Sabtu, 23 Mei 2009

Problem Of Terminology

PROBEM OF TERMINOLOGY

As-Sunnah dimaknai sebagai living tradition, yakni tradisi atau kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan bisa pula disebut dengan local tradition. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat sejumlah istilah lain yang mengandung pengertian tersendiri tetapi seringkali sejalan dengan makna as-sunnah, antara lain: al-`adah, al-`urf, syar`u man-qablana, dan al-mashlahah al-mursalah.

Sebagian ulama membedakan antara al-`adah dengan al-`urf: Al-`adah adalah tradisi atau kebiasaan yang bisa dipandang baik atau tidak, sedangkan al-`urf adalah tradisi atau kebiasaan yang pasti baik; karena itu, yang menjadi sumber hukum adalah al-`urf dan bukan al-`adah.

Berdasarkan al-Qur’an (Ali Imran: 104) al-`urf dibedakan dengan al-khayr. Al-khayr adalah kebaikan normatif-universal sedangkan al-`urf kebenaran historis. Lain lagi dengan syar’u man-qablana, yakni satu istilah yang lebih menunjuk kepada tradisi atau kebiasaan yang terdapat pada masyarakat dan/atau agama yang ada sebelumnya. Tradisi tersebut tidak serta-merta harus dihapus tetapi perlu diseleksi secara cerdas dan kreatif dengan memilah dan memilih hal-hal yang bisa diteruskan dan hal-hal yang tidak bisa diteruskan. Al-maslahah al-mursalah adalah sesuatu atau perbuatan yang dipandang mendatangkan manfaat bagi masyarakat tetapi tidak secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an, dan yang demikian bisa menjadi dasar kebolehan (mubah, halal) untuk diterimanya sesuatu atau perbuatan. Sebagian bahkan mengatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah bisa menjadi sumber hukum mandiri (mashdarun mustaqil, independent source).

Semua istilah dan sesuatu atau perbuatan yang masuk ke dalam diskusi di atas seringkali menjadi penting dalam upaya pengembangan masa depan umat Islam, dan hal itu seringkali masuk pada diskursus al-turath wat-tajdid (continuity and change). Diskursus ini akan sangat mewarnai kaku-tidaknya atau fleksibel-tidaknya pandangan seseorang atau suatu kelompok umat. Atas dasar ini, sikap yang perlu diambil bukan saling menghadapkan, apalagi membenturkan, antara hukum Islam pada satu sisi dengan hukum adat pada sisi lain, tetapi mendialogkan dan mendialektikakan antara keduanya, dan inilah makna terdalam dari maksim: al-muhafadhah alal-qadim al-shalih, wal-ahdu bil-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Dalam bentuk lebih umum dan abstrak, hal-hal di atas masuk pada diskursus global dan non-global ethics, plural-singular culture and civilization, great-lower traditrion, local-indigenous, kearifan-local, yang sekaligus menekankan makna penting dari tradisi lokal (local-traditon).

(Sumber Diskusi Kelas SPPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Prof. Akh Minhaj)

Tidak ada komentar: