“Kekuasaan Politik Otentik”
Oleh R. Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
4
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7] Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah” yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya. Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah : 30
“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan. Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka, falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan).[10] Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11] Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
Daftar Pustaka
Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102
Oleh R. Pamela Maher Wijaya, S.Sos.I
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Kajian teoretis ataupun perspektif praktis perbincangan tentang makna kekuasaan politik dalam semua sisinya tetap menjadi wacana actual yang tak berkesudahan. Hal ini disebabkan, karena keberadaannya secara fungsional identik dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Selain itu, konsep kekuasaan politik belumlah sepenuhnya menjadi kesepakatan semua orang. Bahkan masih banyak kalangan yang menganggap kekuasaan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari, kekuasaan politik disinonimkan dengan tipu daya muslihat dan kelicikan.
Sebagai wacana dan upaya mendudukan istilah kekuasaan politik, pengkajian terhadap istilah ini dalam prespektif Islam sangat diperlukan, terutama dalam kerangka penemuan konsep-konsep kekuasaan politik dalam perspektif al-Qur’an.
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59)
Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip – prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah swt[1]. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Al-qur’an, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.
Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk. [2]
Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman dating menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.[3]
Diriwayatkan oleh bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.[4]
Dari kajian tekstual di atas , menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18
4
“ Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya (Qs Al-Ma-idah:18).
Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad Saw. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut:
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS Ali Imran : 26)
Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah Swt menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal.
Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia di hadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.
Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.
Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.[5]
Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan Politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Al-Qur’an (Shaad:26) :
”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :
” Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Manusia dan Konsep Istikhlafu Al Insan
Kata istikhlaf adalah bentuk mashdar (invinitif) dari kata kerja istakhlafa yang berarti menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya , sedangkan kata khalifah berasal dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Namun demikian kedua konsep ini (khalifah dan istikhlaf), pada hakikatnya, berasal dari akar kata yang mencerminkan dua aspek yang memiliki arti yang sama. Kedua konsep ini merujuk pada fungsi manusia sebagai pemegang amanah Allah Swt di muka bumi ini. Sementara itu, konsep iskhtilaf lebih menekankan kepada proses bagaimana manusia boleh menjadi khalifah Allah.[6]
Al-Qur’an menggunakan kata khalifah sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sebuah kata “khalifah” juga mengandung makna bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kesempurnaan penciptaan.
Manusia merupakan mikro kosos (alam kecil), sedang kosmos adalah manusia makro (al-insan kawn shaghir wa al-kaw insane kabir).[7] Manusia merupakan miniature alam yang kompleks. Pisiknya menggambarkan alam pisikal, sedang psikisnya menggambarkan alam kejiawaan. Dengan demkian, segala proses takdir Allah yang terjadi di alam sebenarnya juga berlaku pada manusia, seperti konsep penciptaan ini.
Dalam pandangan Islam, tugas yang diwakilkan itu menjadi “amanah” yang harus ditunaikan oleh seseorang yang telah menjadi wakilnya. Berarti, ia (orang yang menjadi wakil) disebut “pengemban amanah” ialah khalifah. Seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Al Baqarah : 30
“ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Al-Baqarah : 30)
Sayid Quthub menjelaskan beberapa makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Ia menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan posisi mulia manusia, terkandung isyarat adanya kehendak luhur yang hendak menyerahkan kendali kepemimpinan di bum kepada makhluk manusia. Kepada Manusia pula pelaksanaan kehendak Sang maha Pencipta diserahkan. Kehendak Allah Swt dalam menggali apa yang ada di bumi baik yang berupa kekuatan, potensi, kandungan, maupun bahan mentahnya untuk kepentingan manusia dalam rangka penunaian amanah yang telah diserahkan kepadanya serta menundukkan semua itu dengan Izin Allah Swt untuk tugas besar yang serahkan oleh Allah Kepadanya.[8]
Oleh sebab salah satu kewajiban manusia sehubungan dengan tugas khilafahnya adalah menegakkan keseimbangan, dalam pandangan Islam keseimbangan (tawazun) selalu menjadi landasan konsepsinya. Maka, falsafah istikhlaf dalam pandangan islam memunculkan keseimbangan dalam pengelolaan Negara. Konsep isikhlaf al insan, dalam rangka mewujudkan keseimbangan, menuntut adanya hubungan antara agama dan Negara. Eratnya hubungan agama dengan Negara (siyasah) terjadinya keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Di dalam ayat tersebut juga menginformasikan juga unsur – unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah pertama, Bumi atau wilayah. Kedua, Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris), serta yang ketiga, hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan (Allah Swt).[9]
Dalam prespektif Islam tugas utama Negara, sebagai institusi siyasah, adalah mewujudkan pelaksanaan kekuasaan Allah di bumi. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan Allah tersebut menuntut konsistensi terhadap syariat-Nya yang harus dilaksanakan.
Selanjutnya hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at berorientasi pada pemeliharaan kemashlahatan (kebaikan umum) dan penolakan kemafsadatan (kerusakan).[10] Syari’at islam bertujuan menegakkan kebaikan semua makhluk dan memberikan kemashlahatan bagi hamba-Nya, baik dalam kehidupannya di dunia ataupun di akherat.
Al-Ghazali menegaskan, “Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur.[11] Aktualisasi nilai-nilai islam dapat terlaksana dengan sempurna apabila kaum muslimin memiliki otoritas dan kekuasaan untuk mewujudkan kemashlahatan.
Penutup
Islam adalah agama syumul, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu.
Islam memandang kekuasaan dalam pengertian yang transenden, kekuasaan dalam pengertian ini harus dapat dipertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Manusia tidak semena-mena untuk menjalankan kekuasaan, karena manusia adalah perpanjangan tangan sang Khalik di muka bumi.
Daftar Pustaka
Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:Darul Falah, 2000
Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004
_________, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004
Dhiauddin Rais ,DR. M, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001
Qamaruddin Shaleh K.H.,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,Bandung: CV Diponegoro, 1982
Quraish Shihab Dr. M., M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[1] Abdul Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an), (Jakarta: PT. RajaGrafindo,2002), hal 175
[2] Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung
[3] K.H. Qamaruddin Shaleh,dkk. Asbabun Nuzul : Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an,(Bandung: CV Diponegoro, 1982), hal 138
[4] Ibid, hal 139
[5] Abu Ridha, Manusia dan Kekhalifahan, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2004), hal 59
[6] Ibid, hal 33
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul Falah, 2000), hal 18
[8] Abu Ridho, hal 34
[9] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit
[10] Abu Ridha, Amal Siyasi : Gerakan Politik dalam Dakwah, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media,2004), hal 57
[11] DR. M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) hal 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar