Senin, 24 November 2008

Momentum Runtuhnya Politik Ras

Momentum
Runtuhnya Politik Ras
(Analisis Wacana terhadap Pidato Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat )

Oleh :
Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Abstract
Barack Obama win in president election at USA. He become ke-44 president USA, and open new sheet history alongside history election USA president. He represent first president Afro-Amerika. Barack Obama victory oration sesomnate in all the world. Oration which inspiratif for all world, full of political suavity. wise Words network.
As a main medium for political struggle, oration contains a well designed for conveying set of messages. The use of discourse analysis for searching meaning which wish to be sent by Barack Obama to whole world.

Kata-kata Kunci : Pidato Kemenangan Barack Obama; Analisis Wacana


Pendahuluan
Senator Barack Obama terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat. Ia adalah warga Amerika Serikat kulit hitam pertama yang terpilih menjadi presiden. Mayoritas Presiden AS menghuni Gedung Putih adalah sosok yang berumur dan berpengalaman. Hanya sedikit orang muda yang suskses menggapai Gedung Putih. Orang-orang muda yang sukses menjadi presiden AS adalah Theodore Roosevelt (42), John Fitzgerald Kennedy (43), Bill Clinton (46), Ulysses S Grant (46) serta Barack Obama (47).[3] Kemenangan Obama Menggema di seluruh dunia, kemenangannya dianggap sebagai perubahan sosial di Amerika Serikat. Orasi kemenangan Obama menggema di seluruh dunia, bahasa terangkai penuh makna.
Bahasa sebagai medium dalam pengertian kita tidak saja berbuat sesuatu dengan bahasa (with language), melainkan kita beraktivitas di dalam bahasa (within language).[4] Pidato Kemenangan Barack Obama terangkai oleh bahasa yang inspiratif , sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam dengan pendekatan diskursus. Untuk menganalisis Pidato kemenangan Obama menggunakan Analisis Wacana sebagai media untuk interpretasi rangkaian bahasa yang digunakan Obama. Dialog merupakan syarat utama diskursus, pidato merupakan salah satu model dialog- monolog yang bersifat social. Setiap situasi ditopang oleh adat istiadat, yang menuntun kelompok masyarakat tertentu.[5] Pidato seseorang menentukan situasi posisi mereka yang berbicara, dan pada siapa pembicara disampaikan.
Tindakan dan ucapan ( Hannah Arendt ) individu memperlihatkan diri sebagai individu khusus dan memperlihatkan pada dunia bahwa personalitas mereka itu khas. Dalam tindakan dan ucapan, seseorang menunjukkan siapa dirinya, menunjukkan identitas personal khas mereka secara aktif dan memperlihatkan diri mereka di dunia manusia, penyikapan “siapa” sebagai upaya untuk membedakan diri seseorang adalah implicit dalam setiap ucapan dan perbuatan seseorang.[6]

Barack Obama Agen Perubahan Politik Amerika Serikat
Mitos politik ras telah runtuh, mitos mayoritas versus minoritas etnis dan ras di Amerika Serikat dalam politik, kini tinggal kenangan masa silam. Mitos pemisah antara kulit hitam dan kulit putih telah diruntuhkan oleh kemenangan Obama. Tak mengherankan jika Obama menegaskan dalam pidato kemenangannya, perubahan fundamental kini benar-benar terjadi di Amerika.

“Jika ada seseorang di luar sana yang masih ragu bahwa Amerika adalah sebuah tempat di mana segala sesuatu bisa terjadi, yang masih bertanya-tanya apakah mimpi para pendiri bangsa ini masih bisa menjadi nyata di masa sekarang, yang masih mempertanyakan kekuataan demokrasi, malam ini pertanyaan anda terjawab.”[7]
(Barack Obama)

Prolog pidato kemenangan Barack Obama ini menggambarkan proses bahasa yang dialami dalam mengkonstruk suatu posisi social individu atau seseorang dan demikian membuatnya menjadi subjek ideologis. Proses ini yang dinamakan Interpelasi yang dipakai dalam pendekatan Marxist Struktural Althusser (1971) dalam melihat hubungan antara subjek dan ideology.[8] Obama ingin menampilkan bahwa “Semua itu serba mungkin”, kemungkinan-kemungkinan yang pernah diragukan oleh beberapa pihak terhadap majunya Obama menjadi calon presiden Amerika Serikat. Sebelumnya Obama dihantam oleh isu rasisme serta dipertanyakan patriotisme dan nilai inti Amerika menjelang perayaan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli. Obama dikritik karena tidak mengenakan pin bendera Amerika. Kritikus juga menyerang Obama, menyebutnya elitis dan tidak selaras dengan nilai dasar Amerika saat mengatakan dalam sebuah kampanye bahwa kelas pekerja menjadi sangat pahit sehingga harus berpaling kepada tuhan dan senjata.[9]
Pada abad ke-21, orang hitam Amerika telah berjuang ratusan tahun sebelum hak mereka diakui melalui perang saudara pada abad ke-19 dan gerakan hak sipil, perjuangan hak asasi, akhir abad ke-20. Pencalonan Obama adalah langkah lanjut dari perjuangan yang belum selesai. [10] Sebelumnya, Amerika menghidap disorientasi, kekeliruan orientasi. Orang Amerika lebih peduli pada soal keamanan ketimbang kebebasan.[11] Obama ingin menampilkan niali-nilai (ideology) yang dibawa adalah kebebasan, mendobrak mitos rasisme, dan obama adalah subjek pendobraknya.
Menurut Foucault, memproduksi wacana bisa dimaknai dengan pengendali kekuasaan. Menurutnya, apa yang membuat kekuasaan tetap langgeng, apa yang membuat bisa diterima, adalah kenyataan bahwa kekuasaan tidak hanya memberi kita kekuasaan untuk berkata tidak, namun kekuasaan melewati dan menghasilkan sesuatu, menimbulkan kesenangan, membentuk pengetahuan, memproduksi wacana. Kekuasaan perlu dianggap sebagai jaringan produktif yang melewati lembaga social secara keseluruhan.[12] Wacana sebagai media untuk mentransformasikan sebuah ideology ke dalam wilayah public.
Opini akan muncul di mana pun manusia berkomunikasi secara bebas dengan orang lain dan memiliki hak untuk mempublikasikan pandangan mereka, namun pelbagai pandangan yang berbeda tersebut tampaknya juga membutuhkan purifikasi dan representasi. Bahkan meskipun pelbagai opini dibentuk oleh individu dan tetap menjadi milik mereka, akan tetapi tidak ada satu individu yang akan sama untuk mengangkat opini, dan melakukan penyaringan yang memisahkan antara arbitrasi dan indiosinkratik, dan memurnikan menjadi pandangan public.[13]
Memenangkan wacana public adalah seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau, bagaimana membuat mereka berpikir dengan cara yang kita inginkan, bagaimana membuat mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada mereka.[14]Obama ingin mentransformasikan ideology kepada public bahwa Politik Ras sudah runtuh. Kemenangannya adalah satu bukti nyata Amerika mengedepankan demokrasi seutuhnya. Obama ingin memperlihatkan bahwa Amerika terbuka untuk siapa pun untuk maju menjadi presiden.

Budaya Politik Santun Barack Obama
“ Beberapa waktu lalu, saya menerima telepon ucapan selamat yang luar biasa dari senator (john) McCain. Senator McCain sudah melewati perjuangan yang panjang dan sulit selama kampanye. Dan, dia bahkan sudah berjuang lebih lama dan lebih sulit demi bangsa yang dia cintai. Dia sudah lama berkorban bagi Amerika.”
“Saya mengucapkan selamat kepadanya (McCain); juga kepada Gubernur (Sarah) Palin atas seluruh pencapaian mereka. Dan, saya berharap bisa bekerja sama dengan mereka dalam beberapa bulan ke depan untuk bersama-sama memperbarui janji bangsa ini.”
(Pidato Barack Obama)
Politik merupakan satu-satunya seni yang subyeknya adalah manusia dalam hubungan dengan yang lainnya. Politik sebagai seni mengandung keagungan dan kesatunan. Keagungan dan kesantunan politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabdikan diri. Politik memungkinkan pengakuan timbale balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Kesantunan itu terwujud dalam etika politik. Etika politik mengandung aspek individual dan sosial. Disatu pihak, etika politik sekaligus adalah etika individual dan etika sosial: etika individual karena membahas masalah kualitas moral pelaku; etika social karena merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial karena merefleksikan masalah hukum dan tatanan sosial.[15]
Obama ingin menunjukkan kedewasan berpolitik, fatsun politik yang ingin ditunjukkan obama dalam kemenangannya. Obama menggambarkan etika politiknya dengan mengumumkan bahwa lawan politiknya di arena pemilihan presiden USA McCain memberikan selamat kepadanya atas kemenangannya. Konstruksi yang ingin dibangun oleh Obama adalah McCain mengakui kekalahannya atau lapang dada menerima kekalahannya. Nilai – nilai yang dibangun Obama adalah siap menang dan siap untuk kalah tanpa harus saling mencaci maki dan siap saling mendukung apabila salah satunya menang ataupun kalah.
Obama pun membangun opini public untuk membangun fatsun politk dengan mengajak dan merangkul McCain dan Sarah Palin untuk bersama-sama membangun Amerika Serikat. Kemenangan dan kekalahan dalam pandangan saat ini adalah pekerjaan yang telah selesai, saat ini adalah bekerjasama untuk membangun Amerika Serikat untuk melakukan perubahan.



Daftar Pustaka
Anis Matta, Muhammad. Menikmati Demokrasi, Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002
Arendt, Hannah. Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan, Yogyakarta: Qalam, 2003
Fatah, Eep Saefulloh. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi Jakarta: Republika, 2004
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
Jorgensen,W. Marianne. Analisis Wacana: Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Macdonell, Diane. Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, Jakarta: Teraju, 2005

Surat Kabar

Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008

[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (NIM: 07.234.424)
[3] Kedaulatan Rakyat, 8 November 2008
[4] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 4.
[5] Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus, Terj. Eko Wijayanto, (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. Xvii.
[6] Hannah Arendt, Filsafat Politik Hannah Arendt, terj. M. Shafwan. (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 122.
[7] Pidato Kemenangan Barack Obama , Jawa Pos, 6 November 2008
[8] Marianne W Jorgensen, Analisis Wacana: Teori dan Metode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 29.
[9] Obama Hadapi Isu Patriotisme, Kompas, 2 Juli 2008
[10] Liddle, R. William. Obama dan Reformasi Indonesia, Kompas, 10 Juni 2008
[11] Eep Saefulloh Fatah,. Mencintai Indonesia dengan Amal: Refleksi atas Fase Awal Demokrasi, (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 328.
[12] Marianne W Jorgensen, hlm. 24.
[13] Hannah Arendt, hlm. 268.
[14] Muhammad Anis Matta, Menikmati Demokrasi (Utan Kayu: Pustaka Saksi, 2002), hlm. 38.
[15] Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2003), hlm. 25.

Tidak ada komentar: