Dinamika Kompilasi Hukum Islam:
Dalam Bingkai Hukum Negara Modern
(Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan)
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi politik dan pemerintahan dalam Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Dalam Bingkai Hukum Negara Modern
(Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan)
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi politik dan pemerintahan dalam Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Abstraksi
Perumusan Kompilasi Hukum Islam secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia. Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak keindonesiaan. Untuk mendeskripsikan Dinamika Kompilasi Hukum Islam Dalam Bingkai Hukum Negara Modern serta penerapannya di Indonesia memerlukan kajian dalam perspektif Etika dan Pemerintahan. Yaitu dilihat dari 3 aspek; Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi) dan Aspek Penegakan Hukum (Law enforcement).
Key word : Kompilasi Hukum Islam, Hukum Modern, Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan.
A. Pendahuluan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum eks barat. Ketiga sistem hukum dimaksud, berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Namun demikian, sesudah Indonesia merdeka ketiga sistem dimaksud, akan menjadi bahan baku dalam pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia.[3] Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk). Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi – substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamiy , atau dalam konteks tertentu disebut al-syari’ah al-islamiy. Istilah ini dalam literatur Barat dikenal dengan idiom islamic law.[4] T.M. Hasbi Ash-Shidieqy mengutip pendapat Syeikh Mahmud Syaltut, bahwa syari’at atau hukum islam adalah hukum-hukum dan tata aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk diikuti dan dilaksanakan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Rasul-Nya, Ijma’ sahabat dan Ijtihad dengan perantara qias, qarienah, tanda-tanda dan dalil-dalil.[5] Kalau kita lihat di dalam aspek politik hukum Islam adalah membangun tata cara kehidupan dan penghidupan yang diatur dan damai, berdasarkan hukum-hukum perdamaian yang harus terus menerus diperjuangkan.[6]
Penetapan hukum Islam mempunyai herarki, yaitu yang paling utama merujuk Al-Qur’an, kemudian Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dalam konteks hukum modern pun herarki yang paling puncak adalah berdasarkan ketuhanan. Hal ini diungkapkan oleh Thomas Aquinas, Thomas Aquinas menentukan posisi hukum kodrat dalam struktur hirarki hukum. Pertama, Puncak dari herarki adalah hukum abadi, yaitu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta. Kedua, di bawah hukum abadi adalah hukum kodrat, tidak lain adalah partisipasi makhluk rasional di dalam hukum abadi.[7] Ketiga, di bawah kodrat adalah hukum positif atau hukum buatan manusia.[8]
Pengembangan hukum Islam, disamping dilandasi oleh epistemologisnya yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah keharusan mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwani, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Gazali, diteruskan oleh Izzuddin ibn Abd al-Salam. [9]
Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan dileberalisasikan oleh Najamuddin at-Tufi. Kajian utama dalam teori maqasid al-syari’ah adalah mengenai tujuan hukum islam yang diwujudkan dalam bentuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.[10] Oleh karena itu, formulasi dan rekonstruksi peraturan perundang-undangan, tawaran teoritis dan metode ijtihad apapun dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum islam harus mengacu pada terwujudnya kemaslahatan tersebut. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum dalam hubungan ini adalah persoalan-persoalan hukum kontemporer yang menyangkut bidang mu’amalah.
Penerapan hukum Islam di Indonesia, dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi masalah. Selain itu, dari aspek kemajemukan masyarakat bangsa, hukum yang berlaku juga sebaiknya menganut sistem hukum nasional yang bersifat majemuk (pluralistic).[11] Secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali kekuasaan negara. Indonesia bukannya sebuah negara Islam tetapi sebuah negara nasional yang tidak memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, tetapi juga pada umat-umat agama yang lain.
Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari umat Islam di dunia. Hukum Islam menempati posisi sangat strategis bukan saja bagi umat islam indonesia tetapi bagi dunai Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia, untuk dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia dalam bingkai sistem hukum nasional diperlukan hukum yang jelas dan dilaksnakan baik oleh para aparat penegak hukum ataupun oleh masyarakat. Untuk itu munculah gagasan dasar Kompilasi Hukum Islam (bingkai sistem hukum nasional) untuk menjembatani penerapan hukum Islam di Indonesia.
Penerapan hukum Islam di Indonesia masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Pasca-orde baru, polemik seputar posisi syari’alt Islam dalam bingkai hukum negara modern lebih diwarnai dua pendekatan ekstrem. Di satu sisi, mereka yang menghendaki penerapan total syari’at lewat jalur negara.[12] Di sisi lain ada kalangan yang menginginkan untuk menolak apa pun yang bernuansa syari’at dari institusi negara.[13]
Untuk mendeskripsikan polemik tentang penerapan hukum Islam di indonesia dalam bingkai hukum negara modern bisa digambarkan dengan Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan. Penerapan hukum islam (kompilasi Hukum Islam) dalam perspektif etika politik dan pemerintahan dilihat dari 3 aspek : Aspek Regulasi, Aspek Institusi (organisasi), dan Aspek Penegakan hukum (Law Enforcement).
B. Dinamika Regulasi Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Penetapan kebijakan hukum di Indonesia, pemerintahan telah menjadikan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Tetapi persoalan kemudian muncul, yaitu bagaimana kita memahami serta melaksanakan hukum Islam dalam konteks hukum nasional atau memasukkan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Permasalahan ini menyebabkan polarisasi tentang proses legislasi hukum Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, bahwa antara agama dan negara perlu ada pemishan secara tegas.[14] Pendapat kedua, bahwa hukum Islam menjadi bagian dari hukum nasional baik simbol maupun substansi.[15] Akhir-akhir ini yang kemudian berhasil memunculkan UU tentang Perbankan Syari’ah.
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam.
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983. [16]
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004).[17] Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama.
2. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[18]
3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[19]
C. Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering”[20] Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Instutusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
Peradilan dan Hakim-Hakim Agama.
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu: umum, agama, militer, dan tata usaha negara.[21]Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin)
Peran ulama dalam dinamika bangsa Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di indonesia.[22] Kedudukan ulama yang diharapkan menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah.[23]
Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi Islam.
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat kontraversial dan dapat membingungkan umat.[24]
Lembaga Pendidikan Tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.[25]
Lembaga- Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah.
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.[26]
Media Massa.
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. [27]
D. Penegakan Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan.
Satu segi dari proses penegakan hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan, hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Penegakan Hukum Islam dideskripsikan dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.[28]
Kompilasi Hukum Islam disusun dan dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya. Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya, tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara, terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Akademika Pressindo,1992.
Ali , Zainuddin, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
____________ , Sosiologi Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Amrullah, Ahmad,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Arif, Abd Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut ,Yogyakarta: LESFI, 2003.
Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya , Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Bisri , Cik Hasan, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia , jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Hasan , Muhammad Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural , Jakarta: Lantabora Press, 2004.
Huda, Ni’matul, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan , Yogyakarta: FH UII Press, 2007.
Husin, Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial Jakarta; Penamadani, 2004.
Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Syaukani,Imam, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional , jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Sumaryono, E, Etika dan Hukum , Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Majalah
Gatra, 13 desember 2007.
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 77.
[4] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta; Penamadani, 2004), hlm. 7.
[5] Ni’matul Huda, Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. Dr. Mahfud MD: Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kenegaraan (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 305.
[6] Ahmad Amrullah,dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press,1999), hal 141
[7] Dalam perwujudannya, hukum kodrat memiliki dua bentuk; pertama, kebijaksanaan atau kearifan yang perlu untuk menjalani hidup dengan yang oleh Aquins sebut “akal praktis”, kedua, aeqitas (equity, epiekeia), yaitu kewenangan pemerintah untuk meninggalkan ketentuan hukum jika penerapan harfiahnya justru menghilangkan semangat kalimat-nya.
[8] E Sumaryono, Etika dan Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18.
[9] Abd Salam Arif, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita: Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut (Yogyakarta: LESFI,2003), hlm. 15.
[10] Ibid.
[11] Cik Hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum islam dan Peradilan Agama di Indonesia (jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 5.
[12] Minimal berlaku terbatas bagi warga muslim.
[13] Gatra, 13 desember 2007.
[14] Asumsi ini dikumandangkan oleh kelompok yang tidak setuju terhadap akomodasi hukum islam dalam bentuk formalisasi dan positivisasi sebagai bagian hukum negara.
[15] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional (jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 249-250
[16] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm. 98
[17] Ibid.
[18] Ibid., hlm. 100.
[19] Ibid.
[20] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[21] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 77.
[22] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Kultural (Jakarta: Lantabora Press, 2004), hlm. 232.
[23] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[24] Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo,1992), hlm 7
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Zainuddin Ali, Hukum Islam, hlm.100.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar