Sabtu, 23 Mei 2009

The Dualistic Paradigm

THE DUALISTIC PARADIGM
(Problem Fleksibelitas Hukum)

Dalam sejarah kehidupanan umat seringkali dijumpai bahwa hukum Islam bersifat kaku dan otoriter ditandai dengan pola berfikir hitam-putih atau halal-haram. Tidak jarang dijumpai, hukum yang berstatus fatwa seringkali dipandang mengikat dan wajib dilaksanakan. Kita kemudian bertanya: apakah hukum Islam memang bersifat kaku dan otoriter, yang hanya bergerak dari satu kutub ekstrim yang satu ke satu kutub ekstrim yang lain, yakni dari halal menuju haram, dan sebaliknya?

Dalam Filsafat Etik/Hukum kita mengenal hukum dualisme, hukum berpasang-pasangan yang merupakan hukum alam (al-hukm al-thabi’i, natural law). Dalam al-Qur’an antara lain dilambangkan dengan eksistensi dan sekaligus pertarungan antara Qabil dan Habil. Dari sini kita mengenal: pola pandang al-khair was-syar, al-hasan wal-qubh, good and evil, mukmin-kafir, ma’ruf-munkar, dunia-akhirat, langit-bumi, bahagia-sengsara, dan seterusnya yang seringkali dikenal dengan pola berpikir hitam-putih, salah-benar, dan juga halal-haram. Inilah yang juga dikenal dengan pola berpikir Aristotalian Logic.

Dalam Islam (al-fiqh) pada dasarnya dikenal dengan pola berfikir halal-haram. Halal merupakan batas positif maksimal sedangkan haram merupakan batas negatif maksimal. Diantara keduanya ada garis kontinum yang boleh bergerak kearah positif dan negatif dengan tidak boleh melampaui kedua batas maksimal positif maupun negatif tersebut.

Dari situ kemudian muncul konsep lima hukum (al-ahkam al-khamsah), yang secara simple dapat digambarkan sebagai berikut: pada sebelah kanan terdapat batas maksimal positif berupa halal yang tidak bisa dilampaui. Pada sebelah kiri terdapat batas maksimal negatif berupa haram yang juga tidak boleh dilampaui. Di tengah-tengah antara halal dan haram terdapat mubah. Diantara mubah dan halal kearah positif sebelah kanan terdapat sunnah sedangkan diantara mubah dan haram kearah negatif sebelah kiri terdapat makruh. Pada dasarnya, setiap kasus atau sesuatu mempunyai hukum dasar, dan dari hukum dasar tersebut bisa bergerak kearah empat hukum lainnya berdasarkan dialektika antara teks (al-wahyu-normative) dengan konteks (al-`aqlu-empiric). Ketentuan hukum yang didasarkan pada dialektika teks dan konteks ini disebut oleh sebagian orang sebagai Hegelian logic yang berbeda dengan Aristotalian logic.

Gerak dan perubahan hukum baik ke arah kanan atau ke arah kiri tidak hanya sebatas hukum-hukum yang terdapat diantara halal dan haram (oleh sebagian ornag disebut umurun mutasyabihat atau wilayah abu-abu/grey area, tetapi bergerak hingga menyentuh kedua batas halal dan haram itu sendiri) Bahkan satu ketentuan hukum yang semula berada pada batas maksimal positif sebelah kanan yang berupa halal bisa berubah dan pindah ke batas maksimal negatif sebelah kiri yang berupa haram, dan juga sebaliknya. Makanan atau perbuatan yang semula berstatus haram bisa berubah secara fundametal menjadi halal karena kondisi tertentu, dari sini kemudian lahir maksim hukum (qa’idah fiqh) antara lain: al-dharurah thubihul mahdhurat. Itu pula pengalaman seorang kyai bernama Arroisi yang berdakwah di Irian yang pada masa-masa awal ia mengatakan bahwa babi hukumnya halal karena babi merupakan makanan pokok masyarakat setempat, dan perubahan ke arah haram dilakukan secara bertahap melalui proses yang relatif panjang.

Contoh-contoh lain bisa dikemukakan. Misalnya, dalam proses perkwainan (aqdun-nikah), secara tradisional dan konvensional dipahami bahwa pihak-pihak terkait terutama kedua calon mempelai harus berada dalam satu majlis, dan satu majlis ini dipahami sebagai satu tempat yang sama. Dengan perkembangan teknologi modern, mulai difikirkan tentang kemungkinan bolehnya calon mempelai laki-laki tidak berada di tempat pelaksanaan aqdun-nikah, dan proses akad dilakukan melalui alat telekomunikasi, misalnya, tele-conference. Begitu pula, kita sudah menyaksikan ketentuan hukum nikah antar agama seperti ditulis dalam buku Fiqh Lintas Agama yang membolehkan (halal) perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non-Muslim yang dalam fiqh tradisional dan konvensioanl hal tersebut dilarang atau haram. Dalam hal ketentuan hukum poligami, saat ini negara-negara muslim terbagi kepada tiga kelompok: sebagian meng-halal-kan secara mutlak, sebagian meng-haram-kan secara mutlak, sebagian lagi meng-halal-kan tetapi disertai syarat-syarat yang amat berat dan rumit.

Pemikiran hukum yang dialektis itu kemudian didukung oleh sejumlah maksim (qa’idah fiqh), antara lain berupa: (1) al-hukumu yaduru ma’a illatih wujudan wa-`adaman, (2) taghayyurul ahkam bitaghayyuril azminah wal-amkinah, (3) al-hukum yataghayyar bitghayyuril azminah, wal-amkan, wan-niyah, wal-ahwal, wal-`aw’id, (4) kita juga mengenal qabil lin-niqash wa-qabil lit-taghyir.

Hukum dasar tentang sesuatu barang atau perbuatan yang berupa halal atau haram bisa tidak berubah, tetapi berdasarkan realitas dan konteks yang mengitari sesuatu atau perbuatan tersebut, ketentuan hukum bisa berubah hingga ke yang paling ekstrem sekalipun, yakni halal menjadi haram dan haram menjadi halal. Menurut Imam al-Ghazali, misalnya, membunuh hukumnya haram, tetapi dalam keadaan perang seseorang boleh (halal) menjadikan orang lain untuk tameng demi keselamatan dirinya walaupun mungkin menyebabkan terbunuhnya orang yang menjadi tameng tersebut. Hukum dasar nikah adalah mubah, tetapi dari mubah bisa bergerak dan berubah kearah hukum yang lain bahkan bisa menjadi halal atau haram.

Pemikiran para fuqaha telah berkembang sedemikian rupa. Misalnya, perbedaan antara mazhab syafi’i dan mazhab hanafi tentang hukum dasar segala sesuatu, yang satu mengatakan: ”hukum dasar segala sesuatu adalah haram,” sebaliknya yang lain mengatakan: ”hukum dasar segala sesuatu adalah halal.” Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat juga telah menentukan hukum dasar amal yang tergolong ibadah dan hukum dasar amal yang tergolong mu’amalah: al-ashlu fil-ibadah al-tahrim hatta yadullad dalil ala tahlilih; al-ashlu fil-mu’amalah attahlil hatta yadullad dalil ala tahrimih.

Dengan penjelasan di atas maka didapat satu gambaran: betapa hukum Islam itu amat fleksibel dan berkembang sesuai dengan denyut jantung perkembangan umat. Pemikiran dan realitas hukum seperti itu akan melahirkan sosok ahli hukum (jurists, fuqaha’) yang relatif adaptif dan akomodatif terhadap realitas umat dimanapun dan kapanpun mereka berada. Inilah makna yang sebenarnya dari ungkapan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh: ”barangsiapa yang tidak mengetahui perbedaan dalam fiqh berarti belum mampu merasakan harumnya fiqh (man-la ya’raf al-ikhtilaf, lam-yasyumma ra’ihatal fiqh). Jika yang demikian ini bisa berjalan dengan baik, maka umat Islam tentu akan mampu menikmati kebenaran ungkapan-ungkapan berikut: (1) al-islam ya’lu wa-la yu’la alaih, (2) al-islam shalih li-kulli zaman wa-makan, (3) kuntum khaira ummah (the choosen people).

Rata Penuh(Sumber Diskusi kelas SPPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Prof. Akh Minhaji)

Problem Of Terminology

PROBEM OF TERMINOLOGY

As-Sunnah dimaknai sebagai living tradition, yakni tradisi atau kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dan bisa pula disebut dengan local tradition. Dalam kitab-kitab fiqh terdapat sejumlah istilah lain yang mengandung pengertian tersendiri tetapi seringkali sejalan dengan makna as-sunnah, antara lain: al-`adah, al-`urf, syar`u man-qablana, dan al-mashlahah al-mursalah.

Sebagian ulama membedakan antara al-`adah dengan al-`urf: Al-`adah adalah tradisi atau kebiasaan yang bisa dipandang baik atau tidak, sedangkan al-`urf adalah tradisi atau kebiasaan yang pasti baik; karena itu, yang menjadi sumber hukum adalah al-`urf dan bukan al-`adah.

Berdasarkan al-Qur’an (Ali Imran: 104) al-`urf dibedakan dengan al-khayr. Al-khayr adalah kebaikan normatif-universal sedangkan al-`urf kebenaran historis. Lain lagi dengan syar’u man-qablana, yakni satu istilah yang lebih menunjuk kepada tradisi atau kebiasaan yang terdapat pada masyarakat dan/atau agama yang ada sebelumnya. Tradisi tersebut tidak serta-merta harus dihapus tetapi perlu diseleksi secara cerdas dan kreatif dengan memilah dan memilih hal-hal yang bisa diteruskan dan hal-hal yang tidak bisa diteruskan. Al-maslahah al-mursalah adalah sesuatu atau perbuatan yang dipandang mendatangkan manfaat bagi masyarakat tetapi tidak secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an, dan yang demikian bisa menjadi dasar kebolehan (mubah, halal) untuk diterimanya sesuatu atau perbuatan. Sebagian bahkan mengatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah bisa menjadi sumber hukum mandiri (mashdarun mustaqil, independent source).

Semua istilah dan sesuatu atau perbuatan yang masuk ke dalam diskusi di atas seringkali menjadi penting dalam upaya pengembangan masa depan umat Islam, dan hal itu seringkali masuk pada diskursus al-turath wat-tajdid (continuity and change). Diskursus ini akan sangat mewarnai kaku-tidaknya atau fleksibel-tidaknya pandangan seseorang atau suatu kelompok umat. Atas dasar ini, sikap yang perlu diambil bukan saling menghadapkan, apalagi membenturkan, antara hukum Islam pada satu sisi dengan hukum adat pada sisi lain, tetapi mendialogkan dan mendialektikakan antara keduanya, dan inilah makna terdalam dari maksim: al-muhafadhah alal-qadim al-shalih, wal-ahdu bil-jadid al-ashlah (memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Dalam bentuk lebih umum dan abstrak, hal-hal di atas masuk pada diskursus global dan non-global ethics, plural-singular culture and civilization, great-lower traditrion, local-indigenous, kearifan-local, yang sekaligus menekankan makna penting dari tradisi lokal (local-traditon).

(Sumber Diskusi Kelas SPPI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Prof. Akh Minhaj)