KEKUASAAN POLITIK
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
(Analisis wacana terhadap Pro dan Kontra Rancangan Undang Undang Keistemewaan DIY)
Oleh : Pamela Maher Wijaya[2]
(Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
abstraksi
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain. Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media
A. Pendahuluan.
Sepanjang sejarah, sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, masa orde baru, dan era reformasi dewasa ini, kedudukan dan peranan kepala daerah dengan beragam penyebutan seperti Gubernur, Bupati, Walikota, telah menunjukkan eksistensinya, baik sebagai pemimpin organisasi pemerintahan yang mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat, maupun dalam memimpin organisasi administrasi pemerintahan.[3] Implikasi dari UU No. 32 Tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.
Proses pemilihan kepala daerah menjadi inti permasalahan dalam perdebatan draft RUU keistimewaan Yogyakarta. Sehingga, tidak semua rakyat Yogyakarta memiliki aspirasi politik yang sama. Ada lapisan sosial yang mendukung berlakunya sistem pemerintahan feodal melalui penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur otomatis pada Hamengku Buwono dan Paku Alam. Namun, ada juga rakyat Yogyakarta yang menghendaki pemilihan kepala daerah melalui pemilihan dalam bingkai demokrasi modern.
Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[4] menggambarkan dinamika politik lokal Yogyakarta dalam merespon pro dan kontra RUUK Yogyakarta. Gerakan masyarakat Yogyakarta tersebut mengkonstruksikan pemikirannya melalui simbol sebagai identitas budaya jawa. Bentuk identitas budaya jawa itu diwujudkan dalam tradisi Pisowanan Agung, Laku Budaya Bisu Mubeng Beteng, Sidang Rakyat, Aksi Tapa Bisu Mubeng Beteng, dan Tapa Brata Ngulandara.
B. Peneguhan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengukuhan keistimewaan Yogyakarta, tidak terlepas dari integrasinya antara daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya. Integrasi daerah Yogyakarta, kraton dan rakyatnya merupakan warisan dari leluhur Sinuwun Kaping I sampai dengan VIII. Warisan itu terkandung pula nilai-nilai spiritual, nilai-nilai adat jawa, dan nilai-nilai kekuasaan negara.[5] Keistimewaan Yogyakarta sebagai proses sejarah yang panjang sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta hingga adanya modernisasi.
Kasultanan Yogyakarta berdiri sebagai Konsekuensi Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 februari 1755 . Perjanjian Giyanti berdasarkan perundingan antara Pangeran Mangkubumi, kumpeni , dan surat persetujuan dari Sri Paku Buwono III tanggal 4 November 1754.[6] Konsekuensi Perjanjian itu adalah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta. Implikasi Perjanjian Giyanti itu , Pangeran Mangkubumi digelari sultan untuk setengah dari wilayah Mataram. Penobatan Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan dilaksanakan pada tanggal 13 februari 1755, dengan sebuah Qur’an di atas kepalanya, Mangkubumi bersumpah ,
bahwa Allah dan Nabi Muhammad akan mengutuk dirinya dan keturunannya jika mereka melanggar kesepakatan.[7]
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah kasultanan Yogyakarta dipersempit oleh pemerintah Inggris melalui politik kontrak dibawah Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles dan diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, adik HB II yang berkedudukan tidak di bawah sultan (Pangeran Merdiko) dan bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Paku Alam memerintah di Puro Paku Alaman dan sekitarnya (onderdistrik Paku Alaman) dan Kabupaten Adikarto (Karang Kemuning, sekarang Kulonprogo) yang meliputi empat distrik, yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko, dan Tawangkarto. Dengan demikian muncul kerajaan baru disamping Kasultanan Yogyakarta, yakni Kadipaten Paku Alaman.[8]
Setelah perang Diponegoro, tepatnya pada tanggal 27 September 1830, Belanda mempertegas wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan perjanjian Klaten. Isi perjanjian tersebut menegaskan bahwa wilayah Yogyakarta meliputi Mataram dan Gunung Kidul, sedang Surakarta meliputi Pajang dan Sukowati. Pada jaman penjajahan Belanda status Kasultanan Yogyakarta tidak diatur dengan Ordonantie (undang-undang), melainkan diatur dalam perjanjian antara Gubernur Jendral Belanda dan Sri Sultan. Perjanjian itu kemudian dinamakan Politiek-contract. Politiek-contract yang terakhir merupakan kesepakatan antara Sri Sultan Hamengku buwono IX dengan Gubernur Jenderal Belanda pada tanggal 18 Maret 1940 (Staatsblad tahun 1941 No. 47).[9]
Perjanjian tersebut dinyatakan dalam pasal 1 ayat (1) bahwa daerah Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Hindia Belanda yang menurut pasal 1 merupakan Gronwet Belanda (bagian dari kerajaan Belanda). Pengakuan atas kekuasaan sultan ini tidak hanya berasal dari pemerintah kolonial Belanda saja. Pemerintah Jepang yang berkuasa atas Indonesia sebelum kemerdekaan juga menghormati eksistensi Kraton Yogyakarta yang telah memiliki kewenangan mengelola urusan sendiri.[10] Kekuasaan ini menggambarkan bahwa Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah sebuah negara yang berdaulat semenjak perjanjian giyanti (1755) walaupun masih ada intervensi dari penjajah.
Konsepsi jawa tentang kekuasaan berbeda secara radikal dengan konsep yang telah berkembang di barat sejak abad pertengahan, dan dari perbedaan ini sacara logis mengakibatkan perbedaan mencolok pada pandangan cara kerja politik dan sejarah.[11] Kekuasaan itu tergambar ketika Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi tahun 1755. Kekuasaan kraton yang dirancang dengan landasan budaya jawa dan hindu dengan pembaruan yang mendasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.[12] Kekuasaan Mangkubumi menjadi Sultan Yogyakarta , dalam Babad Mangkubumi diibaratkan seperti pahlawan yang ada dalam al-Qur’an, yaitu yusuf. Surat yusuf, yang secara agak bebas diadaptasi dari kisah yusuf di Mesir seperti tersebut dalam al-Qur’an surat ke-12.[13]
Kekuasaan atau power dalam paham jawa adalah segala kekuatan yang menyatakan dirinya alam, kekuasaan adalah ungkapan energi illahi yang tanpa bentuk yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos.[14] Sehingga keinginan raja, rakyat hanya dapat menjawab “dherek ngarsa dalem” (terserah kepada kehendak raja). Kekuasaan yang demikian besar itu dikatakan “Wenang wiseso ing sanagari” (kewenangan tertinggi di seluruh negeri). Kemauan raja adalah kemauan Tuhan, perkataan raja adalah kebenaran, atau yang dikenal dengan Sabda Pandita Ratu.[15] Inti tata pemerintahan tradisonal selalu adalah sang penguasa sebagai personifikasi kemanunggalan masyarakat. Kemanunggalan itu sendiri adalah simbol penting kuasa.[16] Sehingga gelar kekuasaan raja kemudian bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah.
Konsep kekuasaan jawa, raja berkuasa secara absolut. Tetapi kekuasaan itu diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk kesejahteraan rakyatnya.[17] Kekuasaan raja di masa Kerajaan Mataram digambarkan dalam dunia pewayangan dengan konsep keagungbinatharaan. Konsep keagungbinatharaan itu bahwa raja itu agung binathara, bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambang adil paramarta (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).[18] Sehingga kekuasaan raja terintegrasi dengan warisan politik tradisional-religius. Sebagai pewaris Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Yogyakarta bersama rakyat tumbuh menjadi pusat pengembangan kebudayaan Jawa- Islam. Posisi keistimewaan terbentuk sebuah ekspresi budaya Jawa-Islam. Ekspresi karya yang khas yaitu dari sistem pemerintahan kerajaan, kekerabatan, kemasyarakatan, dan sastra.
Sejarah yang khas Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan bagian dari sejarah survivalitas Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Kekhasan itu menyangkut bukan saja kontribusi DIY dalam mendirikan dan menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi juga secara simbolik dan aktual dalam mengisi visi ke-Indonesia-an secara lebih kongkret. Penelaahan atas sejarah Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan status keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil penguasa Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku buwono IX dan Paku Alam VIII, dan bukan pemberian dari entitas politik nasional.[19]
Ketika Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, pemerintah Yogyakarta benar-benar mandiri. Kemudian pada saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII menyambut berdirinya pemerintah Republik Indonesia serta memberikan pernyataan bahwa mereka berdiri di belakang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.[20] Tidak hanya saat proklamasi, saat menjelang kemerdekaan pun Kasultanan Yogyakarta berperan aktif untuk mendukung adanya NKRI, terbukti adanya partisipasi B.P.H. Puruboyo dan B.P.H. Bintoro di BPUPKI sebagai delegasi resmi Kasultanan Yogyakarta.[21]
Setelah pernyataan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII untuk berdiri di belakang RI, Presiden RI segera mengutus Menteri Negara Mr. RM Sartono dan Menteri Keuangan Mr. AA Maramis ke Yogyakarta untuk menyampaikan piagam mengenai kedudukan Yogyakarta. Sampai akhirnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bersama tertanggal 30 Oktober 1945 yang didahului dengan amanat yang dibuat tanggal 5 September 1945 secara terpisah tetapi bunyi sama, yaitu menyatakan bahwa Yogyakarta yang berbentuk kerajaan, merupakan Daerah Istimewa bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[22]
Amanat Sri Paduka Ingkeng Sinuwun Kanjeng Sultan dan Amanat Sri paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam tersebut dapat dideskripsikan sebagai novum hukum yang menyatakan bahwa status Yogyakarta, dalam ranah yuridis formal, telah mengalami perubahan dari sebuah daerah Zelfbesturende Landschappen atau daerah Swapraja menjadi daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.[23] Dasar hukum yang melengkapi lahirnya Daerah Istimewa Yogyakarta[24] terutama adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18.[25]
Pada tingkat yang lebih operasioanal, keistimewaan Yogyakarta diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hanya saja, dalam UU ini tidak diatur secara jelas dan menyeluruh substansi dan ragam urusan yang secara spesifik merefleksikan keistimewaan Yogyakarta. Tiga belas urusan yang ditetapkan melalui UU No. 3 Tahun 1950 setara dengan urusan yang dimiliki daerah lain sesuai dengan pasal 23 dan pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Berbagai produk hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia pasca UU No. 22/1948, yaitu: UU No. 1 Tahun 1957, Perpes No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), Perpes No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan), UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1975, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.[26] Keistimewaan Yogyakarta juga mengatur kedudukan kekuasaan di pemerintahan daerah yaitu kedudukan kepala daerah.
C. Diskursus Pro dan Kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta.
Perdebatan mengenai RUU Keistimewaan DIY mengemuka di ruang publik sudah cukup lama dan melelahkan. Dalam waktu sepuluh tahun sejak 1998, di DIY terjadi tiga kali ”Sidang Rakyat” untuk menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Peristiwa politik hanya terjadi di DIY ini secara berulang berlangsung mulai 1998, kemudian 2003, dan 2008.[27] Perdebatan itu menggambarkan beragamnya sikap masyarakat dalam menanggapi keistimewaan Yogyakarta.
Polarisasi respon masyarakat mengenai RUU Keistimewaan DIY bisa dideskripsikan melalui wacana yang berkembang di media massa lokal maupun nasional. Titik awal teori wacana adalah bahwa tidak ada wacana yang sepenuhnya mapan, wacana selalu bertentangan dengan wacana-wacana lain yang mendefinisikan realitas secara berbeda-beda dan menetapkan pedoman-pedoman lain bagi tindakan sosial. Di dalam teori diskursus dalam merespon perdebatan yang terjadi melalui intervensi hegomonis. Intervensi hegomonis merupakan artikulasi dengan menggunakan alat kekuasaan yang menyusun kembali ketidatasaan.[28]
Hegomoni mirip dengan ”wacana” karena kedua istilah itu menggambarkan perasaan yang mendalam terhadap unsur-unsur dalam momen-momen tertentu. Namun intervensi hegomonis mencapai perasaan mendalam lintas wacana-wacana yang bertabrakan secara antagonistis. Satu wacana dirusak dari bidang kewacanaan bila wacana lain memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga menindasnya bukannya mencairkannya dengan jalan mengartikulasikan kembali unsur-unsurnya. Intervensi hegomonis telah mencapai keberhasilan jika wacana mendominasi wacana-wacana yang lain.[29]
Intervensi hegomonis dalam perdebatan pro dan kontra RUU Keistimewaan Yogyakarta dideskripsikan melalui perdebatan yang terbaca di media. Perdebatan yang berlangsung di media dapat dikategorikan dalam tiga hal. Pertama, mekanisme pembuatan, sosialisasi, dan pembahasan RUU. Kedua, dari segi substansi atau format RUU, dan ketiga, tawaran atau saran dari masyarakat. Prihal mekanisme, anggaran pembuatan RUUK DIY sebesar 6 milyar; 5 milyar untuk pusat dan 1 milyar untuk daerah. Mekanisme anggaran ini menjadi pemicu perdebatan panjang. Perdebatan kemudian berlanjut pada masalah sosialisasi draft RUU, kurang dilibatkannya DPRD sebagai representasi masyarakat, dan perdebatan seputar substansi mengarah pada kritik teradap pasal RUU, terutama pada proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah Sultan Yogyakarta dan Adipati Paku Alam. [30]
Perdebatan tentang proses pemilihan gubernur ini mengundang banyak opini masyarakat. Ada yang menolak dengan alasan menggali lubang demokrasi, tidak sesuai lagi dengan arus globalisasi atau alasan melupakan nilai-nilai keterbukaan dari pihak kasultanan sendiri. Pihak ini menginginkan gubernur atau wakil gubernur dipilih sesuai UU 22/1999. Disamping itu pula yang menyetujuinya dengan alasan historis sebagai bentuk penghormatan atas keputusan pendiri Yogyakarta atau alasan kultural bahkan alasan untuk menghindari konflik dalam pemilihan gubernur atau wakil gubernur.[31]
Jejak pendapat yang terekam di media massa tentang respon masyarakat RUUK DIY yang diselenggarakan DPD KNPI DIY yang dimuat di bernas, 8 Agustus 1998, berhasil mengumpulkan 2.458 responden, kepada mereka ditanyakan soal calon yang dianggap pantas menduduki posisi Gubernur. Responden memilih Sri Sultan Hamengkubuwono X sebanyak 97,32 %, Alfian Darmawan (1,14%), Amin Rais (0,08%), Paku Alam VIII (0,08%), GBPH H. Joyokusumo (0,08%), 8 nama lain (0,32%), dan abstain (0,98%). Gerakan itu diwujudkan dengan Tradisi Pisowanan Kawulo Mataram dan Sidang Rakyat pada tanggal 11 Agustus 1998.[32] Adapula gerakan yang menginginkan adanya pemilihan yang demokratis, diwujudkan dengan perdebatan di tingkat DPRD DIY.[33] Jejak pendapat ini sebagai alat ukur wacana yang berkembang di tahun 1998.[34]
Jejak pendapat dilanjutkan dengan hasil polling Pilgub DIY 2008 Balai Litbang DPD PAN Kota Yogyakarta yang dilaksanakan 1-7 Februari 2008 lalu pada 715 responden menyatakan 89,15 persen setuju mempertahankan keistimewaan, tergantung 7,25 persen dan tidak tahu 3,6 persen. Terkait keistimewaan, 71,33 persen menyatakan keistimewaan terletak pada Gubernur dari Kerabat Kraton, memiliki aturan hukum adat sendiri 19,24 persen dan memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan bagi Indonesia 9,43 persen. Sebesar 69,19 persen responden tak setuju jika Sultan tak bersedia dicalonkan sebagai gubernur, setuju 27,49 persen dan tidak tahu 3,32 persen. Meski demikian, ketika ditanyakan kesediaan memberikan suara dalam pemilihan gubernur, 67,93 persen responden bersedia, tak bersedia 25,17 persen dan tidak tahu 8,9 persen. Sebesar 58,22 persen menyatakan gubernur dan wagub harus dari pihak kraton dengan tidak harus 37,66 persen dan tidak tahu 4,12 persen. Calon gubernur terkuat yang diinginkan responden ternyata masih dipegang Sri Sultan HB X dengan 37,17 persen disusul beberapa nama seperti Joyo Kusumo, Prabu Kusumo, Yudaningrat, Gusti Pembayun, Paku Alam, Herry Zudianto dan lainnya. [35]
Wacana perdebatan seputar RUU Keistimewaan terutama berkaitan dengan proses rekrutmen pimpinan daerah, yang kemudian dapat dikelompokkan dalam tiga arus pendapat. Pertama adalah yang mempertahankan proses yang sudah dijalankan, yaitu gubernur adalah Sri Sultan dan wakilnya adalah Paku Alam. Kedua adalah yang menginginkan proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur seperti laiknya proses pemilihan di provinsi lain. Siapapun dari partai apapun berhak untuk menjadi kandidat gubernur dan wakil gubernur berdasarkan suara terbanyak. Sementara itu, diantara kedua arus yang sama-sama memiliki banyak pendukung tersebut, terdapat arus pendapat ketiga yang menawarkan konsep kompromis dari kedua pendapat sebelumnya. Berdasarkan pada argumen untuk mempertahankan tradisi dan mengakui eksistensi kraton yang tidak kurang lebih dan tidak lebih penting untuk menjalankan demokratisasi, diusung konsep mengenai pendelegasian kekuasaan dan kewenangan.[36]
Kategirisasi tersebut menggambarkan bahwa, pada tingkat masyarakat Yogyakarta kini memasuki sebuah fase yang bisa disebutkan sebagai masyarakat berwajah ganda (dual faces society). Di satu sisi terdapat masyarakat yang tersusun secara hierarkis mengikuti pola hubungan patron-client di masa lalu dan di sisi yang lain telah hadir masyarakat yang memiliki corak horizontal yang kuat. Perkembangan corak modernisasi ini telah membawa perubahan-perubahan yang sangat mendasar, tidak secara otomatis meminggirkan sentralitas Kasultanan dan Pakualaman sebagai sumber rujukan penting bagi masyarakat warga Yogyakarta.[37] Kemunculan berbagai gerakan masyarakat[38] yang mengungkapkan tetap kuatnya posisi Kasultanan dan Pakualaman sebagai simbol bagi masyarakat Yogyakarta. Serangkaian forum panel ahli yang digelar JIP UGM untuk mendapatkan input yang luas dalam proses penyusunan naskah akademik dan RUU Keistimewaan Yogyakarta mempertegas simbol kekuasaan kasultanan dan pakualaman.[39]
Penerimaan dan sekaligus penghargaan masyarakat terhadap Kasultanan dan Pakualaman sebagai “dwi tunggal” yang diidentikkan dengan keistimewaan Yogyakarta terlihat dari hadirnya perkumpulan atau paguyuban Lurah se-DIY yang dikenal dengan Ismaya (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta).[40] Selain paguyuban lurah yang sudah cukup lama aktif dalam dinamika politik lokal, belakangan juga muncul dukungan yang sangat kuat dari Asosiasi Pemerintah Desa se-Indonesia (Apdesi) baik di tingkat Provinsi maupun di masing-masing kabupaten di wilayah DIY. Gerakan ini merupakan cerminan dari masih kuatnya keinginan mayoritas masyarakat untuk melestarikan kehidupan yang didasarkan pada warisan nilai-nilai sosial budaya Yogyakarta.
Keinginan kuat mayoritas warga untuk tetap mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta juga terekam melalui respon masyarkat terhadap pengisian jabatan Gubernur pada tahun 1998. Sebagian masyarakat mengekspresikan aspirasinya secara demonstratif melalui berbagai kelompok yang berujung pada keluarnya Maklumat Rakyat Yogyakarta, 26 Agustus 1998 serta tradisi Pisowanan Ageng.[41]
Pisowanan Ageng kembali dilaksanakan pada 18 April 2007[42] menyusul kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendengarkan secara langsung penjelasasan Sri Sultan Hamengku Buwono X atas keputusan beliau tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY untuk periode mendatang. Forum ini, tetap fungsional sebagai forum pengukuhan dukungan terhadap Kasultanan dan Pakualaman. Inilah modalitas dasar yang akan digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan RUU tentang keistimewaan Yogyakarta.
[2] Mahasiswa Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nim; 07.234.424.
[3] J.Kaloh, Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 3.
[4] Gerakan-gerakan itu seperti; Gerakan Kawulo Mataram Manunggal (GKMM), Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY), Paguyuban Lurah Se-DIY yang dikenal ISMAYA (Ing Sedya Memetri Aslining Ngayogyakarta), Asosiasi Pemerintahan Desa Se-Indonesia (Apdesi), Paguyuban Dukuh Se-Kab. Sleman Cokro Pamungkas, Kawulo Ngayogyakarta, Paguyuban Dua Satu, Akademisi, NGO-NGO lokal mapun Nasional, Elemen Gerakan Mahasiswa dan Partai Politik di Yogyakarta.
[5] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat (Jakarta: Grasindo,1999), hlm. 55.
[6] Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 4.
[7] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: MATABANGSA, 2002), hlm. 115.
[8] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta Dalam Bingkai Keistemewaan (Yogyakarta: Parwi Foundation, 2002), hlm. 11.
[9] Ibid., hlm. 12.
[10] Ibid., hlm. 13.
[11] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya Politik di Indonesia, terj. Revianto Budi Santoso (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000), hlm. 42.
[12] Drajat Suhardjo, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 2.
[13] M.C. Ricklefs, Yogyakarta Di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, hlm. 126.
[14] Jandra, Model Kehidupan Bermasyarakat Dalam Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: YKII-UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), hlm. 44.
[15] Ibid., hlm. 45.
[16] Benedict R. OG. Anderson, Kuasa-Kata, hlm. 77.
[17] G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman : Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen 1755-1992 (Yogyakarta: Kanisius,1994), hlm. 27.
[18] G. Moedjanto, The Concept of Power in Javanese Culture (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 102-103.
[19] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta: Naskah Akademik dan Rancangan Undang- Undang Keistimewaan Yogyakarta”, Monograf on Politic & Government Jurnal jurusan ilmu pemerintahan Fisipol UGM dan Program S2 politik local dan otonomi daerah, Vol. 2, No. 1, 2008, hlm. 12.
[20] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52.
[21] P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 160.
[22] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 52-53
[23] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 16.
[24] yang semangatnya dirumuskan dengan kalimat : Hamamayu hayuning Bawono, sepi ing pamrih rame ing gawe.
[25] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 54
[26] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 17-18
[27] Bambang Purwoko, Sidang Rakyat, Kedaulatan Rakyat 7 Oktober 2008.
[28] Marianne W. Jorgensen,et.al., Analisis Wacana Teori dan Metode ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 90-91.
[29] Ibid.
[30] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 5.
[31] Ibid., hlm. 6.
[32] Sidang rakyat yang terdiri berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, pengemudi becak, pedagang, tokoh pemuda, ormas dan pelajar.
[33] Ada dua kubu di DPRD DIY, kubu pertama yang menghendaki pengukuhan Sultan Hamengku buwono X, yaitu FKP, FPDI, dan FABRI. Sedangkan kubu kedua menghendaki agar penetapan itu dilakukan melalui pemilihan yang demokratis yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Kubu ini selanjutnya didukung oleh Sekjen Depdagri Faisal Tamim.
[34] Y.B. Margantoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X, hlm. 60.
[35] Kedaulatan Rakyat, 11 Februari 2008
[36] A Iman Sukri, et.al. Masa Depan Yogyakarta, hlm. 40.
[37] Sebagian besar masyarakat tetap memandang dan mengakui Kasultanan dan Pakualaman sebagai pusat budaya jawa dan simbol pengayom.
[38] Gerakan yang timbul terutama ketika momentum pergantian Gubernur.
[39] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 21.
[40] Penggunaan nama ini menyiratkan keinginan kuat masyarakat, melalui paguyuban Lurah, untuk melestarikan kondisi sosial budaya. Dipandang dari sisi sosiologis, hadirnya paguyuban Lurah merupakan cerminan keinginan masyarakat untuk tetap diperlakukan istimewa sesuai dengan latar belakang sosio-kultular masyarakat Yogyakarta. Kehadiran paguyuban Lurah menyebar hingga ke Kabupaten di lingkungan Provensi DIY.
[41] Cornelis Lay,et.al., “Keistimewaan Yogyakarta”, hlm. 22.
[42] Jumlah kehadiran warga masyarakat, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang menghandiri “Pisowanan Ageng” pada tahun 1998 yang lalu. Demikian pula, berbeda dengan Pisowanan tahun 1998, adanya unsur mobilisasi terekam dalam proses yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar