individu. Liberalism berbeda dengan anarkis dengan menerima bahwa ada lembaga yang diperlukan untuk menjaga hak dan membuatnya efektif. Munculah pertanyaan sejauh mana pemerintah bisa bergerak.

C. Communitarianism
Communitarianism dimulai dari dari sebuah kritik pada konsep liberal dari diri individu (liberal self). Menurut Michael Sandel, liberal self itu tidak dibebani atau bisa diadopsi di tempat yang menguntungkan diluar masyarakat dimana dia menjadi bagiannya, dan untuk didefinisikan dengan tujuan dan komitmenya tanpa referensi dari tradisi turunan atau tujuan yang dibagi. Ini diberkati oleh hak dan kewajiban tertentu dalam istilah abstrak murni dan universal yang menyebarkan klaim dan kewajiban yang muncul dari diri kita sendiri dan ikatan social.
Communitarianism percaya kalau liberal self dominant ketika ikatan komunal telah terkikis dan individu menjauhkan diri dan hanyut meskipun sebenarnya kehidupan komunal atau tradisi adalah referensi yang diperlukan oleh individu. Communitarinism curiga dengan cara deontologist, percaya bahwa hak (prinsip universal keadilan) harus dibatasi pada pencarian kebaikan kolektif.
Communitarian curiga pada hak yang berdasarkan liberalism, serta communitarian tidak bergabung dalam alternative politik umum, Secara normative mereka merasa individualisme yang tidak diinginkan semacam ini, adalah sebuah gejala bahwa ada yang salah. Mereka memilih untuk mengatakan tentang suatu “ diri yang berdasar situasi” (situated self) bahwa seseorang yang tergabung dalam suatu masyarakat dan didefinisikan oleh keterikatannya dan pemahaman diri yang digunakan bersama yang menjadi kerangka kehidupan masyarakat. Masyarakat baik desa, pinggiran, pergerakan/ etika grup, yang mengatur hak dan kewajiban khusus. Kita lah yang membuat moral khusus kita. Pada saat yang sama kita perlu terlibat dalam tujuan dari masyarakat kita.
Communitarian sendiri mudah diserang karena tidak cukup menawarkan penjagaan pada kebebasan individu atau penjagaan dari tirani tradisionalis atau mayoritas. Communitarianism menawarkan argument kuat yang membuat kita menyadari bagaimana tradisi turunan kita membentuk moral kita. Walaupun kita tidak setuju dengan tradisi itu tetap menemukan diri kita terlibat di dalamnya. Contohnya: kebiasaan, konstitusi. Ini mengingatkan bahwa kita lahir dengan kewajiban moral sebagai anggota masyarakat.

Keberatan Terhadap Teori Normatif
Sejak 1970an cakupan posisi teori politik telah jelas dan sangat luas. Ketidak setujuan di dalam teori politik antara utilitarian, deontologist, communitarian dan yang lainnya kadang-kadang lebih kritis dan mendalam. Ada 3 tipe dalam mengkritisi teori normative: Logical positivism, relativisme dan determinism.

Logical Positivisme.
Logical Positivisme ini diinsiprasi oleh tulisan Ludwig Wittgenstien di Tractatus Logica Philosophicus (1921). Buku ini adalah suatu tulisan tentang logika bahasa, tentang hal yang membuat kita berarti atau memberi kapasitas pada kebenaran komunikasi. Elemen bahasa yang memberi kekuataan tersebut adalah nama/ simbol karena hanya nama/simbol yang mengacu langsung pada dunia luar bahasa sehingga termediasi. Objec material dapat dirasa langsung.
Wittgenstien beranggapan bahwa etika, estetika, agama dan metafisik itu tidak masuk akal, karena harus didasarkan pada ilmu pengetahuan factual/ bahasa deskriptif dari ilmu pengetahuan. Behaviorist dan analis bahasa yakin pada pemisahan kebenaran factual dan logika dari nilai yang menurut mereka dihasilkan dari emosi, sentiment dan tingkah laku.
Mereka Beranggapan bahwa teori normative adalah nilai yang subyektif dan tidak akan pernah mengaspirasi intelektual tinggi dan ilmu pengetahuan. Respon dari teori normative, moral bukanlah suatu fakta atau logika yang diperoleh dari fakta, tapi yakin bahwa ini tidak akan merusak secara serius pada teori normative. Sejak awal teori normative bisa menggunakan fakta atau bukti dan argument yang dating dari ilmu social deskriptif. Meskipun nilainya tidak berdasarkan dari kenyataan, teori normative normative dalam hubungannya logika yang jelas di suatu perdebatan moral.

Relativisme
Relativisme berpendapat bahwa jika moral tidak dapat diperoleh dari fakta-fakta maka mereka benar-benar murni relative. Dan jika mereka secara murni relative. ( jika tidak ada posisi nilai yang bisa dideskripsikan lebih baik dari yang lain). Maka tidak ada poin di teori normative yang seperti itu.
Communitarian percaya bahwa masih ada tempat untuk tiap-tiap moralitas di suatu komunitas tertentu meskipun moral tersebut secara universal bisa dianggap benar atau salah. Relativism murni menganggap setiap individu adalah sebuah moral itu subjektif. Di beberapa situasi sesuatu yang buruk mungkin akan lebih dipilih daripada moral yang berlaku di masyarakat. Pada teori ini ada persepsi mendasarkan tertentu yang dikenali sebagai sesuatu yang baik secara moral minimal pada beberapa orang dalam suatu batas daerah tertentu.

Determinism
Tidak ada penghakiman dalam suatu aksi yang secara moral salah ketika seseorang tidak diberi pilihan untuk melakukannya. Pilihan tidak didasarkan oleh dominasi seseorang.

Implementasi Teori Normatif
Implementasi Teori ini semisal dengan adanya kebijakan Eutanasia di Negara tertentu. atau hukuman mati bagi seseorang narapidana. Dengan kasus tersebut bisa dihubungkan dengan norma-norma yang ada di dalam Agama.
Dalam ajaran Utilatarianisme mengambil jalan dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan yang bisa diambil, jenis tindakan manakah yang akan memberi konsekuensi paling baik secara menyeluruh? Tindakan manakah yang akan memberi imbangan paling besar sari kebahagiaan atas ketidakbahagiaan untuk semua terlibat?

Sumber Utama :
David Marsh and Gerry Stoker, Theory and Methods in Political Science, 1997, New York, St. Martin’s Press, Inc.




[1] David Marsh and Gerry Stoker, Theory and Methods in Political Science, 1997, New York, St. Martin’s Press, Inc.

Tidak ada komentar: